"Bahasa kasihku tuh kata-kata penguatan", jelas pacarku di awal kami pacaran.
Bahasa kasih? Bahasa dari negara mana itu? Sepanjang jejak pendidikanku, tak pernah disinggung dalam pelajaran.
Suatu kali, egoku bangkit gegara pacarku sibuk kerja, di atas jam 20.00 tak membalas pesan, seolah aku tidak penting baginya. Aku ngambeg. Niatnya menggoda, eh justru menerjunbebaskan sisa tenaganya di hari itu. Atmosfer Jakarta-Salatiga terlalu timpang, membuat kami sering bergesekan.
Memangnya salah menegurnya karena tidak memberi perhatian?
Kali lain, aku membuat lampion dari kardus bekas dengan siluet foto wajahnya. Aku kirimkan bersama kartu ucapan. Aku anggap itu sudah cukup menjadi ungkapan kasih, sehingga tak perlu lagi memberi ucapan. Dia jutek, merasa tidak dikasihi. Loh, kan aku sudah memberi hadiah...
Betapa baiknya Tuhan, mempertemukanku pada calon istri (di balik kesibukannya) yang takut akan Tuhan, telah hidup baru, cekatan, dan mau terus belajar. Diberinya aku buku yang akhirnya mencelikkanku tentang bahasa kasih.
Kukira yang namanya mengasihi adalah sesederhana mentraktir makan, memberi hadiah atau mengantar-jemput. Kami sama-sama bisa berbahasa Indonesia, meskipun pacarku dari etnis Batak, aku Jawa. Namun itu tak cukup untuk mengungkapkan kasih. Dari Dr. Gary Chapman aku dibukakan perspektif baru yang menolong relasi kami.
Bukan bahasa sesuai Ejaan Yang Disempurnakan, tak perlu bahasa malaikat yang paling indah sekalipun; pasangan kita perlu dikasihi dengan bahasa kasih
Setelah dua puluh tahun memberi konseling pernikahan, Dr. Chapman menemukan ada lima bahasa kasih, merupakan lima cara mengutarakan cinta emosional yang dapat dilakukan dan dimengerti pasangan.
Jarang sekali suami-istri memiliki bahasa kasih yang sama. Kita cenderung menggunakan bahasa kasih yang utama bagi diri sendiri, dan dibuat bingung bila pasangan kita tidak mengerti apa yang kita sampaikan. Padahal "Saya sudah memberikan yang terbaik untuknya, sampai mengorbakan banyak hal", kita membela diri.