Menapaki tangga pelangi, para bidadari turun dari langit.
Ingin merasai air bumi, merekapun mandi di telaga sepi. Ah, apa bedanya air bumi dan surgawi?. Bukankah sama-sama air?. Di surga cuma ada air yang manis, di bumi ada air yang pahit bahkan getir, Dik!. Begitulah penjelasan kakak-kakakku ketika di surga.
Mandi dan terus mandi, terlalu asyik hingga kami lupa diri. Bumi yang pahit mengasyikkan. Bumi yang getir tapi bisa membuat kami lupa diri.
Dibalik rerimbunan daun. Jaka Tarub berjingkat berhati-hati. Mendengar cekikikan canda tawa yang membangkitkan birahi. Apakah ini bukan mimpi di siang hari?.
Mata Jakat Tarub tak berkedip sedetikpun. Ia nikmati tubuh-tubuh putih para bidadari. Oh, Tuhan, ini rejeki!, rejeki!, teriak batinnya kegirangan. Ia pandangi terus hingga imaginasinya klimaks. Keberaniannya pun ter-ejakulasi.
Siapakah engkau, Hai!, Jaka Tarub?. Si pemanah burung rajawali!.
Siapakah engkau, Hai!, Jaka Tarub?. Si pengelana miskin papa!.
Ah!, pergilah kau jiwa pengecutku!, pergilah kau ke tempat yang jauh!, sebelum ku panah dirimu hingga tercabik-cabik.
Siapakah yang aku cari?. Tak ada cela sedikitpun. Semuanya cantik-cantik. Semuanya putih-putih.
Siapakah yang aku pilih?. Biarlah, tangan Tuhan yang menuntunku.
Jaka Tarub pun nekad. Sembarang kain dan selendang lalu ia curi.
Selesai asyik mandi, para bidadari kembali ke surgawi. Pelangi pun pergi meninggalkan telaga sendiri lagi. Sepi ... cuma terdengar isak tangis si Lesung Pipit.
Hayo!, Jaka Tarub, apa lagi yang kau tunggu?.
Akankah kau tunggu matahari hilang ditelan punggung bukit?.
Akankah kau tunggu matahari lelah rebah ke peraduan?.
Si Lesung Pipit menggigil sendiri.
Bukankah ia gadis yang sering kau hadirkan dalam mimpi-mimpimu?.
Bukankah ia gadis yang sering kau ajak bercinta dalam angan-anganmu?
C’mon, Jaka Tarub!. Kenapa kau jadi mem-banci.
Dibenarkan letak busur dan anak panah di punggungnya. Dipetiknya setangkai bunga nan wangi lalu diselipkan ditelinganya. Ahai!, sudah gagah nampaknya aku ini.
Betis kekarnya tajam menancap tanah tapi keraguan telah mengubur jiwa ksatrianya.
Bukankah dengan satu keyakinan, kau bisa memanah rajawali hanya dengan satu anak panah saja?.
Sudah kubidik ia sedari tadi, tapi ... memanah cinta tak semudah memanah burung rajawali?.
Wahai, Jaka tarub!, bukankah kau seorang pemanah sejati?. Busur dan anak panahmu selalu lapar ketika melihat sasaran. Seperti jiwamu yang lapar akan cinta.
Jaka Tarub pun menghampiri bidadari berlesung pipit.
“Wahai adik, tak perlu kau menangis?, ada kanda disini yang bersedia menemani.”
“Hah!, siapakah kau?.” Si Lesung Pipit terkejut.
“Aku Jaka Tarub si pemanah burung rajawali, si pengelana miskin papa.”
“Oh, tidak!... apakah kau laki-laki itu yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukku!.” Teriak Si Lesung Pipit, “Pergilah kau!, pergi!, aku tak percaya pada laki-laki!.”
Si Lesung Pipit gundah, ia tenggelamkan tubuh putihnya kedalam telaga.
“Bangkitlah, dik!, apakah kau akan berendam seharian ditelaga ini?.”
Ditunggunya sejenak, dua jenak, hingga berjenak-jenak, Jaka Tarub pun putus asa.
“Baiklah kalau kau mau tetap disini sendiri dan mati kedinginan, aku akan pergi!.”
Jaka Tarub pun membalikkan badannya.
“Kak... .!.” Si Lesung Pipit memanggil.
Panggilan merdu si Lesung Pipit, semerdu suara seruling si gembala di padang rumput, yang memaku kaku kaki Jaka Traub. Ia pun mngurungkan niatnya untuk pergi.
“Berikan kain sarung itu!.” Pinta si Lesung Pipit pada Jaka Tarub. “Dan cepatlah, kau balikkan badan!.”
Jaka Tarub menurut saja. Si Lesung Pipit kini sudah berkain sebatas dada.
“Aku tidak bisa kembali ke surga karena tubuh putihku telah terlihat oleh laki-laki.” Lirih suara si Lesung Pipit sedih. "Sungguh suatu aib bagi kaum kami di surga."
“Mau kah kau tinggal bersama di pondokku?.” Ajak Jaka Tarub pada si Lesung Pipit.
