Tak masalah jika harus bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. Demikian juga perayaan tujuhbelasan, dikerjakan dalam serba sederhana dan terbatas. Tapi tidak, jangan dengan Natal.
***
Sejak penghujung November, pertokoan dan pusat belanja mengeluarkan stok lampu gemerlap, pohon cemara buatan, bermacam ornamen serta pakaian bernuansa merah hijau.
Musik Natal diputar silih berganti. Sejurus, pakaian baru wajib dibeli. Melobi cicinya buat korting 5.000 boleh lah. Masih ditambah bonus penanda hari berfotokan bintang film cantik.
Murid-murid di Sekolah Minggu antusias bukan kepalang berlatih tampilan gerak dan lagu. Gedung gereja diramaikan dengan pohon cemara berikut hiasan lengkap. Ruangan ibadah semarak akan ornamen penuh warna.
Kado dibungkus untuk dibagi-bagikan. Bagi beberapa kalangan, berupa paket sembako bagi yang kurang.
Dan tak kalah meriah, pawai kota dalam rangkaian perayaan Natal, ditutup ibadah bersama di alun-alun kota. Pesta bunga api di malam pergantian tahun sebagai gong. Momen yang banyak orang nanti-nantikan.
Tapi, itu dulu. Demi keselamatan ragawi seluruh penghuni Bumi, kali ini semua sorak-semarak itu harus ditahan. Natalan di rumah saja. Menyalakan lilin cukup dengan anggota keluarga.
Sukacita Natal berkurang kali ini. Namun,
Natal bukan hanya, bahkan bukan perayaan itu sendiri. Rangkaian hiasan dan lagu-lagu tak lain manifestasi sukacita yang meluap dari hati. Darimana sumber sukacita itu?