Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gegara Huruf "N": Guru Harus Lebih Sabar

23 November 2021   09:37 Diperbarui: 23 November 2021   09:42 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bendungan | foto: kaskus.co.id, olah gambar KRAISWAN

Kemiripan kata
Kemiripan kata "dam" dan "damn" | tangkapan layar, dokumentasi pribadi

Si anak mematikan kamera sejak awal, jadi aku tak tahu apakah dia menangis, kecewa atau marah. Aku memerintahkan otak agar memegang kendali, mendinginkan diri, dan lanjut menjelaskan materi.

Astaga, apa yang baru saja kulakukan? Amarah bagaikan api yang membakar hutan. Meski bisa dipadamkan, dampak kerusakannya tak bisa dihindari apalagi dihilangkan.

Ternyata, si anak masih mau memberi komentar atas penjelasanku selanjutnya. Berarti si anak tidak ngambeg-an (seperti tabiat gurunya, di hidup lamanya). Semoga.

Enam puluh menit minus dua menit amarah menguap sudah. Setelah menutup pertemuan dengan doa, aku berpamitan dengan anak-anak di Google Meet, dan mengantar anak-anak ke tempat penjemputan. Kami, wali kelas dan guru piket, harus menunggui anak sampai dijemput. Memastikan anak dalam kondisi aman dan selamat di lingkungan sekolah. Ini bentuk tanggung jawab kami kepada pihak orang tua.

Selesai semua anak dijemput, aku mengemasi barang-barangku, bersiap pulang. Sudah kangen dengan anak-istri di rumah. O, tapi aku merasa harus melakukan rekonsiliasi dengan muridku tadi. 

Meski tak dapat menghilangkan "bekas api", aku punya niat baik untuk mengklarifikasi. Barangkali, tak semua guru/ orang dewasa mau dengan rendah hati menelpon murid, memberi penjelasan. Aku bukan tipe rendah hati, tapi mau terus belajar dan memperbaiki diri.

Aku kirim pesan via WA kepada murid itu, menanyakan apakah sudah makan. (Pembelajaran selesai 12.30, melewati jam makan siang) Dia menjawab, belum. Aku segera melakukan video call dan memberi penjelasan kenapa aku menaikkan intonasi saat pelajaran tadi. Si anak mengerti, dan menerima permintaan maafku, meski aku lihat wajah kecewa darinya.

Setidaknya kami belajar dua hal. Satu, murid harus belajar menghormati guru saat sedang menjelaskan materi. Jika berkomentar sembarangan bisa menyebabkan salah paham, apalagi jika gurunya sedang kesambet. 

Dua, aku harus lebih sabar, lebih tenang dan selow saat mendidik anak orang. Seingatku, dua minggu lalu aku juga naik tensi pada murid les gegara doi tidak memberi fokus malah bermain-main. Yah, guru juga manusia toh? --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun