Bulat seperti bola. Lembut. Gurih. Jika digigit, byaarrr... cairan kental manis gula merah membanjiri mulut. Hijau dibalut putih.
Jajanan rakyat nan nikmat ini dirundung bencana karena tidak islami. Klepon.
Yang saya tahu, jajanan bulat-gurih-manis ini sudah ada sejak dulu, berceceran di pasar. Saking murah dan mudah dibuat, siapa pun boleh menjaja atau melahap sesuai ketentuan ekonomi setempat. Tiada yang tersinggung. Apalagi mejadikan ribut.
Apa salahku, kau buat begini...Â
Mungkin begitu jerit hati klepon.
Klepon (kelepon) adalah kue tradisional Indonesia, masuk kategori jajanan pasar. Berbahan beras ketan dibentuk bola-bola kecil, diisi sisiran gula merah lalu direbus dalam air mendidih. Begitu masak, digelindingkan di atas parutan kelapa. (wikipedia Bahasa Indonesia)
Mengintip sejarahnya, Bessire dalam Local Development Heritage: Traditional Food and Cuisine as Tourist Attractions in Rural Areas (1998) mengenang klepon sebagai warisan budaya yang menjadi identitas kolektif suatu daerah atau kelompok.
Tekstur kenyal klepon berisi gula mempunyai makna. Terkadang sesuatu yang alot akan terasa manis suatu hari seiring usaha yang dikerjakan. Tak hanya di Jawa, klepon dikenal sebagai "onde-onde" di Sumatra, Sulawesi dan Malaysia. Artinya, klepon dikenal luas sebagai hidangan nusantara.
Sejak 1950-an klepon sudah diperkenalkan oleh imigran Indonesia ke Belanda dan tersedia di banyak restoran di Belanda, Cina, dan Indonesia. Bahkan klepon merambah ke toko-toko dan supermarket. (tirto.id)
Klepon mendadak makin populer gegara unggahan seorang warganet di Twitter (21/07). Jauh sebelum itu, masyarakat sudah menerima dan lekat dengan klepon. Bahkan orang luar negeri yang mencicipi jadi ketagihan padanya. Jadi dengan atau tanpa unggahan warganet kurang kerjaan itu, klepon tetaplah klepon. Tak penting islami atau tidak.