Mohon tunggu...
Wans
Wans Mohon Tunggu... Buruh - Pencari

Rutin makan, rutin tidur, sering bengong, sesekali jalan-jalan, kadang baca, sesekali nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup Tanpa Wakil

18 Januari 2012   01:59 Diperbarui: 29 April 2020   13:43 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1326851875756721571


Gambar itu terentang tenang, meski berisi cerita yang - mungkin - justru membangkitkan perasaan miris. Menampilkan landscape sebuah pantai, atau sungai, tak jelas benar. Dua daratan, yang ditandai gerumpul hijau pepohonan, terpacak di kejauhan, mungkin pulau. Seruas jalan setapak yang terbangun dari timbunan batu kusam coklat kehitaman, terpancang dengan rupa yang tak lagi meyakinkan. Tonggak-tonggak bambu di kedua sisi jalan, sekadar penanda batas tepian, tertata dengan formasi asal jadi. Apa yang disebut 'jalan setapak' itu sesungguhnya tak sedikit pun mirip jalan, lebih menyerupai tanggul penahan air atau juga pematang pemisah petak persawahan menjelang musim tanam. Susunan batu-batu itu  sudah demikian rombeng, menyembul kacau dari benam air kecoklatan, seakan berebut tinggi untuk sekadar mencari udara buat bernafas. Sedangkan di kanan-kiri jalan setapak itu, yang tampak adalah riak air semata, menghampar hingga garis cakrawala. Di sana, di atas jalan setapak yang tak lagi jelas bentuknya itu, seorang bocah lelaki, bersandal jepit, berbaju biru muda - mungkin batik, bercelana pendek biru gelap, terlihat sedang sendiri menapaki bebatuan. Selempang tas menyilang, membelah tubuh bagian atas secara diagonal; pundak kanan ke pinggang kiri. Kedua tangan tergontai di kanan kiri tubuh, menjaga keseimbangan. Sedang kepalanya tunduk, menatap arah sekitar ujung kaki, mencari tonjolan-tonjolan batu yang bisa jadi tumpuan langkah hati-hati Mohammad Riska, demikian nama bocah lelaki di foto yang termuat yang termuat di halaman pertama Kompas cetak (terbit 12 Januari) itu. Pada caption foto berjudul 'Berangkat Sekolah' itu menyebut: Mohammad Riska (10) berangkat ke sekolah dengan menyusuri jalan setapak sepanjang 200 meter yang hilang karena abrasi di Desa Bendono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (11/1). Saat gelombang tinggi, penduduk terpaksa menggunakan perahu untuk keluar dari desa karena jalan biasanya terendam air. Agak lama saya memandangi foto ini. Sebuah foto sederhana, namun - menurut saya - memendam  pesan yang tak sederhana. Sebuah gambar yang menghadirkan getar, namun juga mengundang gamang. Mengingat betapa bocah berusia 10 tahun itu mesti meninggalkan rumah, menapak begitu jauh, menyongsong resiko yang tak terbayangkan, membangkitkan haru; betapa mahal harga ilmu. Dan pada konteks Mohammad Riska, apa yang saya sebut 'mahal' tersebut nyaris dalam arti yang paling primitif, sebab apa yang dipertaruhkan untuk menebusnya bahkan sampai pada pilihan antara hidup dan mati. Membayangkan ia mesti berjalan sejauh 200 meter melewati jalan yang darurat, jalan yang bahkan - berdasar berita di caption