Aku dan seorang rekan penulis pernah senasib. Kami kecelik (tertipu). Terdapatlah buku bertajuk Bagaimana menjadi penulis yang handal. Wuih, judulnya saja keren! Tanpa banyak pikir, kami membelinya. Namun, setelah kami buka tiap lembarannya kami menyesal bukan main. KOSONG-SONG. Hanya berisi prolog, epilog, serta satu dua quotes pemberi semangat. "Jika ingin menjadi penulis handal harus terus menulis, menulis, dan menulis"
Ya elah, kami kira akan mendapat tips dan trik jitu agar menjadi penulis handal. Setidaknya ada satu dua pengalaman yang diceritakan begitu. Apa tantangannya, bagaimana cara mencari inpirasi, bagaimana memilih angle, atau cara mengatasi kebosanan misalnya. Kami malah jadi pembeli kucing dalam karung. Membeli buku dengan judul dan sampul yang menarik, dalamnya zonk.
Ada benarnya sih, setiap halaman kosong dalam buku itu harus kami tulis, tulis dan tulisi. Tapi bukan itu motivasi kami membeli buku. Kami merasa di-PHP. Kok ya ada yang menjual buku macam begitu. Sudah begitu saya beli pula. #tepokjidat
Menulis adalah kecakapan komunikasi tingkat lanjut seseorang setelah berbicara dan membaca. Dengan menulis, otak kita mengolah informasi. Menulis juga untuk merekam kejadian atau ide. Menulis, bagi sebagian orang menjadi profesi yang bisa menghasilkan uang atau sekedar passion, rela melakukan meski tak dibayar. Bagi sebagian lainnya menulis adalah bentuk perlawanan.
A word after a word after a word is power
 --Margaret Atwood
Aku tak bisa membayangkan apa jadinya jika Tuhan tidak mengaruniakan kemampuan menulis pada kita. Mungkin tak ada standar kebenaran yang bisa dipegang. Tidak ada sejarah yang bisa diceritakan. Tiada bukti yang bisa diperdebatkan. Tak ada perkenalan antargenerasi. Paling parah, kita bisa tersesat di masa depan.
Menulis itu tidak gampang, tak diragukan. Mungkin penyebabnya sejak sekolah dasar kita terbiasa didikte atau menyalin isi papan tulis sampai titik koma. Ini adalah usaha mendegradasi otak, tempat di mana imajinasi dilahirkan. Dengan imajinasi manusia bisa melukis, membuat simfoni, film, terbang seperti burung, merancang mesin, termasuk merangkai kata di antara kalimat-kalimat.
Bayangkan betapa mengerikan hidup manusia tanpa imajinasi.
Pertama kali aku berani menulis sebenarnya berangkat dari kelemahan. Tidak mampu mengungkapkan pendapat secara lisan. Kaum introvert. Jangan beri tugas pidato, MC, atau berbicara di atas mimbar pada kaum kami. Malah jadi ajang mempermalukan diri sendiri. Beri kami buku catatan atau diary, jadilah prangko ketemu amplop. Atas ketidakmampuan itu, di tahun terakhir kuliah aku bermimpi punya laptop. Supaya bisa menulis, alasannya.
Mulailah aku mendaftar pada blogspot, memberanikan diri curcol di media elektronik, lalu beralih ke wordpress. Stag, tak ada progres. Dilanjutkan keisengan mengisi kolom di suatu majalah rohani, aku berkenalan dengan seorang reporter---yang ternyata juga Kompasianer. Draf-ku carut-marut, kacau. Dengan sabar mbak reporter itu memberi tips dan arahan teknis menulis yang baik. Kukira di situ saja perkenalannya. Toh, aku hanya iseng mengisi kolom.