Mohon tunggu...
Wans Sabang
Wans Sabang Mohon Tunggu... Administrasi - anak hilang

Jejak Literasi: Puisi-puisinya pernah dimuat di Koran Sastra Dinamika (Lampung), Radar Bekasi (Bekasi), Buletin Jejak (Majalah Sastra, Bekasi), Buletin Kanal (Majalah Sastra, Semarang) dan Linikini (Tayangan Macro Ad di Commuterline), Koran Jawa Pos dan Koran Tempo.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Siti Jurnalis Macet Menulis "Gara-gara si Komo Lewat"

31 Maret 2012   07:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1333179177398179314

Macet lagi, macet lagi, gara-gara si Komo lewat.

Macet lagi, macet lagi, gara-gara si Komo lewat.

Aku masih melototi monitor PC ku.Yang nampak cuma layar putih dari Microsoft Word.

Terngiang terus lagu nya si Komo.Macet lagi, macet lagi. Huh!, kok macet sih?, perasaan tadi ada sesuatu yang ingin ku ketik tapi gara-gara si Komo lewat, pess!, hilang deh mood nya.

Apa mau diketik?, layar putih sudah terbentang di depan mata, alunan musik instrumental sejak tadi memanjakan telinga dan jari-jari lentik siap menarikan huruf.Padahal saat ini, sang waktu pun telah mau di pesiangi hingga menjadi lembaran detik demi detik.

Aku cuma bisa menarik napas panjang.Ku bongkar catatan-catatan ceker ayam ku, di pelototin satu per satu bergantian juga ku pelototi layar putih. Salah tingkah, ball point ku selipi diantara telingaku, rambut ku kuncir dengan karet gelang biar butir keringat mudah ku usir dengan sapu tangan. Huuuuh!, lagi-lagi cuma tarik napas panjang yang bisa kulakukan, seakan berfoya-foya kuberikan semuanapas pada ruang sumpek.

Satu paragraph belum selesaiku tulis. Ku ketik, ku delete, ketik lagi, delete lagi. Macet lagi, macet lagi, ku biarkan si Komo lewat, akhirnya aku mengalah juga pada si Komo. Meninggalkan meja komputer, melangkah dalam dunia sejuta tanya.

“Pfffuih!, beeerrrr, Mama... !.” Jerit suamiku.

“Hah!.” Teriak ku kaget, melihat suamiku memuntahkan teh manis yang baru saja ku hidangkan tadi. “Ada apa, Pa?.”

“Coba Mama rasain saja sendiri!.”

Aku sigap mengambil cangkir teh manis, seruput, lalu,“weeeee... Oegh, oeghh.”

“Kok, asin banget?.”

Suamiku cuma bingung menatap ekspresiku.

“Ma’af, Pa... Mama bikinin lagi ya.” Aku pun beranjak ke dapur. Sepertibiasa, aku selalu sediakan teh manis hangat beserta panganan sebagai penyambut kepulangan pahlawanku dari medan tempur pekerjaan. Seperti hari ini, gak ada panganan, kenapa tidak terpikir untuk beli panganan tadi?. Ya cukup secangkir teh manis saja untuk penghangat tubuhnya. Paling dia cuma tanya, “gak ada “temen” nya nih, Ma?.” Aku jawab saja dengan senyum termanis sedunia. Dan suamiku pun luluh hatinya.

“Mama gak sendiri!, penulis terkenal pun pernah mengalami macet.Apalagi Mama yang baru belajar menulis, macet ketika menulis itu hal yang biasa.” Jawab suamiku menenangkan hatiku.

“Habis, kesal sih!.”

“Kesal kenapa, Ma?.”

“Kesal dengan Kompasiana!.”

“Kok?.’”

“Bukan dengan kompasiana nya, Pa.” Kataku meralat. “Itu loh, Pa... ada penulis di kompasiana yang gak fair dan curang!, Huh!, dasar pengecut mereka itu.”

“Maksudnya, Ma?.”

“Mama sebenarnya gak ‘ngeh dengan istilah “kloningan”.”

“Teruussss?.”

“Mereka yang gak fair dan curang itu membuat banyak profil “kloningan”, kemudian mereka beri ratting tulisannya sendiri agar tulisannya masuk kriteria ter-, ter-, ter-. Norak gak sih, Pa?.”

“Norak banget!.” Sahut suamiku mantabs.

“Terussss... ?.” Tanya suamiku lagi.

“Kok, terus... terus doang, sih Papa!.” Jawabku kesal. “Gara-gara itu, Mama jadi bete!, mau nulis macet, mau nulis lagi, macet lagi, kabur deh moodnya Mama.”

“Ooooo... .” Bibir mungil suamiku cuma bisa membentuk huruf O.

“Sebenarnya, Mama mau jadi penulis hebat atau penulis ter-, ter-, ter- . Seperti si “norak banget” itu?!.”

Dengan nyengir-nyengir kuda, aku cuma membatin. Siapa sih yang gak mau jadi penulis hebat?.

“Gak akan tertukar emas dengan tembaga, Ma... Itulah yang menyebabkan emas lebih mahaldari tembaga, karena kadar karatnya. Semakin tinggikaratnya, semakin disebut logam mulia emas itu.”

“Apa hubungan dengan emas, Pa?.” Tanyaku lugu.

Proses, Ma!. Untuk mendapatkan logam mulia butuh proses yang panjang, dari mulai penambangan, produksi, pemurnian emas dan pasca produksi lainnya.Jadi proses lah yang membedakan penulis hebat dengan penulis ter-, ter-, ter- itu.”

