Dalam sebuah tulisannya berjudul Si Miskin Harus Bekerja, yang dimuat di harian Kompas (10/1) lalu, Hendri Saparini mengungkapkan "ke-gemes-annya" pada pemerintah saat ini. Apa pasal? Ternyata menyangkut urusan jumlah dan kriteria pengelompokan si miskin dan bukan miskin.
Menurut Managing Director ECONIT (salah satu lembaga think tank di bidang ekonomi, industri dan perdagangan yang didirikan pada tahun 1993) ini, data pemerintah tentang penduduk miskin tidak bisa diyakini - kalau tidak bisa dibilang menyesatkan.
Dalam tulisannya Hendri menjelaskan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Â jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan adalah 31 juta, dengan kriteria memiliki pengeluaran di bawah Rp212.210,00. Data inilah yang digunakan pemerintah untuk mengklaim jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini.
Padahal, menurut analisa Hendri Saparini, jika digunakan pendekatan penduduk miskin berdasar data penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (raskin) tahun 2010, jumlahnya 70 juta. Jika ingin mengetahui jumlah penduduk miskin berdasarkan data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jaskesmas) jumlahnya 76, 4 juta orang. Dan satu lagi, data Bank Dunia menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin negeri ini mendekati 100 juta! Jelas, sangat jauh dari klaim pemerintah di awal tadi.
Lha kok beda-beda? Yang benar mana? Mana yang bisa dijadikan patokan? Ya.. jangan tanya ke saya.
Kalau manusia cerdas sekaliber Hendri Saparini saja, yang doktor lulusan luar negeri bertitel Ph.D, yang memimpin lembaga think tank bertaraf nasional (mungkin juga diakui secara regional, internasional bahkan) bisa dibuat mumet, apalagi saya?
Saya jelas jauh dari memenuhi syarat untuk menilai mana sumber yang lebih pantas dijadikan pegangan tentang kemiskinan. Jangankan untuk menilai kepantasan, bahkan untuk sekadar berkomentar pun pasti akan meragukan anda sekalian. Lebih-lebih, saya memang tidak memiliki ketertarikan turut terlibat perdebatan tentang mana data paling valid untuk melihat jumlah penduduk mikin di negeri ini.
Kita bisa (dan boleh) berasumsi macam-macam menyikapi perbedaan "data" ini. Di era dan alam yang menghargai perbedaan sekaligus merayakan hak manusia menyampaikan pendapat dan gagasan ini, anda (dan saya tentu) bebas menyampaikan isi hati dan rasa penasaran kita, dalam bentuk kata, tulisan, maupun tindakan nyata, dengan cara paling santun sampai cara yang jauh dari etika (asal tak melanggar pasal pidana), meski semua tanpa didasari logika dan fakta!
Dan menjadi lebih rumit bahwa ternyata "fakta" dalam konteks ini (juga dalam konteks lainnya) bukan sepi dari masalah. Saya yakin, saat pemerintah menyampaikan informasi tentang penduduk miskin, mereka pun merasa sudah berdasar fakta. Siapa yang meragukan kerja para ahli statistik di lembaga sekaliber BPS?
Begitu pun Hendri Saparini. Saat berbicara tentang penduduk miskin tadi, ia juga pasti telah merasa menyampaikan penilaiannya berdasar fakta.
Jadi kita bisa melihat, ada fakta yang bertentangan dengan fakta. Berarti ada ebih dari satu fakta menyangkut satu masalah atau tema.