Direktur Garuda Indonesia ketahuan menyelundupkan barang mewah. Menteri Sosial dan Menteri KKP kena OTT oleh KPK. Gubernur Sulawesi Selatan pun senasib. Terbaru, di Kemendes rame kasus jual beli jabatan. Gubernur Anis, jangan ditanya!
Korupsi menjadi hobi. Tak apa ditangkap polisi, dipenjara rasa di rumah sendiri, duitnya bisa dinikmati. Lagi pula, tak ada undang-undang yang melarang mantan koruptor mencalonkan diri dalam pilkada/ pemilu.
Panik gak? Panik gak?
***
Demikiankah kenikmatan dunia yang akan diwariskan pada anak cucu kita nanti? "Korupsi tak apa-apa, Nak. Banyak temannya." Celaka. Seolah-olah kesempatan hidup hanya untuk kenikmatan dalam dosa.
Senada---tapi berlawanan sama sekali---dengan fenomena di atas, mentorku mengirim pesan malam-malam via WA. Sejatinya beliau suka nulis, hanya mungkin sungkan. Isi pesannya memberi penguatan sekaligus teguran. Bukan tentang sedikit-banyaknya gaji, tapi sikap hidup bersyukur.
Aku tuliskan penggalan pesan mentorku, ya...
Bicara uang atau upah/gaji adalah sensitif serta subjektif banget.... Ada yang masih bujang, sarjana, bekerja dan dapat upah hanya 1,5 jt. Sedikit kan? Tiap hari selalu mengeluh dan kurang semangat kerja. Pinginnya segera pindah pekerjaan yang memberi UMK. Logikanya dia menikmati sendiri 1,5jt itu.
Ada pasang suami istri muda, belum punya anak. Perlu rumah dan segala hal yg menyangkut hidup rumah tangga. Istri tidak bekerja. Sang suami sarjana plus, dengan upah juga 1,5 jt. Tapi... kok bisa hidup berdua. Tidak kelaparan. Malah bisa nabung untuk beli perabot. Logikanya per orang hanya diupah 750rb.
Sedangkan saya, (ingat sensitif subjektif) hidup berlima dengan upah 3 jt. Tidak pernah kelaparan. Masih bisa sesekali makan di resto, nonton bioskop, sesekali anak-anak piknik. Semua sudah pernah pergi dengan pesawat terbang. Hmmm... sombong kan? Bukan!!!