Guru iku digugu lan ditiru. Guru berarti dipercaya dan diteladani.
Jika seorang tidak bisa dipercaya apalagi diteladani, sejatinya dia bukan guru. Mungkin orang yang menjelma jadi guru.
Jagad pendidikan baru saja dihangatkan "Bayar SPP bisa pakai gopay". Ada yang berspekulasi mas menteri melakukan kong-kalikong dengan eks-unicorn yang dipimpinnya, gojek. Netizen mah, bebas!
Belum lagi memanas, berita berganti "Susur sungai berujung hati hancur". Kenapa begitu saya katakan begitu? Susur sungai (21/2/2020), bagian dari Pramuka (tidak jelas untuk tujuan apa, kegiatan tersebut dirapatkan mendadak secara online [1]), malah merenggut 10 nyawa siswa SMP N 1 Turi, Sleman. Tiga orang guru sekaligus pembina ditetapkan sebagai tersangka.
Dari lalu-lalang pemberitaan media, yang men-dongkol-kan saya adalah, kenapa tidak ada klarifikasi dari pentholan-nya, sang kepala sekolah. Barangkali saya kurang membaca berita.
Apakah kepala sekolahnya tahu resiko acara susur sungai ini? Di mana posisi kepala sekolah saat kejadian? Paling parah, apakah kepala sekolah tahu ada kegiatan ini?
Beberapa hari setelah kejadian netizen pasti sepakat bahawa IYA, satu dari tiga pembina bukan guru yang baik. Teledor, mengabaikan keselamatan karena tidak melakukan survei, hanya berpegang pada hukum "biasanya". Pembina ini tidak paham manajemen resiko, meski sudah mengantongi sertifikat kepramukaan dasar.
Jangankan sertifikat kepramukaan, yang sudah profesor saja bisa memalsukan ijazah.
Sebagai orang yang menginisiasi program, IYA meninggalkan tempat saat pelaksanaan kegiatan, hanya demi urusan ke bank. Sudah diperingatkan warga, namun dijawab nyinyir, kalau mati itu di tangan Tuhan. Dengan daftar tersebut, saya juga ingin rasanya berkomentar negatif.
Namun, pandangan publik berubah saat pihak kepolisian bertindak. Para pelaku mengaku menyesal, bersedih bahkan menangis atas perbuatan mereka, memenuhi iktikad baik (tidak kabur jalan-jalan seperti para koruptor!), tapi bisa-bisanya dilecehkan. Beberapa pihak berusaha membela ketiga pelaku.