"Nanti kalau njeblos lho, mas", sambil menyerahkan bubuk kopi, masih hangat.
Selain tempat barang belanjaan, rupanya kantong plastik punya sejuta manfaat. Tak percaya? Andalan emak-emak saat kondangan. Pelindung kepala saat hujan tak bawa mantel atau payung. Tempat pakaian basah habis renang. Bahkan---yang paling mengerikan jika tak ada plastik di Bumi---penampung muntah.
Saking murahnya, tak perlu berpikir ulang membuangnya jika basah atau kotor. Jadi beban, butuh berjuta-juta tahun agar bisa kembali pada "ibu". Tak heran pemerintah gencar menekan peredaran barang serbaguna ini. Yang mau dikenakan pajak lah. Yang dilarang lah. Diganti bahan mudah terurai lah. Berhasil?
Tutup saja pabriknya. Habis perkara. Praktis.
Mau bagaimana pun, orang butuh plastik. Meski tak semanis tebu, nasibnya sama. Habis manis sepah dibuang. Bermanfaat hanya sesaat. Akhirnya jadi sampah. Jika sampah itu dibuang ke sungai, lalu bermuara ke laut, terus dimakan ikan, padahal bu menteri perintahkan makan ikan agar cerdas... Ngeri.
Plastik, dari satu sisi mampu menghidupi ribuan kepala. Pegawai pabrik plastik. Penjual plastik---grosir dan eceran. Pemburu rongsok. Termasuk petugas kebersihan. Bayangkan jika pabrik plastik digulung, siapkah menantang gelombang PHK?
Baca juga: Memilih Hidup di Kampung, Emang Enak?
Plastik oh plastik... dirimu kayak perempuan. Bikin galau.
Omong-omong, saya ada pengalaman kocak tentang kantong plastik.
Suatu hari saya belanja sayur ke pasar tradisional. Niatnya belanja tiga jenis bahan: wortel, kubis (kol) dan kentang. Budayanya para pelapak tuh gini. Satu plastik untuk satu bahan. Bagaimana tidak nyampah?