Tiada yang mustahil di bawah kolong langit ini, kata pepatah.
Tengoklah misalnya, saat manusia bermimpi bisa terbang seperti burung. Terwujudlah mimpi itu sejak Wright bersaudara pada 1903 menguji coba pesawatnya yang pertama. Manusia hanya bisa memandang Bulan dari permukaan Bumi. Pikiran tersebut usang ketika Neil Amstrong dan Edwin E. Aldrin menginjak Bulan pertama kali pada 1969. Manusia yang terpisah daratan ribuan mil maupun samudra tak terseberangi tak mungkin terhubung. Anggapan itu dipatahkan saat manusia mengenal dan "tak bisa hidup tanpa internet" seperti sekarang.
Satu lagi. Albert Einstein dan Stephen Hawking dengan teori lubang hitam dianggap gila oleh orang-orang di masanya. Teori mereka menjadi nyata pada April 2019, dibuktikan lewat perhitungan matematis ilmuwan komputer cantik Katie Bouman. Einstein pun tersenyum dari balik kubur.
Satu-satunya hakim atas kemustahilan itu adalah waktu. Waktu yang akan berbicara bahwa sesuatu yang dianggap mustahil menjadi riil. Semua hanya soal waktu.
Kemustahilan di bidang sains dan teknologi di atas terjadi lebih kurang seabad lampau. Mungkinkan ada kemustahilan-kemustahilan lain yang dipatahkan di abad 21 ini? Sayangnya, YA. Setidaknya sebelum pandemi Corona melanda Indonesia pada awal bulan Maret. Penduduk +62 anti Corona. Rempah-rempah mahal harganya. UN dihapuskan. Tiga hal itu sempat menempati predikat tiga besar kemustahilan di negeri kita. Berikutnya, yang terjadi justru sebaliknya.
Adalah mitos bahwa virus Corona mustahil mewabah Indonesia karena masyarakat sudah kebal mengonsumsi makanan tak higienis. Asumsi diperkuat dengan kondisi geografis Indonesia yang beriklim tropis, di mana virus tidak akan bertahan, boro-boro berkembang biak dan menular. O o... Teori yang salah besar. Terbukti hingga tulisan ini dirilis, kasus Corona di Indonesia sudah mencapai angka 800-an. Kalau boleh dibilang kata "belum terdeteksi" lebih tepat menggantikan "mustahil" dalam kasus ini.
Baca juga: Corona dan Masyarakat Indonesia, Anda yang Mana?
Rempah-rempah di Indonesia murah harganya. Tak banyak orang Indonesia yang mau mengonsumsi rempah untuk kesehatan selain kenikmatan rendang dan bermacam olahan di waktu hari raya. Pendapat itu mungkin saja didasarkan persepsi bahwa "Jamu itu pahit", "Hanya orang sakit atau orang tua yang minum jamu", atau mungkin "Minum jamu? Nggak level!".
Nyatanya, semenjak Corona menjadi pandemi orang rela berebut empon-empon di pasar. Jahe misalnya, biasanya sekilo dijual dengan Rp40.000, kini karena banyak pengincarnya Zingiber officinale boleh jual mahal, yaitu Rp100.000/kg! Siapa lagi yang berani sesumbar bahwa rempah-rempah Indonesia murah(an)?
Sejak dunia pendidikan digawangi pertama kali oleh Ki Hadjar Dewantara (dengan nama Menteri Pengajaran), terjadi banyak perubahan dan perbaikan di sana-sini. Penetapan tahun ajaran, nama dan model kurikulum, sampai instrumen penentu kelulusan. Hingga era Muhadjir Effendy (namanya sudah menjadi Kemdikbud) persoalan Ujian Nasional---sebagai hakim kelulusan---tak pernah benar-benar tuntas. Setidaknya pada kepemimpinan Anies Baswedan, taring kengerian UN mulai berkurang, karena bukan satu-satunya penentu kelulusan. Ada porsi dari Ujian Sekolah (US) yang juga memengaruhi kelulusan siswa.