“Ah, dimana lagi aku bisa tinggal selain di pondokmu?, karena hanya kau satu-satunya laki-laki yang pernah ku kenal.”
Singkat cerita, waktu terus bergulir seperti roda raksasa yang terus berputar. Atau diputar?.
Malam demi malam dilalui bersama. Bergelut mesra, berburu desah. Seratus sentuhan, sejuta cengkraman larut dalam satu genggaman kenikmatan. Seratus tanya, sejuta keraguan larut dalam satu resah yang selalu menjadi momok dalam pikiran Jaka Tarub.
“Wahai, Kakak, apakah kau seorang ksatria atau hanyalah seorang laki-laki yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukku?.”
“Jawablah yang jujur, Kak!.”
Sejak malam pertama, hingga berpuluh-puluh malam, hanya itu- itu terus yang ia tanyakan. Sebuah pertanyaan yang konyol. Sebuah pertanyaan yang tak perlu ku jawab. Bisik batin Jaka tarub.
Bukankah kita sekarang telah berjaya. Sawah yang dulu tak pernah ku punya, kini telah berhektar-hektar kita punya. Seekor ternak pun yang dulu tak pernah ku punya, kini telah beranak pinak, ayam, kambing dan kerbau. Apalagi yang kau cari dalam hidupmu, Dik?. Kebahagiaan yang seperti apa lagi yang belum kau rasakan, Dik?. Mengapa hanya, pertanyaan itu- itu saja yang terus kau lontarkan setelah kita berdua puas berasyik masyuk.
“Jawablah yang jujur, wahai ksatria!.”
“Jawablah yang jujur, wahai ksatria!.”
“Jawablah yang jujur, Kak!.”
Pertanyaan yang memekakkan telinga, menoreh luka lama yang tak sembuh-sembuh. Pertanyaan itu!, bagai cuka yang kau teteskan dalam lukaku yang semakin menganga.
“Percayalah, Dik... aku adalah ksatria mu!, kakak yang mencintai dan mengasihimu!.” Jawab Jaka Tarub, telah habis kesabarannya.
“Jawablah yang jujur, ksatria ku!.” Tantang si Lesung Pipit pada Jaka Tarub.”Kalau kau memang ksatria ku dan bukanlah seorang laki-laki yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukku!.”
Bagai ditempeli sebilah belati di lehernya, Jaka Tarub pun pucat pasi. Keringat sebesar-besar jagung menetes dari keningnya yang telah berkerut.
“Sudah berapa lama kau pandangi tubuh-tubuh putih kami waktu di telaga dulu?.” Tanya si Lesung Pipit tegas. “Jawablah yang jujur, ksatriaku!.”
“Ah, eh, oh (salah tingkah), kenapa kau tanyakan itu, Dik?, itu kan sudah lama berlalu, ah, aku sudah lupa.”
“Bukankah Kakak yang telah mencuri kain dan selendangku?.” Tanya si Lesung Pipit tenang. “Jawablah yang jujur, Kak.” Pinta si Lesung Pipit memohon.
“Hah!, apa? (marah) Buat apa aku mencuri kain dan selendangmu?, tak ada kah sedikitpun rasa terima kasihmu pada orang yang telah berbaik hati menolongmu?.”
“Duh, Kakak... .” Lesung Pipit pun sedih.
“Ternyata benar kecemasanku, Kakak bukanlah ksatria ku... kau hanyalah laki-laki yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukku!.”
Lesung Pipit pun menangis. “Kau hanyalah laki-laki yang hanya ingin memiliki dan melumati tubuhku saja... .”
“Memang benar, apa kata kakak-kakakku, laki-laki memang tak layak dipercaya!.” Lesung Pipit pun semakin menjadi-jadi tangisnya. “Huh!, ksatria yang jujur tidak pernah ada di bumi, ia cuma hidup di dongeng-dongeng saja.”
Jaka Tarub, ksatria pemanah burung rajawali tak gentar dihadang musuh. Diterjangnya badai dan topan, ditantangnya kilat dan gemuruh demi sebuah harga diri. Harga diri seorang laki-laki. Laki-laki sejati, laki-laki ksatria.
Tak tahan dibilang bukan ksatria dan bukan laki-laki yang jujur oleh si Lesung Pipit, Jaka Tarub pun menyelinap masuk kedalam pondokan. Dibongkarnya ruang bawah tanah. Mengambil sesuatu lalu Jaka Tarub pun bergegas keluar.
“Ini kain dan selendangmu!, ambillah!.” Perintah Jaka Tarub pada si Lesung Pipit.
Si Lesung Pipit menghentikan isak tangisnya. Matanya berkaca-kaca memandang kain dan selendang yang diberikan Jaka Tarub.
“Aku sudah berbuat jujur!, aku tak bukanlah laki-laki yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukmu, aku hanya ingin ... menjadi ksatria mu, Dik!.”
“Terimalah aku sebagai ksatria mu ... terimalah aku dalam cinta dan kasihmu, Dik.” Jaka Tarub merajuk.
Si lesung Pipit hanya diam, dengan sigap ia ambil kain dan selendangnya. Menyelinap sesaat kedalam pondokan, bertukar pakaian lalu ia bergegas keluar.
Si Lesung Pipit tersenyum pada jaka Tarub. Senyum yang paling manis yang pernah Jaka Tarub rasakan.
“Terima kasih, terima kasih atas kejujuran, Kakak ... ternyata kakak adalah seorang ksatria, laki-laki sejati yang pantas mendapatkan cinta dan kasihku.”
Jaka Tarub berbunga-bunga bahagianya. Tak sia-sia kejujurannya, kejujuran yang dibayar dengan pernyataan dan pujian yang tulus.
“Tapi, Kak... tak bisa selama nya aku tinggal bersama Kakak.”
“Aku harus pergi, Kak ... pergi sekarang juga ke surga karena aku tak mau disakiti oleh laki-laki.”
Bagai guntur di siang hari mendengar keinginan si Lesung Pipit. Jaka Tarub berusaha meredakan keterkejutannya.
“Dik, jangan lah pergi ... aku sangat mencintaimu, dan tak akan menduakanmu apalagi sampai menyakitimu ... .”
"Ah, janji laki-laki!, semua laki-laki selalu berjanji sehidup semati!."
“Tapi ... sudahlah!, aku tak ingin disakiti oleh laki-laki, ma’afkan aku, Kak ... aku harus pergi!.”
Jaka Tarub bergegas masuk kedalam pondokannya, di ambilnya busur dan anak panah yang tergantung di bilik.
Ditentangnya busur dan anak panah yang siap melesat. Dihadapkannya tajam anak panah pas di jantung si Lesung Pipit.
“Kalau kau bersikeras ingin pergi, akan ku tancapkan anak panah ini tepat di jantungmu!.” Ancam Jaka Tarub pada si Lesung Pipit.
“Akan ku belah dadamu lalu ku makan jantung dan hatimu, agar dirimu tetap menyatu di diriku.”
“Cinta adalah kerelaan, Kak ... dan hanya kamilah penghuni surga yang telah mengerti itu. Kalau kakak benar-benar mencintaiku, rela kan aku pergi, Kak.”
“Tidaaaaakkk!, aku tidak rela kamu pergi! (sambil tersedu sedan Jaka Tarub pun menangis), aku tak ingin kehilanganmu karena aku sangat, sangat mencintaimu!.”
“Selamat tinggal, ksatria ku ... .” Si Lesung Pipit pun melambaikan tangan nya. Seketika saja tubuhnya menjadi seringan kapas. Dalam beberapa jarak tubuhnya mengambang di udara.
“Tidaaaaakkk!.” Jaka Tarub berteriak marah. Dilesatkannya anak panah ke arah jantung si Lesung Pipit.
Dari ketinggian si Lesung Pipit hanya diam walau tubuhnya dipanahi Jaka Tarub berkali-kali. Bagai memanah angin, satu demi satu anak panah nya pun jatuh kembali ke tanah. Karena tubuh bidadari berlesung pipit itu telah moksa, siap untuk pergi menuju alam surgawi.
“Cinta bisa ada dalam ketiadaan, cinta bisa tiada dalam keadaan karena cinta adalah cinta itu sendiri... selamat tinggal, ksatriaku ... sampai bertemu di surga nanti.”
“Tidddaaaaakkk!.” Bagai harimau Jaka Tarub pun mengaum.
Dilihatnya sisa anak panah terakhirnya, lalu dihujamkannya ke dalam jantungnya bertubi-tubi.
“Aaaargh! Orgh!, Aaaargh!.” Jaka Tarub mengerang-erang kesakitan.
“Kakaaaaakkkk !, Oh, Tuhan... Kakkkkaaaak!” Si Lesung Pipit terpekik.
Tubuh Jaka Tarub pun ambruk, semburat darah keluar dari dadanya. Masih digenggamnya anak panah yang tertancap kuat di jantungnya. Tangannya pun merah bermandikan darah.
“ Bi... bi..ar ... biar ku bawa mati saja cinta ini!, ku bawa mati semua kenangan bersamamu, agar kau tahu bahwa cinta itu cinta ... seperti katamu tadi, ya cinta itu cinta ... cinta ada dalam ketiadaan.”
Dengan senyum, Jaka Tarubpun menghembuskan nafas terakhirnya.
“Kakak, Ough, Kakak!.” Jerit si Lesung Pipit lirih.
Tanpa terasa air mata menetes hangat di pipinya. Si Lesung Pipit memandangi Jaka Tarub lekat-lekat. Ya, cinta itu cinta. Pelangi telah menjemputnya, ia pun terbang dibawa angin menuju surgawi.
Di bumi ada pahit, ada juga getir, seperti yang kakak-kakakku pernah ceritakan. Mereka cuma bisa cerita dan cerita kepadaku sedari aku kecil tapi mereka tak pernah rasakan, di bumi ada air mata, air mata bahagia atau sedih?. Tipis sekali bedanya, setipis titian rambut dibelah tujuh.
(WS @GJL 010412)
Gambal diambil dari situs : pinkmima.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H