“ Si “norak banget” itu lupa kalau menulis adalah sebuah proses dan bukan mie instan!. Dicelup langsung matang!. Dalam proses itu banyak hal-hal yang akan Mama alami, seperti : macet pada waktu mau menulis.”

“Teruuuussss, Pa?.”

“Kok, sekarang Mama yang terus, terus?, kaya tukang parkir.”

“Hehehehehehe.... .”

Sabar aku menunggu suamiku meneyeruput teh manisnya.

“Kok masih asin, Ma?.”

Aku kaget. “Yang benar, Pa?.”

“Hehehehe, becanda kok, Ma.”

“Uh, si Papa ini.” Sahutku manja.

“Bedanya penulis hebat dengan Mama adalah cara menyikapi kemacetan itu. Penulis hebat punya banyak cara jitu untukmengatasi kemacetan dalam menulis.”

“Kalau Mama langsung bete, Pa.”

“Penulis hebat tidak mau tenggelam dalam kemacetan walaupun dengan berbagai alasan, ia akan mematahkan kebuntuan.”

“Masih buntu juga ‘gimana, Pa?.”

“Matikan saja komputernya!.”

“Terus, langsung pergi tidur?.”

“Hahahaha... bukan itu maksudnya, Ma... Mama bisa tinggalkan dulu pekerjaan itu. Lalu... Mama ingat-ingat apa saja yang telah Mama lakukan seharian tadi, dari pagi sampai ketemu si Komo.”

“Biasa aja, Pa!.”

“Selesai masak, rapi-rapi rumah terus jemput Dinda di sekolah, setelah Dinda bersih-bersih, makan siang, nonton tv sebentar sambil menidurkan Dinda.”

“Setelah Dinda tidur, baru deh Mama mulai buka kompasiana, baca-baca postingan orang lain, termasuk tulisan tentang kloningan... eh pas Mama mau nulis, inget kloningan jadi bete deh, teruuuusss... mau nulis tapi macet, macet lagi, macet lagi gara-gara si Komo lewat.”

“Benar tidak ada yang terlewat, Ma?.”

“Ehh, apa ya? (sambil berkali-kali kuketuk jidatku dengan telunjuk)... Oh, iya, Pa... waktu jemput Dinda ketemu Bu Guru nya, dia cerita kalau di kelasnya Dinda, ada empat murid temannya Dinda yang tidak masuk kelas.”

“Kenapa?.”

“Terserang wabah demam berdarah, Pa.”

“Wow!, sepelekan?.”

“Apanya yang sepele, Pa?.”

“Wabah demam berdarah itu!.”

“Kok sepele sih, Pa?. Demam berdarah itu bahaya, terlambat sedikit saja bisa mnyebabkan kematian.” Sahutku ‘ngeri.

“Kalau itu sih, Papa setuju!.”

“Apa saja yang telah Mama jalani sejak bangun tidur sampai sekarang, semua nya bisa jadi sumber ide penulisan.”

“Nah!, ada ide yang menarik, Mama biarkan lewat begitu saja!.”

“Maksud, Papa?.”

“Wabah demam berdarah di kampung kita, kan bisa jadi sumber ide tulisan Mama.”

“Hehehehe... iya juga sih.” Sahutku sambil tersenyum puas.

“Dari sudut mana menulisnya itu tergantung dari kreativitas Mama sendiri, semakin kreatif, maka Mama akan semakin pandai mengolah ide menjadi sebuah tulisan yang hebat. “

“Untuk menempa kreativitas seorang penulis, tidak ada hal lain yang harus ia lakukan kecuali dengan menulis dan menulis.Itulah yang Papa maksudkan dengan proses.”

“Dan jangan lupa!, seorang penulis hebat biasanya juga ia seorang “kutu buku”, rakus akan bacaan-bacaan yang nantinya bisa memperkaya imaginasinya. Menulis dan membaca adalah saudara kembar yang tak terpisahkan.”

“Jelaskan, Ma?.”

“He eh.”

“Udah gak bete lagi kan?.”

“Masih... .”

“Apa lagi, Ma?.”

“Hehehehe... .” Aku beranjak meninggalkan suamiku sambil berjingkrakan bak gadis ting-ting yang dilamar sang pangeran.

“Lo.. lo... (melongo), Mama mau kemana?.”

“Mau nulis, Pa... mumpung ide nya masih nempel!.” Sambil aku menunjuk ke arah jidatku.

“Nulis tentang wabah demam berdarah itu, Ma?.”

“Itu sih, besok-besok saja, Pa ... kan Mama perlu survey dulu!.” Jawabku riang. “Sekarang Mama mau nulis tentang si “norak banget” itu, Pa!.”

“Oh, yang suka bikin kloningan itu?.”

“He eh, bagusnya di apa in orangitu, Pa?.”

“Buang ke laut aja!.”

“Hehehehe... jangan di buang doang, Pa... kalau perlu di pendam dalam laut yang paling dalam biar ‘gak nongol-nongol lagi!, Huh!, dasar gak tau malu!.”

“Hahahaha ... hahahahaha ... .”

Akhirnya kami pun tertawa puas menertawai si “norak banget” itu. Dari pada bete, terus bikin macet menulis. Mending tertawa.

“Hahahaha... hahahahaha... .”

(WS @GJL,310312)

Sumber gambar dari situs : http://www.tumblr.com/tagged/si-komo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun