Mohon tunggu...
Wans
Wans Mohon Tunggu... Buruh - Pencari

Rutin makan, rutin tidur, sering bengong, sesekali jalan-jalan, kadang baca, sesekali nulis

Selanjutnya

Tutup

Music

Layang Kangen

5 Mei 2020   18:08 Diperbarui: 6 Mei 2020   12:21 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pagi ini, beberapa kawan mengirim pesan WA, nyaris bersamaan. Isinya link berita,  judulnya mengagetkan, menerbitkan rasa nglangut, dan membuat pagi yang sudah bermendung makin terasa murung; Didi Kempot meninggal dunia.

Ya, pagi Selasa (05/05), lelaki bernama asli Dionisius Prasetyo yang oleh para 'Sobat Ambyar' (atau sadbois dan sadgirl) beken dengan sebutan The Godfather of Broken Heart itu kembali kepada Yang Maha Memiliki. Ia berpulang pada usia 53 tahun -- usia yang belum terlalu tua, meski batas usia manusia memang serbarahasia. Berdasar berita, serangan jantung menjadi penyebabnya.

Kalau anda orang Jawa, atau setidaknya sedikit paham bahasa Jawa, hampir pasti anda pernah mendengar namanya. Bila anda suka musik, hampir pasti pula anda pernah mendengar satu atau dua di antara lagu-lagunya.

Lebih-lebih bila anda penggemar tembang berbahasa Jawa, tak mengenal nama Didi Kempot mungkin sudah masuk level dosa. Itu sama absurdnya dengan anda mengaku menyukai novel Indonesia dan tak kenal nama Pramoedya, atau penggemar sepak bola dan tak tahu Diego Maradona, atau anda mengaku Romanisti namun tak menyebut Totti sebagai salah satu legenda AS Roma.

Anda bisa mengoleksi beribu lagu dari beragam genre dan rentang zaman, mengidolakan band-band dalam maupun luar negeri, menyukai musisi-musisi ternama klasik sampai kontemporer yang menjadi semacam puncak-puncak pencapaian musik Indonesia maupun dunia. Namun, bila anda orang Jawa dan tak mengenal lagu-lagu Didi Kempot, maka kawruh musik anda akan jadi tak sempurna.

Saya? Jelas tak berbeda. Bagi saya, lagu-lagu Didi Kempot adalah salah satu irama pengiring tumbuh kembang sejak remaja. Saya lupa sejak kapan persisnya. Tapi  lagu-lagu Didi Kempot makin sering saya dengar terutama di akhir 90-an. Ia menemani  saya -- juga kawan-kawan sekampung -- dalam hampir semua aktivitas harian.

Saya tumbuh di lingkungan sederhana, dengan warga yang banyak bekerja sebagai petani, sopir truk, kondektur bus, atau buruh harian. Dan lirik lagu Didi Kempot seperti udara yang mengitari ketika kami nglangut dalam kesendirian, atau meriung bersama keluarga dan teman-teman, njagong manten, atau nongkrong gitaran di perempatan, atau bahkan tak jarang di momen-momen takbir keliling saat Lebaran.

Pada tahun 2000-an, ketika sesekali saya di rumah saat liburan kuliah, nyaris setiap hari rumah saya tak lepas dari gema lagu lelaki gondrong ini. Menurut Simbok, keponakan saya -  saat itu masih belum genap enam tahun - menggemari lagu-lagu campursari karya Didi. Ia akan lebih riang saat mendengar musik campurcari itu diputar. Saya sendiri tak terlalu percaya. Saya lebih yakin bahwa Simbok (dan mungkin Kakak atau Ipar) saya saja yang memang suka lagu-lagu itu dan mengatasnamakan cucunya untuk menutupinya.

Sengaja saya tak memasukkan Bapak dalam daftar itu. Saya tak berani memasukkan Bapak sebagai penggemar Didi Kempot. Saya perhatikan, bapak saya -- yang masa mudanya dihabiskan sebagai 'anak band' penabuh gamelan pengiring wayang kulit -- memang lebih cenderung menyukai gamelan klasik. Tentu pendengarannya lebih akrab dengan karya-karya Ki Martapangrawit, Ki Nartosabdo, atau Ki Anom Suroto daripada Didi Kempot.

Meski begitu, di rumah saya waktu itu,  CD lagu-lagu Didi Kempot dan lagu campursari lainnya memang cukup banyak tersedia. Seingat saya, pada sore hari atau lepas magrib, salah satu stasiun televisi juga sering menayangkan lagu-lagu campursari yang didominasi lagu-lagu Didi Kempot. Saya jadi makin tahu (bahkan sebagian hafal) lirik lagu-lagu campursari itu karena seringnya diputar.

Soal campursari ini, saya ingat, Bapak pernah menyatakan tak sepakat ketika musik Didi Kempot saya sebut campursari. Menurutnya, musiknya tak memenuhi syarat untuk layak disebut sebagai campursari. Baginya, campursari merupakan kombinasi gamelan dengan instrumen musik modern dan biasanya lekat dengan cengkok nada-nada pentatonis khas gamelan. "Lagune Didi Kempot kuwi asline yo mung dangdut Jowo, dudu campursari," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun