Mohon tunggu...
Wans Sabang
Wans Sabang Mohon Tunggu... Administrasi - anak hilang

Jejak Literasi: Puisi-puisinya pernah dimuat di Koran Sastra Dinamika (Lampung), Radar Bekasi (Bekasi), Buletin Jejak (Majalah Sastra, Bekasi), Buletin Kanal (Majalah Sastra, Semarang) dan Linikini (Tayangan Macro Ad di Commuterline), Koran Jawa Pos dan Koran Tempo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

La Tahzan, Jangan Bersedih!. (# 1)

18 Oktober 2012   11:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:42 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perceraian. Akhirnya kita dihadapkan pada sebuah pilihan. Pilihan terakhir, sering orang menyebutnya seperti itu. Perceraian bukanlah kiamat atau akhir dari segalanya. Dan perceraian bukanlah sebuah pilihan keputus asaan. Perceraian sejatinya adalah sebuah keputusan yang kita pilih atas dasar kesadaran dan tanggung jawab atas segala akibatnya.

Kita harus optimis bahwa apapun jalan hidup yang telah kita pilih selalu ada hikmah dan pembelajaran yang sangat berharga dari Tuhan. Pandanglah kedepan dan tata kembali hidup, tak ada gunanya lagi kita selalu menengok kebelakang. Bukankah dihadapan kita terbentang luas masa depan yang harus kita raih.

Kedua putriku, Aliya dan Rosnia adalah alasan yang membuatku harus tetap hidup, tetap waras dan tetap sehat. Cap orang tua yang melekat pada kita tak akan pernah hilang. Walaupun perceraian itu harus terjadi, tanggung jawab dan kasih sayang kita terhadap anak-anak janganlah berubah. Mereka masih sangat membutuhkan kita, apalagi aku sebagai ibunya yang telah melahirkan mereka. Kasih sayang pada Aliya dan Rosnia lah yang telah membelalakkan mataku untuk berani menatap hari esok.

Sejak resmi bercerai, suamiku tidak lagi tinggal di rumah ini. Dia kembali ke rumah orang tuanya, katanya untuk sementara. Biarlah aku dan kedua anakku yang menempati rumah ini, begitu kata mantan suamiku. He he he… sekarang aku tambahkan kata mantan di depan kata suami karena kami bukan lagi suami istri. Dia tetap bertanggung jawab menafkahi aku dan anak-anaknya. Sampai kapan aku harus bergantung pada belas kasihnya?. Saat ini dia belum beristri lagi, kalau dia sudah beristri dan punya keluarga baru tentu saja semuanya akan berubah, apakah dia masih mau dan sanggup menafkahiku dan anak-anak?. Aku harus mandiri dan bisa menghidupi diriku sendiri. Kedua putriku ada dalam pengasuhanku tentu saja mereka pun akan menjadi beban tanggung jawabku juga. Aku harus bangkit!. Tak ada gunanya aku terus menerus merenungi nasib. Ayo, Ayu bangkitlah!. La Tahzan!, jangan bersedih!. Apakah kau tega membuat dirimu dan anak-anakmu terpuruk?. Begitu bisik hatiku. Bukankah Tuhan tidak pernah tidur?. Ayo, Ayu bangkitlah!. La Tahzan!, La Tahzan!, kesedihan hanya akan membuatmu dan anak-anak hancur.

Dengan keberanian yang masih tersisa dan hasil penjualan cincin emas, hadiah mas kawin yang setia melingkar di jari manisku. Aku mulai bangkit. Disela-sela kesibukan mengurus kedua putriku, aku mencoba buka warung berjualan mie ayam jamur. Konsep yang ku tawarkan pada konsumen adalah mie ayam sehat dan vegetarian. Aku membeli mesin kecil alat pembuat mie. Mie nya aku buat sendiri, dari tepung dan campuran sari pati sayur-sayuran. Aku berusaha tampil beda dengan tukang mie ayam yang pernah ada. Mie hasil buatanku yang berwarna hijau terbuat dari campuran sari bayam dan yang berwarna oranye terbuat dari sari wortel. Tergantung selera konsumen, mau yang beraroma dan rasa bayam atau wortel tapi yang pasti mie buatanku kaya akan serat. Untuk topping atau isi mie nya bukan terbuat dari olahan daging ayam tapi aku buat dari olahan irisan kentang dan jamur yang ku masak pakai saus teriyaki. Akupun tidak memakai mecin untuk bumbu penyedapnya, selain lada untuk kaldu nya aku campur pakai godokan irisan bawang putih, bawang bombay dan daun bawang. Sayurannya selain sawi aku tambahkan juga toge. bahan-bahan pokoknya berasal dari sayur-sayuran, lebih sehat dan cocok untuk orang-orang vegetarian.

Mie ayam jamur “La Tahzan”, begitu nama yang terpampang pada warung sederhanaku. Kata yang menginspirasiku untuk bangkit dari keterpurukan. Jangan bersedih!, aku harus bangkit!, aku harus bangkit!. Kata-kata itu yang selalu ku tanam dalam benakku.

Disela-sela kesibukan mengantar kedua anakku sekolah, dengan semangat yang tak kenal lelah, aku pun sibuk di warung melayani para pembeli yang lambat laun mulai ramai. Bagiku keramaian itu adalah rejeki yang tak terduga dari Tuhan. Selain bermodalkan kerja keras, keunikan mie ayam jamur “La Tahzan” juga menjadi ciri khas yang membedakannya dengan warung mie ayam lainnya. Pada awalnya banyak orang yang ingin mencoba kelezatan “La Tahzan”, selanjutnya mereka pun jatuh cinta, selain karena pelayanannya yang ramah, kebersihan dan kerapihan warung selalu kujaga.

Bukan hanya orang-orang vegetarian saja yang sering mengunjungi warung mie ayamku, orang-orang pada umumnya yang berorientasi pada kesehatan mulai melirik “La Tahzan”, karena mie ayam jamur “La Tahzan” kaya akan serat dan tidak mengandung kolesterol.

Tahun pertamaku sebagai single parents akhirnya bisa ku lalui dengan segala puji syukur kepada Tuhan. Karena berkat kasih sayang-Nya, aku mampu lalui cobaan yang paling berat dalam hidupku.

Disaat ku mulai bisa melupakan kenangan pada mantan suamiku, tiba-tiba saja wajahnya kini ada dihadapanku. Dia keluar dari pekerjaannya, beralih profesi menjadi pengusaha tapi sayang usaha yang dirintisnya hancur karena ditipu oleh rekan bisnisnya.

“Maafkan aku, Yu. aku sudah bangkrut!. Aku sudah tidak mampu lagi untuk membiayai kamu dan anak-anak. Aku harap kamu mengerti.” Kata mantan suamiku.

Perempuan mana yang tak mau mengerti kepada seorang lelaki yang pernah disayanginya. “Sabarlah, mas!. namanya juga usaha, jatuh bangun itu adalah hal biasa. Yang terpenting kita jangan sampai kehilangan semangat!.” Begitu aku menasehatinya.

“Itulah, Yu, mengapa hari ini aku datang kemari!. Aku berharap pengertianmu sekali lagi.”

“Kalau memang bisa, aku akan bantu, Mas.”

“Kamu ikhlaskan?.”

“Maksud, mas?.”

“Dengan usahaku yang sudah bangkrut, aku tetap saja punya tanggung jawab untuk menafkahi keluargaku, Yu. Aku sudah tidak tahu dari mana lagi aku harus mencari uang untuk bisa membeli susu buat anakku.”

Jujur saja, aku selalu sedih kalau ada orang tua yang tidak mampu membelikan susu buat anaknya. Tapi aku cuma diam saja mendengar keluhan nya.

“Istriku cuma wanita biasa, Yu. Seorang ibu rumah tangga yang hanya pandai mengurus anak, beda dengan kamu Yu, sekarang kamu sudah hebat, warung mie ayammu ramai pengunjung.”

“Bukankah aku dulu juga wanita biasa, mas?. Seorang ibu rumah tangga yang hanya mengandalkan pemberian suaminya saja. Apa bedanya aku dulu dengan istrimu sekarang?. Aku bisa punya usaha karena “keadaan”, mas. Keadaan yang menuntutku untuk bangkit!.”

“Itulah makanya aku berharap kamu bisa mengerti dan ikhlas… .”

“Gak usah berputar-putar, to the point saja, sebenarnya apa maksud, mas datang kemari?. Ma’af ya mas, sebentar lagi aku harus menjemput Aliya dan Rosnia pulang sekolah.”

“Oh, iya apa kabarnya Aliya dan Rosnia, sehat?.”

“Alhamdulillah, sehat.”

“Syukurlah kalau kalian sehat-sehat saja.”

“Maksud kedatangan mas, bukan untuk menanyakan keadaan kami kan?.” Tanyaku sambil melotot menatap tegas ke mata mantan suamiku.

“Oooh, ehhh, iya Ayu.” Suamiku jadi salah tingkah.

Akupun mulai tak sabar menghadapi tingkah suamiku yang ragu.

“Aku ingin menjual rumah ini, Yu. Lalu hasil penjualannya kita bagi dua. Aku perlu modal untuk usaha lagi, Yu.”

“Bukankah kamu pernah bilang bahwa rumah ini adalah untukku dan anak-anak?.” Tanyaku kesal.

“Jalanku sudah buntu, Yu!.”

“Lantas aku dan anak-anak mau tinggal dimana, mas?.”

Mantan suamiku diam beberapa saat, matanya hanya menekuri lantai.

“Terpaksa, Yu.”

“Kalau rumah ini dijual, aku mau usaha apa lagi, mas?.” Jeritku kesal.

“Terpaksa aku berbuat begini. Tidak ada jalan lain, Yu, cuma dengan menjual rumah ini aku bisa punya usaha lagi!.”

“Kamu bisa punya usaha!. Tapi usahaku mati!. Kamu memang egois, mas!. Hanya mementingkan dirimu sendiri saja tanpa memperdulikan aku dan anak-anak.”

“Bukan begitu, maksudku, Yu … .”

“Ah, sudahlah!. Jangan pandang aku, mas!. Aku sekarang cuma orang lain bagimu. Tapi, lihatlah, Aliya dan Rosnia mereka anak-anakmu jugakan?.”

“Aku janji, Yu. Kalau aku sudah sukses, Aliya dan Rosnia akan aku urus biaya sekolahnya.”

“Gak usah banyak janji, mas!. Karena janji adalah hutang!.”

Akhirnya rumah yang aku tempati tidak jadi dijual kepada orang lain. Dengan menjaminkan surat akte rumah ini ke bank terpaksa aku yang membelinya. Setelah mendapatkan pinjaman, aku memberikan uang setengah harga dari harga jual rumah ini kepada suamiku. Dan selanjutnya cicilan pinjaman itu, aku yang bayar.

Cobaan demi cobaan selalu datang silih berganti, inilah hidup. Aku menjalaninya dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Aku berdo’a agar aku diberi kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup ini.

Tahun demi tahun, usaha mie ayamku semakin maju. Cicilan pinjaman ke bank akhirnya bisa ku lunasi. Dengan dibantu oleh beberapa karyawan, selain mengurusi kedua putriku, aku pun bisa lebih fokus dalam mengembangkan “La Tahzan” ini.

Aku tidak mau cepat berpuas diri. Banyak kekurangan yang harus ku perbaiki, terutama dalam hal me-manage usaha kuliner ini. Dari seminar ke seminar dan aktif dalam komunitas entrepreneurship, aku banyak mendapatkan ilmu.

Brand image mie ayam jamur “La Tahzan” harus aku tingkatkan. Bukan hanya warung mie ayam rumahan saja, “La Tahzan” harus naik kelas.

Dengan menyewa sebuah kios di food court salah satu mall, “La Tahzan” kini mulai dikenal orang.

La Tahzan, mie ayam jamur dengan konsep yang berbeda dan unik memiliki brand yang berkarakter kuat karena La Tahzan kini memiliki image sebagai pelopor mie ayam sehat.

Banyak orang yang ingin bekerja sama dan menjadi mitraku. Berbekal ilmu wira usaha dan keinginan untuk berbagi kesuksesan kepada orang lain, La Tahzan pun membuka kesempatan kepada orang lain untuk mempunyai bisnis kuliner dengan sistem franchise. Dengan membayar royalty fee, maka mitra usaha bisa menggunakan La Tahzan sebagai merk dagangnya.

Gemuruh tepuk tangan dan senyum gembira para tamu dan pengunjung membuatku merasa terharu. Selesai aku menggunting pita sebagai peresmian tanda dibukanya gerai warung mie ayam jamur “La Tahzan” yang ke lima belas dan telah tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Selalu saja seremonial itu, menyisakan titik air mata di ujung mataku. Terima kasih, Tuhan, aku yakin Engkau tidak tidur. La Tahzan, jangan bersedih karena Engkau selalu mendengar dan mengabulkan do’a dari hamba-hamba-Mu yang ikhlas.

*****

terinspirasi oleh kisah : Bunda Ayu, Bunda seribu malaikat di Bekasi

Bersambung ke La Tahzan, Bagian ke : 2

La Tahzan, WS @ GJL, 171012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun