Mohon tunggu...
Setya Parwanti
Setya Parwanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

so simple!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Curhat Ibu untuk Pendidikan di Indonesia

19 September 2012   02:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:15 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebagai ibu seperti biasa setelah pulang bekerja saya selalu berusaha meluangkan waktu mengecek buku pelajaran anak saya, dia sudah kelas tiga SD tahun ini, bagaimana dia sehari ini di sekolah. Ada yang aneh hari ini nih!. Saya membuka buku matematika anak saya, waktu itu ada PR sudah dikerjakan tapi ada kejanggalan dalam penilaian. Dari 10 soal ada 2 kesalahan seharusnya anak saya mendapat nilai 80 tapi ini kok cuma mendapatkan 40! Setelah saya coba cek lagi ada catatan dari ibu guru :”Caranya mana?”

Saya menghela nafas panjang, agak kecewa terhadap ibu gurunya padahal saya melihat sendiri dia mengerjakan PR nya dengan sungguh-sungguh menghitung satu persatu di buku coretan, tapi dia lupa menulis caranya di buku jawaban. Tapi hasilnya amat mengecewakan, tidak ada penghargaan dalam penilaian ini. Mending dia mau berusaha mengerjakan, Bagaimana dengan yang tidak mengerjakan?. Timbul pertanyaan dihati ini, Apa begitu sulitnya memberikan nilai yang baik untuk anak-anak kita?, terlepas bagaimana dia mendapatkan jawaban tersebut setidaknya dia sudah berusaha untuk mengerjakannya.

Tidak bisa dong kita menuntut anak menjadi sempurna, kita harus bijak dalam menyikapi hal tersebut diatas. Kita harus melihat bagaimana anak tersebut sudah berusaha mengerjakan PR. Kita tidak dapat mengukur prestasi anak menurut ukuran kita. Setiap anak berbeda, dan punya gaya belajar yang berbeda pula.

Kadang saya kasihan sekali melihat anak saya, di usia yang masih ingin bermain-main dipaksakan dan dibebani PR (Pekerjaan Rumah) dan tugas yang berlebih di hampir semua mata pelajaran di sekolah. Saya berpikir kalau seperti ini terus, anak-anak apa tidak jenuh dan bosan sehingga belajar menjadi tidak menyenangkan dan terpaksa. Kapan waktu bermain mereka? Pulang sekolah ada ekstra kuriluler sehingga sampai rumah sudah siang, waktunya istirahat sebentar, paling bermain cuma sebentar setelah itu mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) yang begitu banyak! Saya pikir dengan membebani anak dengan PR ( Pekejaan Rumah) dan tugas-tugas tidak efektif dalam membentuk pola belajar anak, apalagi di usia yang masih usia bermain.

Ya, mungkin Bapak atau Ibu guru punya alasan khusus dengan pemberian PR (Pekerjaan Rumah) yang banyak tersebut, materi yang harus selesai dikejar target. Tapi kalau di hampir semua mata pelajaran sekolah secara terus menerus, apa tidak kasihan dengan anak-anak. Perlu kebijakan pemberian PR (Pekerjaan Rumah) yang sesuai porsi mereka sebagai anak, yang membuat mereka jadi lebih kreatif dan sesuai dengan kompetensi anak. Karena saya yakin Bapak atau Ibu guru memberikan PR (Pekerjaan Rumah) berharap dapat menumbuhkan motivasi belajar dan mengerjakan bukan takut untuk dihukum, tapi kalau tiap hari dibebani PR yang berlebihan bukannya semangat belajar tapi sebaliknya jadi males belajar.

Anak-anak pasti akan semangat belajar bila pelajaran di sekolah menyenangkan dan nyaman. Dan akan tertanam dalam diri setiap anak bahwa sekolah dan belajar itu menyenangkan, tidak diberi beban berat dan masih ada waktu untuk bermain, karena sebenarnya dunia mereka dunia bermain.

Bermain sambil belajar memberikan manfaat lebih untuk anak, sebab anak melakukan sesuatu secara menyenangkan sehingga dapat dengan mudah menyerap semua ilmu yang diberikan, juga baik untuk perkembangan motorik, emosional, dan sosialnya. Sambil bermain anak-anak akan belajar untuk memahami sebuah aturan, menerima kekalahan, mengendalikan diri, melatih kepekaan emosi dan rasa dengan teman-temannya. Bermain menjadi penyeimbang anak sehingga menumbuhkan semangat ingin tahunya lebih dalam sekaligus dapat menumbuhkan motivasi dalam diri untuk belajar tanpa paksaan.

Jadi teringat dengan tulisan Encouragement – Prof. Rhenald Kasali, Ph.D : “Filosofi kami mendidik disini bukan untuk menghukum, melainkan merangsang orang agar maju. Encourangement!” Disini terlihat perbedaan pendidikan kita dengan negara barat. Bukan karena mereka mempunyai guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun bukan merusak. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan.

Tulisan ini hanyalah unek-unek saya pribadi, saya bukan siapa-siapa, saya hanya seorang ibu yang ingin terbaik untuk anaknya, yang ingin hak anak-anak diperhatikan, yang ingin pendidikan di Indonesia lebih ramah dan dibuat mudah. Pendidikan yang mengutamakan kasih sayang, tidak pelit pujian kalau memang layak untuk dipuji, asah (mendidik), asih (mencintai), asuh (membina) dan yang mendorong anak lebih maju dan berkembang bukan dengan menghina, mengancam ataupun ditakut-takuti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun