"Huaaa... Aku ndak sakit ayah... Ndak mau ayah... Dipegangi ayah...", jerit balita lelaki bertumbuh gempal di suatu puskesmas. Kasihan, anak sekecil itu harus mencicipi rasa sakit dan takut gegara Covid-19. Bocah itu bersama adik lelaki dan ayah-ibunya masuk daftar tracing di puskesmas pembantu sekitar domisiliku.
Bocah itu tak berbohong. Bukan sinetron, apalagi demi konten. Bayangkan "nikmat"-nya, benda asing dimasukkan ke hidung Anda. Bukannya geli, benda yang dua kali ukuran cotton bud itu dipaksa masuk, didorong sedalamnya melewati lubang. Sakit, cuy!
Jadi bagaimana, mustinya tak usah datang tes? Tunggu, pikirkan ini. Kesakitan setengah hari setelahnya tak seberapa dibanding virus yang menggerogoti paru-paru, sampai bergantung pada tabung oksigen jika terlambat ditangani. Hayo, susah mana...?
Sedangkan aku, apa urusanku di puskesmas?
Ceritanya begini. Senin sore (7/6), sepulang memberi les, salah satu grup di WA-ku ramai, mengabarkan ibu salah satu teman meninggal. Waktu itu sekitar jam 5 sore. Beberapa teman sudah janjian hendak melayat. Tanpa pikir panjang, aku bergabung. Entahlah, kenapa aku berangkat tanpa bertanya lebih lanjut.
Tiba di rumah duka, tak jauh dari domisiliku. Terbuka bagi pelayat, berarti aman dari kasus Covid. Begitu alam sadarku berbicara.
Bersamaku empat orang teman, semuanya bermasker dan giat melawan Covid-19, patuh prokes. Tidak ada kerumunan, hanya beberapa kerabat dan tetangga. Aku memberi salam namaste pada warga. Tapi siapa sangka, sebagian kami---entah sadar atau tidak, bersalaman dengan teman itu, anak almarhum. Bahkan ada yang pelukan! Gawat.
Mungkin didorong rasa empati berlebih, terhipnotis rasa kasihan, atau spontan. Entahlah, aku berbakat diam, apalagi dalam suasana duka. Setelah mengobrol sekitar 40 menit, kami pamit. Tetap salam namaste. Kali ini tak ada peluk-pelukan.
Tiba di rumah, aku menahan diri untuk menyentuh istri, dan segera mandi. Celakanya, sweater dan celana yang aku kenakan kugantung, tak langsung dicuci. Alasannya, pemadaman saluran PDAM akibat perbaikan jalan ke arah kota. Harus hemat air, hemat pakaian. Sweater ini kupakai lagi keesokan harinya. Ceroboh!
Rabu malam (8/6), salah satu teman yang bareng melayat japri, menanyakan apakah sudah tidur. Ada apa gerangan...? Ternyata... Jenazah dan bapak temanku positif! Jedyaarrr! Bak disambar petir di tengah malam. Besar kemungkinan, temanku dan orang-orang di sekitarnya juga positif.