-Pengembangan Kualitas
-Daya saing
-Otonomi
-Komersialisasi (uang)
-Berpusat pada Pasar
Nilai-nilai baru yang tidak dikehendaki itu berperan seperti benalu, parasit, atau virus yang melekat dan datang begitu saja meski kehadirannya tidak diundang.
Selama masa transisi sangat mungkin budaya suatu institusi terkontaminasi oleh nilai-nilai yang datang, baik secara alamiah sebagai akibat dari proses transformasi itu sendiri, maupun datang secara liar dan random dari luar institusi. Deal & Kennedy (1998) mencatat, setidaknya ada tujuh budaya negative yang mengontaminasi institusi/organisasi pada masa transisi. Ketujuh nilai tersebut dapat menghapuskan atau mengurangi karakter positif pengikat sebuah institusi, seperti nilai –nilai komitmen, kebersamaan, dan loyalitas. Ketujuh budaya tersebut adalah: Budaya Ketakutan, Budaya Menyangkal, Budaya kepentingan pribadi, Budaya Mencela, Budaya Tidak percaya, Budaya Anomi, dan Budaya Mengedepankan Kelompok.
1.Budaya Ketakutan
Perubahan menimbulkan rasa tidak pasti dan kurang nyaman bagi mereka yang tidak memegang kendali. Orang-orang yang ketakutan akan erasa cemas, dan mereka yang cemas akan menyatakan kecemasannya dengan berbicara, bergosip, dan menyampaikan kabar-kabar tidak resmi. Mereka menjadi kurang bergairah bekerja dan asik membicarakanpekerjaan orang lain atau atasan-atasan mereka pada teman mereka. Dalam setiap perubahan selalu saja ada orang-orang atau kelompok-kelompok yang dianggap sebagai pemenang (karena memperoleh keuntungan, kenaikan pangkat, perbaikan nasib, dekat dengan pembuat keputusan) dan dianggap sebagi pihak yang kalah (karena unitnya dibubarkan, kena pemutusan hubungan kerja, banyak kehilangan kenikmatan-kenikmatan, harus bekerja lebih banyak, dituntut hal-hal baru oleh system, dan berada jauh dari pengambil keputusan). Kelompok yang kalah akan selalu merasa tidak puas, cemas dan takut. Mereka bergerombol dan membentuk kelompok-kelompok kecil, ini bias mengorganisir kekuatan untuk memperkuat diri dan melepaskan diri dari kesatuan organisasi, bahkan menghambat dan mencoba menghentikan perubahan itu.
2.Budaya Menyangkal
Terhadap sesuatu yang berubah, manusia tidak dengan serta-merta menerimanya. Mereka mulanya justru menyangkal. “Tidak benar!”. Ketika sesuatu yang biasa di temui hilang atau berubah, manusia punya kecenderungan menyangkal. Manusia akan sulit memperbaiki hidupnya selama ia menyangkal realitas baru. Lebih celaka lagi, biasanya manusia harus melewati suatu siklus yang tidak pendek untuk segera menerima dan mengakui perubahan.
3.Budaya Kepentingan pribadi
Dalam situasi yang berubah akan banyak pihak yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan pribadinya. Masing-masing orang akan berupaya mengamankan kepentingan-kepentingan yang melekat pada dirinya, seperti posisi, karir, konsep, kelompok, anggaran, fasilitas dan sebagainya. Ketika hal itu terjadi, ikatan organisasi menjadi pertanyaan besar. Banyak pekerjaan rutin yang tidak bias diselesaikan tepat waktu, dan akibatnya reformasi, reorganisasi, atau langkah-langkah manajemen perubahan tidak bias berjalan sebagaimana mestinya. Nilai-nilai kepentingan pribadi biasanya berkembang cukup lama dan sangat memusingkan pemimpin. Sebab setelah mengurus kepentingan pribadinya, seseorang akan mengutamakan kepentingan kelompoknya. Akibatnya organisasi terbagi-bagi dalam berbagai silo, baik silo resmi maupun silo tidak resmi. Selain menjadi lamban bergerak, organisasi juga kaya dengan warna-warni (seperti intrik dan upaya-upaya yang saling menjatuhkan), tidak kreatif dan boros.
4.Budaya Mencela
Ketika orang-orang mulai mengedepankan kepentingan pribadinya maka tidak ada lagi respek dari para pengikut. Orang-orang akan mulai saling mencela dan sinis terhadap perilaku dan tindakan atasan-atasan dan kolega mereka yang terlalu mengedepankan urusan-urusannya sendiri. Beberapa orang yang merasa terganggu dengan sinisme ini (namun memperoleh manfaat pribadi dari proses transisi) akan membangun kekuatan dukungan dari bawahannya dengan cara melakukan bagi-bagi manfaat. Tetapi semua itu dilakukan bukan untuk kepentingan prganisasi, melainkan untuk mengamankan kepentingannya. Akibatnya, sinisme tidak pergi-pergi, melainkan berubah menjadi budaya. Orang-orang yang baik dan berhati bersih tak akan luput dari sinisme. Mereka semua memperoleh imbas dari proses transformasi ini. Yang baik menjadi tampak buruk, yang buruk menjadi tampak baik, dan seterusnya.
5.Budaya Tidak percaya
Kepercayaan atau rasa salig percaya (di luar ikatan keluarga) adalah perekat bagi suatu institusi. Ketika respek sudah tidak ada lagi dan orang-orang saling mengedepankan kepentingan pribadinya, yang adalah rasa saling tidak percaya. Tanpa kepercayaan, otoritas tidak lagi memberikan makna. Transaksi antar kelompok menjadi sangat mahal, lambat, dan tidak dapat dipegang kesepakatannya. Budaya tidak percaya erat hubungannya dengan situasi/ikatan kepercayaan yang berlaku di suatu Negara. Ketika masyarakat suatu bangsa tidak mempercayai pemimpin-pemimpinnya maka biaya transaksi menjadi sangat mahal. Mereka tidak lagi dipercayai rekan-rekan bisnis dari Negara lain, dunia perbankan, perdagangan, bahkan mereka juga tidak memercayai system peradilan dan mata uangnya sendiri. Sebuah institusi yang diwarnai budaya saling tidak percaya sudah pasti tak punya masa depan.
6.Budaya Anomi
Transisi biasanya diikuti dengan peristiwa-peristiwa penggabungan (merger) dan pemisahan (spin off) bagian-bagian, unit-unit usaha, perusahaan, departemen, dan sebagainya. Tidak jarang pula pada masa ini institusi menempatkan orang-orang baru pada kursi kepemimpinan yang datang dari luar. Mereka tidak mengikuti jalur karir tradisional melainkan melompat secara mengejutkan. Kalau pemimpn tidak cukup kuat dan pengelolaan transisi tidak sempurna, semua ini bias menimbulkan efek anomi, yaitu kehilangan identitas kultural/jati diri. Orang-orang yang kehilangan jati diri /identitas kultural dapat digambarkan sebagai orang yang berpakaian tidak pada tempatnya. Seperti orag berpakaian ke pesta untuk belajar di kampus atau sebaliknya. Ia akan merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri karena kurang mengenal lingkungannya. Ia ingin cepat-cepat pergi meninggalkan institusi, tetapi merasa punya kewajiban untuk tetap berada di sana.
Buntut dari kehilangan identitas kultural adalah perasaan ketergantungan dan merasa salah terus. Mengikuti rapat, tapi tak yahu mau kemana, siapa atasnnya, seperti apa mereka, apa yang mereka harapkan, apakah pertemuan informal penting, dan seterusnya. Bekerja dengan atasan baru adakalanya berarti harus mulai lagi dari nol. Orang-orang yang tadinya dianggap tidak cakap atau dianggap lebih junior bias menjadi atasan. Peta hubungan menjadi agak kacau. Segala sesuatu yang sudah menjadi biasa di masa lalu tiba-tiba enjadi gelap, tidak jadi jelas lagi. Semuanya butuh waktu untuk mejadi jelas kembali.
7.Budaya Mengedepankan kelompok
Tidak semua perasaan tidak senang terhadap situasi baru dapat dinyatakan secara terbuka oleh manusia. Meski atasan atau pimpinan puncak belum secara resmi mengambil langkah-langkah perubahan, suatu bocoran (issue) tentang kebijakan bias saja menimbulkan kegamangan-kegamangan. Perasaan-perasaan tidak senang itu dapat diungkapkan dalam bentuk nostalgia. Ketika orang-orang mulai bernostalgia maka itu pertanda bahwa mereka kurang senang dengan situasi sekarang. Biasanya nostalgia akan bergerak dilingkungan yang homogeny, yaitu subkultur, seperti kelompok profesi, angkatan saat masuk, jender, kelompok etnis tertentu, kelompok agama dan seterusnya. Kelompok-kelopok ini tampak dalam berbagai aktivitas, termasuk aktivitas menyuarakan aspirasi pekerja, seperti serikat-serikat pekerja. Munculnya kelomok-kelompok seperti itu, kalau terus menerus disertai tekanan pada organisasi, sekali lagi merupakan indikasi terhadap ancaman kesatuan institusi yang merupakan modal dasar bagi perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H