foto - sesekali 'hilang' terbenam air saat ada 'gelombang tinggi', diam-diam jadi berpikir betapa maut telah menjadi kawan seiring bahkan dalam usia yang belum memberinya kesanggupan memahami sepenuhnya; Apa yang akan didapatkannya dari sekolah? Apa yang dijanjikan sebuah proses bernama 'bersekolah' itu untuk hari depannya. Menggeser pandangan, agak turun dari foto  Mohammad Riska tersebut, sebuah berita menyebut; 'Cuaca Lumpuhkan Ekonomi Nelayan'. Berita tersebut menjelaskan bahwa beberapa saat terakhir, aktivitas para nelayan di beberapa wilayah Nusantara mesti tertanggu sebagai akibat cuaca ekstrem yang sedang melanda negeri ini. Para pelaut, yang menyandarkan nafas dan hidup mereka dari laut, terpaksa terpisah dengan laut sebab taruhan untuk sekadar mempertahankan hidup telah menghendaki milik terakhir mereka; nyawa. Dan mereka memilih untuk mengalah sementara, bertahan sekuatnya hingga kesempatan untuk melaut kembali tiba. Di sebelah kanannya, sebuah berita tentang kondisi terakhir di Bumi Serambi Mekah. Betapa kondisi tak juga tentram. Menjelang Pemilu Kepala Daerah, provinsi ini seperti menyimpan bara yang setiap saat bisa menerbitkan api yang akan membakar segalanya. Dan dii sudut kanan bagian bawah halaman, sebuah berita menyebut; 'Satu Ruang, Dua Kelas, Dua Guru'. Berita tersebut menceritakan hari pertama kegiatan belajar-mengajar di sebuah sekolah dasar negeri, di Bogor, Jawa Barat. Sebuah foto terpajang untuk memperkuat penjelasan berita. Foto itu  menampilkan sebuah ruang kelas sekolah dasar bersekat papan tulis yang tak lagi terpakai. Bocah-bocah lelaki dan perempuan berseragam putih-merah duduk, kaku terdiam di bangku. Sebagian  bangku berisi dua siswa, sebagian lagi berisi tiga. Dua orang guru berdiri, seperti berlagak tak menyadari kamera pewarta. Di sisi kanan foto tersebut tercatat; Siswa kelas IV dan V SDN Tajur 7, Kampung Parung Ponteng, Desa Tajur, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (9/1), harus belajar dalam satu ruang yang sama. Sementara itu, sebuah kontras teronggok di pojok kiri atas, sebuah berita yang jauh dari rasa prihatin; 'Boroskan Dana, DPR Cederai Rakyat Lagi'. Dalam berita tersebut dijelaskan bahwa Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh membenarkan alokasi renovasi ruang kerja Badan Anggaran DPR sebesar Rp 20,3 M. Dengan rincian, Rp 565,5 juta untuk Konsultan Perencana, Rp 234,39 juga untuk Konsultan Pengawas, dan Rp 19,995 M untuk renovasi. Menurut Nining, renovasi dilakukan karena kondisi ruang kerja Banggar saat ini 'tidak layak lagi'. Lampu penerangan, akustik, lantai karpet, furnitur, dan sound system sudah tidak memadai. Selain itu, kapasitas ruang kerja yang lama juga tidak memadai lagi untuk menampun 85 anggota Banggar beserta staff ahli mereka. Belum lagi jika ada pertemuan dengan pemerintah, jumlahnya menjadi 100-150 orang. Nining menegaskan, pengerjaan renovasi ruang kerja Banggar dilakukan dengan transparan. Pelaksanaan tender diumumkan langsung dalam situs resmi DPR.

