Seandainya Kartini hidup di era pandemi virus Corona, akankah dia #dirumahaja ?
Bisa jadi TIDAK. Boro-boro Corona, jeruji patriarki saja dia berani langkahi, maka virus paling mematikan sekali pun takkan menghentikannya. Setidak-tidaknya jika Kartini harus tetap diam di rumah, pikirannya mesti bebas!
Suatu kali Kartini bertanya pada ayahnya, akan jadi apa dirinya kelak. Boro-boro jawaban yang mengobati "rasa haus", yang diterimanya justru tertawaan dan cubitan di pipi. "Yah, tentu saja, jadi Raden Ayu!" Kakaknya menyambar setelah ayahnya beranjak. Kodrat ke-Raden Ayu-an perempuan tak akan bebas dari skenario harus kawin, jadi milik laki-laki, tanpa bertanya apa, siapa dan bagaimana; sampai perawan kelahiran Jepara ini menyalakan jiwa pemberontak. (Dikutip dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang, R.A. Kartini)
Tahun ini untuk pertama kalinya para murid perempuan tidak perlu menantang kantuk dengan bangun subuh demi mendapat antrian terdepan di salon, berias, mematut diri dengan kebaya yang disewakan ibunya. Para murid pria juga tak harus direpotkan berpenampilan komplet sepatu teklek, blangkon dan jarit agar "sejajar" dengan perempuan dalam berbusana.
Tak ada acara baca puisi, lomba menyanyi apalagi pawai baju adat. Semua semangat menerbitkan terang dari gelap memang cukup digelorakan dari rumah.
Sedih, iya. Kurang berkesan, memang. Sepi, pasti. Loyo, jangan! Meski di tengah pandemi, roh keberanian yang dipelopori Kartini butuh dihidupkan hingga kapan pun.
Namun, bisa apa Kartini sekarang di tengah kungkungan Corona?
Saya pernah meninggalkan jejak tentang Kartini-ku tahun lalu. Jika mau, sila mengenal My Kartini.
Saya tak harus selalu membuat postingan di media sosial untuk memberitahu netizen bahwa perempuan yang pernah sembilan bulan menggendongku dalam rahimnya adalah Kartini-ku. Ada cara yang lebih konkret untuk menunjukkan bakti dan hormat. Tidak terlambat menjemput pulang kerja misalnya. Atau menyuguhkan kopi di waktu santai di rumah, melepas penat setelah seharian memeras keringat. Ya, masih banyak daftar sepele yang bisa disebutkan.
Dalam banyak aspek, perempuan tak bisa menyamai laki-laki. Kalau mengungguli, SERING! Secara tenaga, kalah jauh dari laki-laki. Hal tersulut emosinya, lelaki yang duluan. Tapi, perempuan mana pun berkemampuan multitasking, sedang laki-laki biasanya mentok pada satu urusan yang tidak segera kelar. Kaum Hawa takkan keberatan berkendara penuh beban. Tak ada kata malu meski meniup peluit. Tidak akan sungkan kerja berpanasan. Semua hanya menerangkan bahwa perempuan tidak lemah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!