Pihak pengelola jalan tol Jakarta-Cikampek dengan Pe De (Percaya Diri) nya memasang spanduk dengan huruf besar dan tebal, sehingga selintas saja dari dalam mobil bisa kita baca DEREK TOL GRATIS, disertai dengan no telpon pengelola jalan tolnya. Tulisan yang terpampang sangat jelas itu ternyata 'gak lebih dari sekedar basa-basi. Meski pihak pengelola telah menyediakan mobil derek tol gratis, kenyataannya tidak se-bombastis jargonnya. Tetap saja mobil derek liar hilir mudik seenaknya di jalan tol mencari sasaran 'empuk tanpa ada tindakan pelarangan dari pengelola jalan tol. Jelas, keberadaan mobil derek liar tersebut sangat meresahkan bagi pengguna yang mobilnya mengalami kerusakan di jalan tol. Tarif tol yang terus menerus merangkak naik, ternyata tidak ditindak lanjuti dengan pelayanan yang semakin lebih baik, ramah dan bersahabat bagi pengguna jalan tol. Beberapa waktu lalu, penulis pernah berurusan dengan awak dari mobil derek liar. Karena sesuatu hal, mobil penulis mengalami kerusakan di sekitar jalan tol antara Bekasi Barat dan Jati Bening, pada malam hari kira-kira pukul 22:00 WIB. Begitu mobil penulis mogok, penulis langsung berinisiatif menelpon operator atau petugas DEREK TOL GRATIS. Suara lembut dan meyakinkan dari seorang operator wanita bisa menenangkan kepanikan penulis pada saat itu juga. Baru beberapa saat penulis merasa tenang karena dijanjikan secepatnya akan datang mobil derek tol gratis, tiba-tiba saja 3 (tiga) orang laki-laki berbadan kekar dan berwajah sangar serta tanpa seragam atau atribut apapun, hanya pakaian yang layaknya dikenakan oleh preman, yaitu bercelana jins, ada yang memakai jaket kulit atau rompi jins juga. Mereka langsung menurunkan katrol bermaksud menderek mobil penulis. Sempat terjadi adu mulut antara penulis dengan awak derek tol liar tersebut, karena mereka mau menderek mobil penulis tanpa persetujuan penulis dan dikenakan biaya yang cukup mahal pula, yaitu Rp 500.000,- (lima ratus ribu) untuk menderek mobil penulis sampai ke bengkel terdekat. Penulis katakan bahwa mobil penulis tidak mau diderek oleh mereka dan penulis sedang menunggu mobil derek tol yang resmi. Mereka pun menggertak penulis dengan alasan bahwa mereka pun adalah petugas derek resmi. Ketika mereka meneruskan memasang katrol pada mobil penulis, penulis katakan kalau mau derek, bawa saja mobil penulis ke alamat kantor surat kabar KOMPAS (sambil penulis menyebutkan alamat tersebut kepada mereka). "O... jadi bapak ini wartawan?!." Kata awak derek tol liar. "Iya, saya wartawan KOMPAS !." Jawab penulis mantap (padahal penulis cuma orang yang hobi menulis di Kompasiana saja). "Huh, pantas 'ngeyel !. " Kata salah satu awak lainnya. Ternyata mereka cuma 'gertak sambal' saja. Mereka pun pergi setelah tahu bahwa penulis bukanlah sasaran 'empuk. Selang beberapa menit, ternyata datang lagi mobil derek. Tapi lagi-lagi mobil derek liar yang datang. Seperti kejadian sebelumnya, modus operandinya sama, dengan menakut-nakuti dan menggertak, cuma kali ini mereka menawarkan ongkos derek yang lebih murah dari sebelumnya, yaitu Rp 350.000,-. Dengan tegas, penulis tolak dan penulis katakan bahwa penulis adalah seorang wartawan. Dengan muka cemberut dan kesal, mereka pun akhirnya pergi. Melalui HP, penulis telpon kembali ke nomor operator pengelola jalan tol Jakarta-Cikampek. Dengan kemarahan yang memuncak dan mengancam bahwa buruknya pelayanan DEREK TOL GRATIS akan dimuat sebagai berita di harian surat kabar KOMPAS besoknya. Operator wanita tersebut pun meminta-minta ma'af kepada penulis dan mengatakan bahwa mobil derek tol yang resmi sudah meluncur dari tadi. Setengah jam menunggu, mobil derek tol resmi akhirnya datang. Dengan senyum sinis, penulis pun berkata kepada petugas mobil derek. "Benar, gratis nih?." "Hehehehe.. iya pak Gratis." Jawab si petugas. "Alhamdulillah... "Sahut penulis lega. "Tapi, Pak ... masa bapak tega sih?." Kata si petugas yang satunya lagi. "Maksud, bapak ?." Tanya penulis tidak mengerti. "Jaman sekarang mana ada yang gratis sih, Pak!, Kencing saja, bayar!." Kata petugas itu lagi. "Lah!, katanya GRATIS?, gimana sih?." Kata penulis kesal. "Terserah, kebijaksanaan bapak saja lah ... ." Jawab petugas mulai melemah. "Dari pada mobil bapak ditarik derek liar, ongkos nya mahal... kalau dengan kita, terserah kebijaksanaan bapak sajalah, masa bapak 'gak ada "pengertiannya" sih?." "Iya, berapa jadinya ... ?." "75 aja, pak .. buat kita berdua, gimana pak?, kalau cocok baru kita derek kebengkel terdekat." "Ya, sudahlah!, derek!." Sahut penulis 'kesal. Mobil pun akhirnya diderek dibawa ke bengkel disekitar jatibening. Setelah katrol dilepas, Penulis merogoh kocek dan memberi uang ratusan ribu selembar kepada petugas itu. "Waduh, Pak... ma'af pak, uang pas aja!, gak ada kembaliannya, Pak!." Jelas petugas itu lagi. "Ya, sudah, ambil saja semua!." Sahut penulis kesal. "Terima kasih, Pak... ikhlas ini ya, Pak?." Tanya petugas berlaga lugu. Terus terang saja, penulis 'gak ikhlas bukan hanya kepada petugas mobil derek tapi juga kepada pengelola jalan tol Jakarta-Cikampek. Jargon nya saja yang bombastis, prakteknya nol besar. Derek tol, katanya gratis?. Ternyata, Huh!. (WS@GJL, 050312)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H