Sejak April 2020 aku dan para guru mengajar jarak jauh. Di awal-awal terasa nikmat. Hanya mengajar empat jam pelajaran per minggu, setelah itu 'bebas'. Tapi, kondisi ini tidak bertahan lama.
Setahun kemudian. Bosan. Monoton. Stres. Alasan aku suka mengajar yakni berinteraksi dengan anak-anak. Makhluk yang hidup, yang beragam karakter serta bermacam dinamika dalam dirinya.
Aku mulai mengeluh. Kenapa ya aku merasa kehilangan banyak energi, padahal kerja hanya setengah hari? Masih mendapat gaji yang cukup (dicukup-cukupkan), masih bisa makan buah, sayur, ikan, sesekali makanan kolesterol. Apa yang salah?
Ternyata, karena aku tidak bertemu langsung pada murid. Aku hanya berjumpa mereka di depan laptop, yang kurang optimal kegunaannya tanpa jaringan internet. Aku bisa gila jika terus begini! Aku butuh tantangan. Aku lanjutkan keluhanku dalam doa.
***
Terkait kondisi pandemi yang belum mereda, sekolah kami menerapkan beberapa kebijakan. Brifing daring via Google Meet. Tiap ruangan hanya boleh dipakai maksimal tiga guru. Meminimalkan interaksi jarak dekat jika tidak sangat mendesak. Protokol standar, wajib.
Termasuk dalam kegiatan English of the Day (Hari Berbahasa Inggris) yang biasanya dilakukan tiap Jumat jam 11.00 WIB, sejam sebelum pulang, juga harus daring. Belajar Inggris daring...? Serius? Tatap muka saja kedodoran, kalau daring...? Maka, koordinator program memberikan sepotong kertas kosong yang difungsikan sebagai penyampai pesan. What is your expectation to learn English more? Kurang lebih begitu petunjuknya.
I hope get more chance to improve my skill in English. Dengan PD aku menulis. Dan... kelak terjawab, malah menyebabkan syok.
***
Suatu pagi, dalam brifing (daring) pagi, kepala sekolah mempersilahkan wakilnya menyampaikan sesuatu. "...Since today there is no more English of the Day. It is now English everyday..." Mateng! Aku tahu bahasa Inggris, ya sedikit. Sekedar 'Yes', 'No', 'Maybe' okelah. Bisa bahasa Inggris? Ya... ya jelas tidak. Gawat. Dalam banyak kesempatan, caraku bicara dalam Bahasa Indonesia lebih memudahkan orang lain dibanding sok keminggres. Jadi, ini ancaman buatku sekaligus lawan bicaraku.
"...Why?...", lanjut wakasek, "Because this school is a Billingual School with English as the main language." Nah loh. Memang sih, saat rekrutmen sudah diberitahu bahwa sekolah ini menggunakan Bahasa Inggris sebagai pengantar. Aku tahu dikit, dan mereka menolerir (tidak harus lulusan satra Inggris, selama tahu dan mau belajar bisa diterima). Dalam perkembangannya, untuk menggiatkan kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa internasional ini, diadakanlah English of the Day tadi. Tapi seiring berjalannya waktu, ditambah kondisi pandemi yang masih ganas, gerakan ini meredup.
Biar krisis, meski pandemi, harus menonjolkan value kita. Begitu kira-kira mandat yayasan. Apalagi akreditasi terbaru kami kembali (sekolah swasta yang) mendapat "A" (Bukan sombong ya, fakta). Selain itu beberapa orang tua juga mengingatkan kenapa jarang dipakai Bahasa Inggris.
Maka, arahan wakasek pagi itu sebuah kiat mengembalikan sekolah kami pada kodratnya. Sekolah berbasis Bahasa Inggris. Mantab soul!
"Pelaut handal tidak dihasilkan dari laut yang tenang" - Franklin D. Roosevelt.
Berhenti di sana? Tidak. Dalam program EED (English Everyday) ini, di tiap ruangan akan ada Teacher of Duty (ToD), semacam guru pembimbing gitu. Masalahnya, dalam ruanganku berisi tiga orang, aku yang menjadi ToD. Wattt...? Wakil kepsek itu pasti salah! Tidak mungkin aku.
Aku tidak menemukan dasar apa pun, kenapa dijadikan ToD, sedangkan teman-temanku yang lain lebih potensial. Ah, mari berpikiran sehat. Anggaplah kesempatan belajar diberikan padaku saat ini. Lagipula, tugas ToD bukan sebagai pelatih.
Melainkan "Make sure that the situation happens and reports any progress." Begitupun dengan guru lain, berkewajiban membuat situasi yang konsisten bahwa semua guru-staf menggunakan Bahasa Inggris secara intensif.
English everyday ini wajib dipraktikkan di kelas maupun di kantor bersama rekan kerja. Ada exception (pengecualian) yakni pengumuman penting yang lebih mudah dijelaskan dalam Bahasa Indonesia, berbalas pesan dengan orang tua yang tidak terbiasa Berbahasa Inggris. Agak lega. Betapa pengertiannya waka, supaya tidak krik-krik mau ngomong apa, kami diberikan panduan daftar percakapan umum yang bisa digunakan.
Nah, keluhan pertama tentang hasrat lebih mahir Berbahasa Inggris sudah terpenuhi, gratis. Lalu, hasrat kedua yang mirip dengan itu yakni,
Percayakah anda bahwa Tuhan adalah pemberi kejutan terbaik? Percayalah, Ya. Lagi, melalui cara, waktu dan sosok tak terduga, Ia berhasil mengejutkanku. Pada 16/03, seorang kakak alumni mengontak (japri), menanyakan apakah bisa Memberikan les pada anak temannya. Wah... macam dapat durian runtuh.
Pasalnya? Kondisiku, katakanlah "Cepat datang, cepat pergi" dibandingkan "Lebih besar pasak daripada tiang". Masih mending ada yang mampir, meski pas-pasan. Daripada kurang. Pesan kakak alumni itu menjadi berkah tersendiri. "Anaknya sekolah di SI (Sekolah Internasional)", jelas kakak itu. Mateng(2)!
Aku pernah memberikan les sebelumnya, dari jenjang SMP-SMA. Mapel umum seperti fisika atau matematika. Dengan Bahasa Indonesia. Kali ini jika harus memberikan les dengan Bahasa Inggris... Bercanda.
Berkah dan tantangan. Berkah karena aku bisa mendapat tambahan pemasukan. Tantangan karena harus menggunakan Bahasa Inggris untuk mengajar Math, jenjang SD. Gini lho, bicara Inggris dengan sesama orang dewasa saja sudah kewalahan. Gimana dengan anak SD? Math lagi.
Meski begitu, dengan sedikit iman dan penuh kenekatan, aku iyakan juga tawaran itu.
Itulah sepenggal kisahku yang menggambarkan bagaimana dalam tahap 'stres' ringan lalu datanglah jawaban doa, melalui tantangan, dalam Bahasa Inggris. Memang harus pasang badan pada gelombang jika mau jadi pelaut handal.
Regards,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H