*****

Dari selembar halaman koran, kita dapatkan gambaran kontemporer negeri ini. Barangkali memang sedikit berkesan 'menyederhanakan masalah', tapi saya yakin tak akan sepenuhnya salah. Dari satu berita ke berita lainnya kita bersua dengan realita, kita temukan gambaran ketimpangan antara beberapa golongan, ketimpangan antara realita dan harapan, pun kita dapatkan kesenjangan di segenap lapisan. Dan, lebih-lebih, kita lantas dipahamkan tentang rentang yang tak berujung antara 'para wakil' dan 'mereka yang diwakili'. Kita tahu, di manapun dan kapan pun, wakil adalah representasi dari yang diwakili. Berbicara wewenang, wakil selalu lebih inferior dibanding yang diwakili. Berbicara nilai, wakil tak pernah melebihi berharganya mereka yang diwakili. Dan berbicara pertanggungjawaban, kepada 'yang diwakili' lah semestinya 'para wakil' itu bertanggung jawab. Dengan ibarat paling sederhana, wakil adalah pesuruh dari yang diwakili. Dan karena itu pulalah, mereka - para wakil itu - pantas mendapatkan fasilitas dan beberapa kemudahan yang secara penuh ditanggung oleh mereka yang diwakili, agar kepentingan yang diwakili lebih mudah diperjuangkan. Begitu pun dengan Wakil Rakyat, yang - tentu saja - sekadar mewakili Rakyat. Tapi di negeri ini, segala pemahaman kita tentang kata 'wakil' - sebagaimana kita pahami selama ini - seperti tak berarti lagi. Para wakil rakyat bertindak seakan junjungan rakyat, para wakil rakyat berbuat seakan memang terlahir justru untuk menyusahkan rakyat. Ironisnya, sambil tak berhenti menyusu kepada rakyat. Begitu sering kita dengar berita yang jauh dari elok lahir justru dari gedung yang berisi manusia-manusia yang dalam setiap penyebutan selalu ditambahi embel-embel 'yang terhormat' itu. Kegilaan apa yang belum lahir dari gedung 'wakil rakyat' itu? Mulai dari makelar proyek, 'gossip' adanya kong-kalikong dalam urusan pemilihan pejabat negara, sampai dengan adanya skandal seks, semua ada, semua tersedia. Selama tiga tahun terakhir ini saja, telah banyak berita ajaib yang lahir dari gedung tempat rapat manusia-manusia yang juga ajaib ini. Sekadar mengingat kembali, pada Agustus 2010, rakyat dibuat  terpana dengan adanya rencana pembangunan gedung baru DPR 36 lantai dengan biaya Rp 1,6 triliun. Pada Januari 2011, muncul berita renovasi 495 rumah dinas anggota DPR dengan biaya Rp 445 miliar. Berlanjut di bulan Mei 2011, kita dapatkan berita bahwa Anggaran operasional IT DPR tahun 2010 mencapai Rp 10,6 miliar, yang pada  di tahun 2011 meningkat menjadi Rp 10,9 miliar. Sementara, rakyat negeri ini juga sempat mendengar warta betapa suatu hari di sebuah negeri (di luar Nusantara kita),  beberapa anggota dewan itu gelagapan ketika diminta menjawab pertanyaan beberapa mahasiswa seputar kepemilikan alamat email. Apa guna puluhan miliar itu bila bahkan sekadar alamat emailpun mereka tak memiliki? Belum purna rasa sebal kita, tiba-tiba Januari 2012, ada proyek pengadaan presensi elektronik sidik jari (finger print) Rp 3,7 miliar. Kemudian rencana renovasi 220 toilet di Gedung Nusantara I DPR di Kompleks Senayan dengan anggaran Rp 2 miliar. Dan puncak dari rasa segala kemuakan itu lahir ketika tersiar warta tentang rencana renovasi ruang rapat Badan Anggaran dengan biaya Rp 20 miliar. Kadang terasa begitu susah dinalar; Bagaimana bisa? Begitu susah menyandingkan hidup keseharian para manusia bertitel 'rakyat' itu dengan hiruk-pikuk ucapan dan tindakan para anggota dewan yang notabene merupakan 'wakil rakyat' itu.  Begitu sukar membuat garis yang menghubungkan setumpuk persoalan rakyat kebanyakan dengan 'persoalan' yang coba 'dipecahkan' olah para anggota dewan? Padahal para anggota dewan itu adalah 'representasi' dari rakyat itu sendiri. Apa yang lebih mengherankan daripada hal semacam ini? Ketika Mohammad Riska kebingungan mencari jalan teraman ketika sekadar ingin menuntut ilmu, para wakilnya sibuk mencari jalan teraman menggerogoti kekayaan negeri, kalau perlu tanpa perlu orang lain tahu. Ketika rakyat nelayan menghadapi  ancaman tak berpendapatan - yang berarti juga kesengsaraan bagi seluruh anggota keluarga -  akibat cuaca yang sukar ditebak, para wakil rakyat justru sibuk berkoar tentang kondisi toilet yang perlu dirombak. Ketika anak-anak negeri ini menuntut ilmu dengan terpaksa berhimpit sesak di bangku-bangku kayu yang mulai ringsek, di lindung naungan gedung-gedung sekolah yang darurat, berita yang banyak muncul dari gedung para wakil rakyat justru rencana renovasi bernilai puluhan miliar hanya untuk sebuah 'ruang rapat'. Sialnya, setiap ucapan dan tindakan yang dilakukan para Wakil Rakyat  di gedung  dewan itu, selalu mengatasnamakan rakyat sebagai penyebab dan alasannya. Lebih-lebih, setiap kata, setiap nafas, setiap tindakan, setiap lembar pakaian, setiap detik hitungan konsumsi listrik, air, dan telpon, dan lain-lain dari para anggota dewan itu juga senantiasa melibatkan rakyat sebagai pihak yang menanggungnya. Sedangkan di sisi lain, rakyat tak pernah benar-benar merasakan dampaknya, selain setumpuk masalah dan keruwetan. Saya jadi teringat ucapan seorang kawan tentang para anggota dewan, "Saya mungkin memang tidak termasuk manusia pintar, tapi saya pasti tidak terlalu bodoh untuk diwakili manusia-manusia seperti mereka." Dan.. melihat Mohammad Riska, mendengar keluh para nelayan itu, melihat para murid di kelas itu, mendengar curahan hati para korban di Bima, di Mesuji, juga memperhatkan semua berita yang terjadi di rentang sejarah negeri ini, makin terasa benar adanya; rakyat memang selalu hidup tanpa wakil.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun