Mohon tunggu...
Wans Sabang
Wans Sabang Mohon Tunggu... Administrasi - anak hilang

Jejak Literasi: Puisi-puisinya pernah dimuat di Koran Sastra Dinamika (Lampung), Radar Bekasi (Bekasi), Buletin Jejak (Majalah Sastra, Bekasi), Buletin Kanal (Majalah Sastra, Semarang) dan Linikini (Tayangan Macro Ad di Commuterline), Koran Jawa Pos dan Koran Tempo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Ada Islam ASPEK (Anti Speaker) di Sekitar Kita

5 September 2010   13:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 5283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagaimana rasa nya hidup tanpa televisi atau radio di rumah kita?. Televisi atau radio termasuk barang elektronik yang sulit dipisahkan dari gaya hidup masyarakat modern saat ini. Hampir di setiap rumah pada umumnya terdapat televisi dan radio.

Tidak jauh dari ibu kota, kurang lebih 60 s/d 80 km dari Jakarta, tepat nya di kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor Barat yang berbatasan dengan Serpong, Tangerang Selatan di beberapa desa seperti: Cicangkal, Ciaul, Barengkok, Maloko, Jatinunggal, Ciater, Gunung Tua, Cihelang dan Kampung Kemang masih terdapat komunitas umat islam ASPEK (Anti Speaker). Komunitas terbesar terdapat di desa Jatinunggal dan Ciater.

Dibeberapa desa seperti di Cicangkal, Ciaul dan Cihelang, komunitas islam ASPEK bergaul dan berbaur seperti biasa dengan masyarakat komunitas islam lainnya, seperti penjelasan Bapak Damijan sebagai salah seorang tokoh masyarakat di desa Ciaul. Yang membedakan adalah bagi masyarakat komunitas islam ASPEK, ibadah sholatnya dilaksanakan di masjid-masjid yang di dalamnya tidak terdapat atau tidak menggunakan speaker sebagai alat pengeras suara. Speaker atau alat pengeras suara yang terdapat di dalam masjid biasa digunakan untuk kegiatan Adzan (panggilan sholat) dan Khotbah (ceramah).

Bagi masyarakat desa Jatinunggal dan Ciater, dimana komunitas islam ASPEK merupakan penduduk mayoritas di desa tersebut. Listrik yang masuk ke desa-desa hanya digunakan untuk penerangan saja. Televisi, tape player, radio dan segala sesuatu yang berhubungan dengan audio seperti musik seolah diharamkan di desa tersebut. Masjid-masjid yang ada di kedua desa tersebutpun tidak menggunakan speaker. Panggilan Adzan yang keluar dari mulut Mu’adzin, radius suaranya terdengar hanya disekitar masjid saja. Begitu juga, saat Khotib membacakan Khotbah jum’at nya tanpa menggunakan speaker.

Pemahaman anti speaker ini berangkat dari pemikiran bahwa pada jaman dahulu atau pada jaman Rasulullah dimana masjid-masjid pada masa itu tidak menggunakan speaker sebagai alat pengeras suara. Mu’adzin yang ingin melakukan Adzan, biasanya naik ke atap atau menara masjid agar radius suaranya terdengar lebih luas. Jadi penggunaan speaker di masjid awalnya di anggap sebagai suatu Bid’ah (tata cara peribadatan yang tidak dicontohkan oleh Rasul). Perkembangan selanjutnya, bagi masyarakat komunitas islam ASPEK yang fanatik malah ada kesan penggunaan speaker atau yang berhubungan dengan speaker seolah diharamkan.

Pemahaman anti speaker ini ternyata tidak terbatas hanya di masjid saja, bagi masyarakat komunitas islam ASPEK, anti speaker juga berlaku di rumah-rumah tempat tinggalnya juga. Televisi, tape player maupun radio dan segala sesuatu yang berhubungan dengan audio, seperti musik pun tidak diperbolehkan karena masih berhubungan dengan speaker, seperti dijelaskan oleh Jaro Pe’i selaku kepala dusun desa Jatinunggal. Walaupun tidak ada larangan secara tegas tapi pengaruh ajaran dari Anjengan atau Kyai setempat masih sangat dihormati dan di taati.

Kondisi geografis desa-desa tersebut diatas yang umumnya terletak di dataran tinggi atau perbukitan sehingga desa-desa tersebut lebih terisolir dibandingkan desa-desa lainnya karena belum adanya sarana jalan yang memadai untuk dapat dilewati oleh alat transportasi seperti angkot. Alat transportasi yang ada saat ini hanyalah ojek motor. Karena kondisi jalan yang hanya cocok dilewati oleh sepeda motor maka mayoritas masyarakatnya memiliki sepeda motor untuk menunjang segala aktivitasnya.

Walaupun beda pemahaman, hubungan masyarakat umumnya dengan komunitas islam ASPEK, toleransi nya sangat tinggi. Kami tidak pernah memandang beda atau memandang lebih rendah terhadap saudara kami yang masih ASPEK, mereka bergaul dan berbaur seperti layaknya masyarakat biasa, sepintas jika kita perhatikan tidak ada bedanya, jelas Bapak Damijan lebih lanjut. Hubungan saya dengan Jaro Pe’i dari desa Jatinunggal yang masih ASPEK, layaknya seperti kawan biasa, diantara kami masih sering saling berkunjung dan bersilaturahmi.

Apakah pemahaman anti speaker ini akan mampu terus bertahan?. Ketika pertanyaan ini saya lontarkan, Bapak Damijan hanya senyum saja. Sulit memang menentang arus, walaupun lingkungan dan orang-orang tuanya masih ASPEK tapi anak-anak muda jaman sekarang walaupun masih ASPEK tapi banyak juga yang sudah memiliki handphone canggih, ada radio dan musiknya, jelas Bapak Damijan lagi.

Bukankah untuk mengeluarkan suara, handphone tersebut juga menggunakan speaker, Pak?. Tanya saya penasaran. Sekali lagi Bapak Damijan hanya senyum saja sambil cengengesan dan sesekali giginya yang merah akibat ‘nyirih dan merokok terlihat jelas.

Gunung Jaha, Bogor, 4 September 2010

Wans Sabang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun