Belajar Kooperatif dalam Diversitas
Pembawaanku adalah orang eksklusif, jadi sulit berinteraksi dengan orang baru. Aku terhitung amatir dalam lingkup pendidikan di Salatiga. Baru dua tahun, dibandingkan para guru---seangkatan guruku---yang sudah belasan bahkan puluhan tahun berjasa mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Kelompok 10, kelompok kami, kebetulan semua anggotanya dari sekolah swasta. Tiga diantara dari sekolah Islam---semua wanita. Dua lainnya, termasuk aku, dari sekolah Kristen---semua pria. Selain keyakinan dan masa bakti, faktor keberagaman kelompok kami terdiri dari pengalaman dan pola pikir.
Ada yang sudah pernah ikut pelatihan sebelumnya, pembicara, materi dan tugasnya juga sama. Ada yang punya ide cemerlang, yang menginspirasi anggota yang lain, ada pula yang mengharuskan idenya yang dipakai. Begitulah suasana dalam kelompok. Bukankah para murid kita juga mengalaminya? Tapi justru dalam kondisi seperti ini kami dituntut kooperatif di tengah diversitas.
Yang Berkualitas harus Disiapkan
Seperti panduan yang diberikan pembicara, bahwa setiap soal harus menyertakan stimulus dan dibuat dalam bentuk kartu soal. Stimulus ini yang nantinya mendorong proses berpikir murid untuk menyelesaikan soal. Bentuk stimulus berupa gambar, tabel, diagram, maupun artikel. Bisa diambil dari website pemerintah, lembaga survei kredibel, atau jurnal ilmiah.
Dalam diskusi kelompok kami pagi itu, ada dua ibu dari sekolah yang sama, pernah ikut pelatihan dan tentunya sudah mengerjakan tugas. (Kalau sudah ikut kenapa ikut lagi, ya?) Dengan murah hati, salah satu dari mereka menunjukkan contoh tugas mereka. Wenaaakk...
Aku pribadi tidak masalah dengan itu. Tapi, bukan tipeku untuk memakai karya orang lain. Menyalin bloko dari internet pun jangan. Syarat dari pembicara juga harus ada kebaruan, tidak menjiplak. Aku mengusulkan agar mengadopsi stimulus dan mengganti pertanyaannya. Minimal tidak copy-paste.
Tidak mudah membuat soal AKM. Pembicara yang sudah ahli pun hanya bisa mengerjakan 10 soal/hari, terus menurun pada hari berikutnya. Menjelang siang, saat berganti jenis soal (pertama numerasi, lalu literasi) para ibu sudah rasa suntuk. Mau membuat yang mudah-mudah saja. Untuk yang berkualitas memang harus disiapkan.
Tak hanya Murid, Guru pun harus Kumpulkan Tugas
Satu stimulus bisa dipakai untuk tiga soal, dikali dua jenis (numerasi dan literasi), 'dilahap' lima orang tiap kelompok. Bukan soal itu sendiri yang terasa mustahil dikerjakan, melainkan menyatukan pola pikir yang sulit. Meski begitu, tugas harus dikerjakan. Syukurnya, dalam kelompok kami tak hobi main lempar.