HUJAN MUSIM GUGUR
:Autumn from The Four Seasons(1) By Vivaldi (1678 -- 1741)
Angin dingin menyapu pilar-pilar Katedral. Sisa genangan air dari laguna masih membasahi gang-gang kecil hingga ke alun-alun.
Di tepi Grand Canal, telingaku pejal menangkap momen-momen yang diterjemakan oleh bunyi instrumen, tipis dan tebal. Rendah dan tinggi nada, dalam tempo yang berbeda.
Akankah bisa diterjemah dalam tiap bait kata, lalu untuk apa orkestra yang mengiringi drama? Kekuatan sihir bunyinya bisa buat sedih dan senang, tegang juga lega, seperti tiap-tiap plot dalam cerita.
Untuk itukah aku ada, terdampar di jalan-jalan diantara bangunan berukiran bunga-bunga berwarna suasa. Untuk itukah kita berjumpa. Dipantulkan laguna berkaca, senja makin jingga. Mozaik cinta yang sempat buatku terperangah. Diatas gondola, melewati Rialto bridge, bibirku mengecup surup matamu. Atau hujan musim gugur yang buat wajahmu sebal.Â
Sejumput lagi waktu surut. Lukisan matahari pun absurd. Entah perpisahan kita yang megah. Atau empat patung kuda yang gagah berdiri dibawah lengkung kubah.
Sebentar lagi Winter. Angin tak lagi menyisir sela-sela rambutku yang tergerai kusut. Mata redup, Konserto(4) demi Konserto telah buat hatiku kuyup. Rasanya, Vivaldi menulis simfoni tentang hatiku yang telah condong putih. Dari atas balkon, aku pandangi puisi yang pergi.
(2017)
Wans Sabang, cerpen dan puisinya dimuat beberapa media dan sejumlah buku antologi bersama. Tinggal di Bogor, menjadi pegiat sastra dan penulisan naskah film.