Mohon tunggu...
Wans Sabang
Wans Sabang Mohon Tunggu... Administrasi - anak hilang

Jejak Literasi: Puisi-puisinya pernah dimuat di Koran Sastra Dinamika (Lampung), Radar Bekasi (Bekasi), Buletin Jejak (Majalah Sastra, Bekasi), Buletin Kanal (Majalah Sastra, Semarang) dan Linikini (Tayangan Macro Ad di Commuterline), Koran Jawa Pos dan Koran Tempo.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Malin Kundang Jilid 2

10 Maret 2012   18:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:14 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Assalamu’alaikum …”

“Wa alaikum salam …” Seorang nenek seketika menghentikan pekerjaannya menyapu halaman.

“Amak … “ Pemuda yang memasuki halaman rumah nenek itu menyapa.

“Hah !, Malin!.” Seorang nenek terkejut melihat pemuda itu. “Kau kah Malin, anakku?.”

Sang nenek dengan mata penuh selidik memandang lekat pemuda itu.“Malin, anakku dulu adalah anak yang cakap, putih, bersih dan badannya tegap berisi.”

Dengan raut tak percaya nenek itu menumpahkan amarah kepada Malin. “Jawab dulu!, Kau kah Malin anakku?.”

“Iyo, Amak… .”

“Oh, Malin … Malin!.” Nenek itu meradang sedih. “Kenapa kau jadi kurus begini?, kulitmu legam terbakar matahari, dan lihat!, pakaianmu…?, kumal dan kotor, tak pantas kusebut kau, Malin!.”

“Pantas saja, di pelabuhan tak ada keramaian orang menyambutmu.” Kata Amak lirih. “Beda sekali dengan dulu, ninik mamak, sanak saudara dan orang-orang dikampung dengan suka cita mengantar kepergianmu merantau.”

“Mana istrimu yang cantik?.” Tanya Amak sinis. “Dan pengawal-pengawalmu yang gagah?.”

“Malin datang sendiri, Amak.”

“Mana mobil mewah?, dan pegawai-pegawai mu yang banyak?.”

Malin cuma diam, menundukkan wajahnya menatapi tanah. Ia malu ditelanjangi Amak seperti itu.

“Jadi, apa yang kau bawa dari merantau, Malin?.” Tanya Amak lagi.

“Jangankan untuk membeli sawah dan kerbau yang banyak, untuk mengembalikan sawah dan kerbau yang telah ku jual untuk bekalmu saja, kau tak mampu!.” Kata Amak kesal.

“Malin telah berhasil, Amak.” Sahut Malin dengan wajahnya yang berseri.

“Apa?.” Amak kaget dan marah. “Inikah yang kau sebut berhasil, Malin!.”

“Malin telah berhasil bertemu Ayah, Amak.” Jawab Malin dengan mata yang berbinar antara sedih dan gembira.

“Datuk Rangkayo bukanlah Ayah Malin.” Malin berkata lantang kepada Amak. “Amak tak pernah cerita pada Malin, siapa Ayah Malin yang sebenarnya.”

“Amak kejam!, Amak tak pernah mau tahu kegusaran hati Malin!.” Malin menumpahkan segala kesalnya pada Amak.

“Pantas, Datuk Rangkayo sering marah dan memukuli Malin sejak kecil karena Malin bukanlah anaknya dan ia tidak punya rasa sayang sedikitpun pada Malin.”

Amak tertunduk sedih mendengar perkataan Malin.

“Beda sekali perlakuan Datuk Rangkayo pada Malin dan Zainab*, salah sedikit saja Malin langsung dipukuli, Amak cuma bisa bilang ; sabarlah, Malin!, sabarlah!, Anak laki-laki ‘tak pantas menangis!.”

“Iya, Datuk Rangkayo memang bukanlah ayahmu, Malin.” Sahut nenek itu lirih.

“Dari kecil, Amak bohongi Malin terus!, apa karena Malin ini anak haram, Mak!.” Sahut Malin lantang.

“Malin!.” Nenek itu menegur Malin keras. “Tak sopan, kau bicara begitu!.”

Beberapa detik Malin dan Amak saling diam, masing-masing menekuri tanah.

“Hubungan Amak dan Ayahmu dilarang oleh orang tua Amak, karena ayahmu bukanlah dari keluarga bangsawan. Hubungan cinta kami pun menjadi hubungan cinta yang terlarang.” Amak menjelaskannya pada Malin.

“Semakin dilarang, hubungan cinta kami pun semakin jauh, hingga akhirnya Amak hamil. Ayahmu berjanji untuk membawa Amak pergi jauh dari kampung ini, merantau ke negeri seberang. Mendengar janjinya, Amak menjadi tenang karena memang Amak begitu mencintai Ayahmu. Ketika bulan purnama tiba, seperti janji Ayahmu, Amak menunggu di pelabuhan. Sejam dua jam hingga adzan subuh memanggil, Ayahmu tidak kunjung tiba. Esoknya Amak menunggu lagi dipelabuhan, lusa nya pun begitu, jangankan batang hidungnya, kabar beritanya pun tak ada. Semakin hari perut buncit Amak semakin terlihat, untuk menutupi malu akhirnya Amak mau menerima pinangan Datuk Rangkayo.”

“Kenapa Amak tidak pernah cerita pada Malin?.”

“Terlalu sakit untuk diceritakan, Malin.” Sahut Amak lirih. “Amak berharap waktu jua yang akan menyembuhkan luka…. .”

“Kenapa Amak masih saja mengharap pada sang waktu?, bukankah dulu di pelabuhan Amak juga begitu?, mengharap pada sang waktu… tapi apa yang sang waktu berikan?, hanya kecewa dan sakit hati, Mak!.”

“Apakah Amak masih mencintai si “pengecut” itu?.”

“Tak tahulah, Malin … “ Amak tidak bisa menjawab pertanyaan Malin. Karena dihati Amak yang paling dalam sesungguhnya ia masih mencintai Ayahnya Malin.

“Amak tak bisa menjawab karena Amak masih mencintai si “pengecut” itu !.” Sahut Malin lantang. “Seperti halnya luka … sang waktu pun tak bisa berbuat apa-apa, Mak!, Ia tak bisa menyembuhkan luka dan tak bisa juga menghapuskan cinta!, cuma kita sendiri Mak yang bisa!.”

Amak diam saja mendengar penjelasan Malin.

“Malin sudah bertemu Ayah, Mak!, Dan Malin sudah membunuhnya!.” Sahut Malin tenang.

“Hah!, Apa…?.” Amak kaget.

“Tak pantas pula, si “pengecut itu kupanggil Ayah, Mak!. Setelah Malin bertemu, tak ada sedikitpun rasa kangen seorang Ayah terhadap darah dagingnya sendiri. Setelah datang dari kampung, kerjanya cuma jadi ‘preman, mabuk-mabukan, main judi, main perempuan, merampok dan membunuh.”

Merah muka Amak karena malu, begitu tahu orang yang masih dicintainya hanyalah seorang ‘preman.

“Apalah ruginya, Malin bunuh 1 orang sampah masyarakat walau Malin harus tebus dengan bui 10 tahun!.” Jawab malin bangga. “Malin sudah balaskan sakit hati Amak karena Malin sayang sama Amak dan di dunia ini cuma Amak yang sayang sama Malin.”

Oh, Tuhan!, haruskah ku kutuk buah cinta yang ku sayang ini menjadi batu?. Air mata Amak yang mengembang itu pun akhirnya jatuh membasahi pipinya yang telah keriput.

(WS @CBT, 110312)

 

*Zainab : Dalam cerpen ini adalah adik nya Malin, satu ibu tapi lain bapak.

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun