Tahun ini, beberapa negara di dunia diproyeksikan terancam mengalami krisis pangan global. Krisis pangan global disebabkan oleh perubahan iklim dan tata kelola lahan yang semakin tidak seimbang, serta diperparah dengan adanya Perang Rusia-Ukraina yang memutus rantai distribusi pangan dari negara pengekspor bahan pangan. Meskipun indeks ketahanan pangan Indonesia pada tahun 2022 berada pada tingkat yang aman, yaitu 60,2, tidak menutup kemungkinan Indonesia turut terkena dampak krisis pangan global.Â
Potensi krisis pangan Indonesia muncul karena daya dukung lingkungan di sejumlah wilayah di Indonesia semakin menurun, yang ditandai dengan perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan perubahan tata guna lahan, yang berpengaruh besar terhadap proses budidaya tanaman pangan di Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas.Â
Hal ini menyebabkan pemerintah harus mengimpor bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tetapi, ketersediaan bahan pangan impor akan semakin terbatas sebagai imbas dari menurunnya produksi pangan dan terhambatnya distribusi akibat konflik Rusia-Ukraina.
Pemerintah RI saat ini telah menganggarkan 95 triliun rupiah untuk mengisi ketersediaan pangan nasional dan menyalurkannya ke masyarakat dengan harga terjangkau. Akan tetapi, menjaga ketersediaan pangan dengan menggantungkan pada impor tidak akan lama bertahan, terlebih ancaman resesi global telah menanti.Â
Negara seharusnya memberi perhatian lebih pada pengembangan produksi pangan lokal, sehingga tercipta ketahanan pangan yang berkesinambungan dan berkualitas unggul. Perwujudan dari hal tersebut dapat terbangun melalui kesadaran masyarakat, terutama generasi muda yang memiliki kesadaran dan memahami kondisi lingkungan hidup dan dinamika pertanian dalam negeri.
Mengulas Ketahanan Pangan Indonesia
Indeks ketahanan pangan Indonesia yang mencapai 60,2 pada 2022 banyak didongkrak oleh faktor keterjangkauan harga pangan dengan nilai 81,25. Sementara itu, ketiga faktor lainnya masih di bawah rata-rata, yaitu ketersediaan bahan pangan (50,5), kualitas dan keamanan bahan pangan (56,2), serta adaptasi dan kontinuitas produksi pangan (46,3).Â
Ketimpangan indeks antara keempat faktor tersebut menunujukkan bahwa pemerintah masih mengutamakan ketersediaan, distribusi, dan tingkat konsumsi masyarakat terhadap bahan pangan dengan harga terjangkau. Impor menjadi cara instan bagi pemerintah untuk menjaga kestabilan harga dan kuantitas bahan pangan.Â
Aspek pemberdayaan masyarakat dan manajemen pertanian, yang sangat fundamental demi ketahanan pangan nasional yang mandiri cenderung dikesampingkan, sehingga kualitas petani dan hasil pertanian dalam negeri masih stagnan. Membanjirnya bahan pangan impor dengan harga terjangkau justru mematikan kesejahteraan petani lokal dan ketahanan pangan nasional ke depannya.
Indeks ketahanan pangan antar wilayah di Indonesia yang mengalami ketimpangan parah menjadi hal yang menarik untuk diulas. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2021, wilayah Jawa dan Bali dengan komoditas utama padi mencapai tingkat ketahanan pangan yang sangat tinggi (80-90). Sementara itu, wilayah Papua sangat rentan terhadap krisis pangan, dengan indeks ketahanan pangan di bawah 25.Â
Data ini menunjukkan ketergantungan daerah luar Jawa terhadap pasokan pangan impor maupun produksi Jawa-Bali, seperti beras, mie instan, tepung terigu, dan sebagainya. Padahal sebenarnya wilayah rawan pangan seperti NTT, Maluku, dan Papua memiliki potensi pangan domestik yang melimpah, seperti jagung, singkong, sagu, dan ubi manis. Potensi pangan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat karena kualitas petani yang masih tradisional, ketiadaan teknologi dalam pembudidayaan, serta perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.Â