"Hidup itu berputar seperti roda, ada senang dan susah. Kalau mau senang-senang sekarang, besok nemu susah, dan sebaliknya. Mau pilih yang mana?"
Memangnya aku bisa bersenang-senang waktu itu?
Suatu hari di bawah terik dengan payah aku menyejajari langkah ibu, merambah tiap jengkal Jalan Cungkup. Pegal lutut berteman sengatan sinar menembus payung di balik tangan rampingnya. Keluhan anak SD dibalas petuah di atas.
Sejurus dengan kami berlalu, menghambur kumpulan anak sekolahan berkostum putih abu-abu. Dijadikannya mereka "alat peraga" ibu, kalau mau sekolah yang tinggi harus belajar dengan tekun. Mungkin ibu mau bilang, Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian...
Disandingkan dengan sebagian tetangga atau kerabat, kondisi bapak ibu terbilang ala kadarnya jika bukan pas-pasan. Pas butuh, pas ada. Pas ada, ada yang dibagi ke yang lain.
Syukurnya, mereka hidup di desa. Masak sayur tinggal petik. Habis beras, singkong dan ubi pun jadi. Air melimpah, kayu bakar tumpah-ruah. Hidup di desa tak akan kelaparan meski terkadang, ya itu tadi, pas-pasan.
Kapasitas ingatanku tak mampu menjangkau hal pertama yang aku pelajari dari ibu. Tapi, berikut tiga pengalaman paling tak tergoyahkan tentang ibu, guru pertama hidupku.
1. Mengalasi segala usaha dengan berdoa
Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang | Tiada duka kukenal, tak kunjung mengerang | Di sore hari nan sepi, ibuku bertelut | Sujud berdoa kudengar namaku disebut || Di doa ibuku, namaku disebut | Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut