Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia yang mempercayai menulis untuk menyembuhkan

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat Luka

16 Maret 2017   15:51 Diperbarui: 16 Maret 2017   16:04 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dina tengah membereskan buku agendanya, notebook, lipstik dan compactpowder-nya saat telepon berbunyi.

“Halo, selamat pagi.”

“Pagi...eh, maaf...benar ini kediaman Tuan Martin?” suara asing dari seberang terdengar gugup.

“Benar, saya putrinya. Saya sedang berbicara dengan siapa?”

“Mmm..eh..saya karyawati Tuan Martin. Saya hanya ingin mengabarkan kalau klien sudah datang setengah jam yang lalu. Jadi, saya putuskan untuk menelepon kemari karena Tuan Martin belum juga datang.”

Dina mengernyitkan dahinya, “tapi, Tuan Martin sudah berangkat dari lebih dari sejam yang lalu. Kenapa tidak coba menelepon ke ponselnya?”

“Yah, baiklah saya akan coba. Terima kasih...tuuut...tuuut...” suara gagang telepon yang ditutup dengan tiba-tiba membuat telinga Dina jadi sakit.

“Dasar, karyawati bodoh!” rutuk Dina, dia lalu menyambar tasnya dan segera melesat pergi karena dia sudah melewatkan lima menit dari waktu keberangkatannya.

“Selamat Pagi, My Dee!” sapa Patrick dengan panggilan kesayangan saat Dina berlalu melewatinya dengan wajah muram. “Hei, what’s wrong?” Patrick lalu mengekor di belakang Dina hingga dia meletakkan tasnya dan duduk diam. Patrick masih setia dengan mimik prihatin, duduk di hadapannya.

“Aku kesal!” akhirnya Dina bicara juga. “Karyawati Papa hampir saja membuatku terlambat hari ini. Bayangkan, dengan bodohnya dia menelepon ke rumah dan mencari Papa padahal dia sudah berangkat satu jam yang lalu.”

“Apa kamu yakin papamu baik-baik saja?” tanya Patrick penuh perhatian.

Sure! Aku baru saja mendapatkan pesan singkat darinya.” Lalu Dina mengangsurkan ponselnya yang berisi sebuah pesan singkat dari ayahnya.

“”

Oh, it’s so sweet! Maybe, she’s confuse?! Aku pernah berada dalam situasi seperti itu dan kukira Kau harus memakluminya karena bagaimanapun, klien adalah aset bagi perusahaan papamu.”

“Yeah, maybe.” Jawab Dina sedikit melunak. “Ngomong-ngomong, Marina sudah datang?”

Mereka berdua lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas, tetapi tidak juga mendapati sosok Marina hingga bel masuk berbunyi.

Late again!” kata mereka hampir bersamaan.

***

“Hei, ini es krimku!” Dina berseru saat melihat es krimnya dilahap oleh Marina.

“Emh...bukankah perjanjiannya begitu, yang terlambat makan jatah dessert sahabatnya?!” kata Marina berusaha mengklarifikasi sambil tetap asyik menyendok es krim.

“Terbalik! Harusnya aku yang makan yogurt kamu, sini balikin! Enak aja, siapa suruh datangnya telat, wek!!” kata Dina mengejek. “Nih, lihat aku!” kata Dina dengan wajah menyeringai dan bersiap membuka tutup botol yogurt. Sedangkan, Marina berkaca-kaca memandangi yogurtnya yang perlahan tapi pasti menyusut hingga tegukan yang terakhir. Sial!, rutuknya dalam hati sembari komat-kamit berdoa semoga mulai besok Dina akan selalu datang terlambat agar dia bisa membalaskan dendam yogurt-nya.

“Psst..Rin...nomer sepuluh sampe lima belas!” seru Dina dengan secepat kilat pada Marina yang tengah asyik menulis jawaban di belakangnya. Belum selesai Marina menuliskan contekan, sebuah kertas melayang mengenai kepalanya. Saat Marina mencari tahu asal-muasal si kertas, Patrick menatapnya dengan wajah memelas. Ada sekitar lima belas nomer yang dimintai jawaban oleh Patrick.

Dasar bule fakir!, Marina tiba-tiba merasa Patrick bukannya mau menyontek, tetapi merampok jawaban darinya. Tetapi, karena Patrick adalah kekasih sahabatnya, akhirnya Marina mengalah. Mengalahnya tidak tanggung-tanggung, dia memberikan jawaban semua nomor untuk Patrick. Tentu saja Patrick jadi girang gemirang saat mendapatkan kertasnya kembali.

Keesokan harinya, saat hasil ujian dibagikan, Patrick mendapatkan nilai tertinggi, setelah itu baru Marina.

“Class, hari ini adalah shocking day buat saya, mungkin buat kalian juga! Seseorang yang biasanya selalu mendapatkan hasil ujiannya paling akhir, sekarang harus bangga karena akan saya panggil pertama kali. Tuan Patrick, selamat!”

“Huuuu...!” seisi kelas malah mengejek Patrick, sepertinya hanya Pak Guru saja yang tidak sadar karena tidak pernah menonton film ‘We Know What You Did Last Exam’. Tetapi, Patrick tetap saja Patrick, si bule fakir malah menganggap seisi kelas sirik padanya karena tidak bisa menandingi kesuksesannya dalam mencari contekan.

Marina mungkin saja sadar atau mungkin juga tidak kalau mulai hari itu, perasaan Patrick pada Dina sudah berpaling padanya seratus delapan puluh derajat. Patrick merasa lama-kelamaan Marina jauh lebih smart dan cantik daripada Dina. Semakin hari intensitas pesan singkatnya pada Marina, semakin tinggi mulai dari menanyakan tugas sampai sekedar mengucapkan selamat bangun pagi. Sebenarnya, Marina ingin mengadukannya pada Dina, tetapi di takut merusak kebahagiaan Dina. Akhirnya, Marina memilih untuk diam dan tidak selalu menanggapi pesan singkat Patrick, demi kebaikan bersama.

***

Sudah satu bulan berselang, Patrick masih tetap Patrick dan tidak bergeming meski pesan singkatnya seringali tidak diperhatikan oleh Marina. Rupanya, si bule fakir lagi kesengsem berat. Hari ini, Marina datang terlalu pagi dari siapapun dan sama sekali tidak melihat wajah bersemangat Dina dari balik pintu hingga bel pulang sekolah berbunyi. Sebenarnya Marina ingin menanyakan keberadaan Dina pada Patrick, tetapi dia enggan. Marina memilih untuk langsung datang ke rumah Dina saat dia menyadari bahwa Dina sama sekali tidak membalas pesan singkatnya dan mengangkat telepon darinya.

“Ting...tong...” seraut wajah cerah wanita paru baya membukakan pintu untuk Marina. Dia adalah pembantu di rumah Dina dan sebagai catatan Marina tidak pernah tahu bagaimana rupa kedua orangtua Dina dari dekat. Dia hanya tahu foto-foto mereka yang dipajang di ruang tamu, tidak lebih.

“Dina ada di rumah?” tanya Marina dengan sopan.

“Ada, Mbak. Langsung masuk saja.” Jawabnya dengan logat khas Banyumas.

“Nggak, apa-apa nih?!” tanya Marina ragu-ragu mengingat Dina itu orangnya sangat sensitif, apalagi kalau sedang dilanda masalah.

“Nggak! Tuh, Mbak Dina baru selesai makan.” Katanya sembari menunjuk Dina yang langsung menghambur ke arah Marina.

“Riiin...aku diputusin sama Patrick!” begitu serunya sembari memeluk erat tubuh Marina yang terkejut.

“Apa?!” marina lalu memegangi kedua bahu Dina dan melihatnya bercucuran airmata. Mereka lalu berpelukan lagi, perlahan-lahan seragam Marina jadi terasa hangat.

Rupanya hari minggu kemarin Patrick memutuskan Dina. Katanya dia sudah tidak mencintainya lagi.

“Hanya itu yang da katakan?” tanya Marina penasaran. Tetapi sesungguhnya dia khawatir kalau Patrick bakal menyebut dirinya sebagai pemicu putusnya percintaan Dina dan Patrick.

Dina mengangguk sambil mengambil tisu lalu mengelap hidungnya. “Hanya itu, Rin. Sebenarnya aku berharap Patrick jujur. Instingku mengatakan bahwa ada orang ketiga diantara kami berdua, tapi aku tidak bisa mengetahui siapa dia sebenarnya.”

Marina menelan ludah. Bisa jadi orang itu adalah dirinya, tetapi Marina merasa tidak benar-benar bersalah. Patrick-lah penyebab semua kekacauan ini, bukan dirinya atau contekannya tempo hari.

“Memangnya kalau Patrick jujur apa efeknya buatmu? Toh, tetap saja kamu diputusin sama dia.” Tanya Marina penuh selidik.

“Yeah, setidaknya aku bisa menampar mukanya, terus pergi.”

“Pergi?”

Dina mengangguk pasti.

“Kalau begitu saja, kenapa kamu sampai tidak masuk sekolah?! Atau kamu takut ketemu Patrick?”

Dina menggeleng lemah, sepertinya bersiap hendak menangis lagi. Dina lalu beringsut dan mengambil sesuatu dari balik bantalnya.

“Tadi pagi aku menemukan ini di atas meja kerja Papa.”

Mulanya Marina tidak mengerti, tetapi lama-kelamaan dia tahu bahwa yang sedang dipegangnya adalah sebuah surat permohonan cerai. Tertera disitu yang menjadi pemohon adalah Nyonya Martin, mama Dina sendiri.

“Astaga! Maafkan aku, Din, Tidak kusangka kamu harus menahan beban seberat ini sendirian di waktu yang hampir bersamaan.” Marina jadi semakin prihatin melihat nasib sahabatnya.

“Rasanya aku mendadak gila, Rin. Seharian ini pembantuku sampai bersusah payah untuk membangunkanku dan menyuruhku untuk sarapan. Aku tidak bergeming, aku tidak bisa menangis seharian dan ternyata airmataku membuncah saat melihat kamu datang.” Dina menangis lagi.

Marina menghela nafas panjang, dia tidak habis pikir kenapa Dina malang sekali hari ini. Apalagi, sebagai anak tunggal tentunya Dina akan sangat terpukul melihat kenyataan yang hampir pasti bahwa kedua orangtuanya akan berpisah. Meski selama ini, mereka seringkali dipisahkan oleh jarak dan waktu, tetapi Dina bisa menikmatinya, dia tetap bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan hampir tidak pernah menyusahkan kedua orangtuanya.

Namun, ternyata kedua orangtuanya-lah yang menyusahkan Dina. Marina jadi sedih dan iba melihat keadaan sahabatnya.

“Sudah, tenang ya. Tinggallah bersamaku barang beberapa hari untuk menenangkan diri. Semoga akan ada jalan keluar yang terbaik untukmu dan keluargamu.” Begitulah, akhirnya Dina menuruti kata-kata Marina dan tinggal bersama Marina dan ibunya yang seorang janda untuk beberapa lama dan hanya berpamitan pada pembantunya.

***

Selama tinggal bersama Marina, Dina menjadi sedikit tenang, setidaknya ada yang meringankan beban batinnya. Ibu Marina juga tidak kalah baik dan ramahnya pada Dina, dia cenderung dimanjakan dan seolah-olah seperti anaknya sendiri. Sebenarnya, Dina tidak begitu suka jika diperhatikan melebihi ibunya sendiri, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mamanya memang masih sering menelepon Dina, tetapi tetap saja keras kepala dan menginginkan perceraian.

Come here with me. Tinggalkan saja papamu, dan tinggallah disini dengan Mama, Honey!”

“Tapi, Ma. Dina harus tahu kenapa kalian bercerai! Kenapa kalian tega berbuat seperti ini sama Dina? Ma, please...?!”

Telepon dimatikan dari seberang. Tidak secuilpun penjelasan diberikan pada Dina. Dari luar kamar terdengar suara Ibu Marina memanggil-manggil namanya.

“Diin...Dina...kamu baik-baik saja, Nak?! Nih Tante punya puding coklat buat kamu!”

Dina dengan malas beranjak dari ranjang, dia bukan anak kecil lagi, jadi ‘puding’ tidak membuatnya bahagia sama sekali.

“Terima kasih, Tante.”

“Dina..”

“Ya?”

“Eh...bukannya hari ini kamu harus berangkat ke sekolah?”

“Maksud, Tante?”

“Ehh...nggak, hanya saja sekolah itu lebih baik buatmu. Jangan biarkan rasa benci menutupi kebahagiaan yang sudah seharusnya kamu dapatkan di sekolah.” Ibu Marina meraih tangan Dina dengan penuh kehangatan.

“Berangkatlah ke sekolah besok, oke! Gambatte!!” Dina tersenyum melihat kelakuan ibunya Marina yang menirukan gaya karakter dorama Jepang, kesukaan Dina dan Marina.

“Haik!” balas Dina dengan tak kalah bersemangat. Kesedihan Dina seperti terhapuskan seketika itu juga. Mungkin sudah seharusnya Dina menikmati kehidupan ala Marina dan ibunya yang hangat dan menenangkan.

***

Selama tiga bulan Dina betah tinggal bersama Marina dan sama sekali tidak mau pulang meski sang Papa sudah berjuang keras membujuknya lewat telepon.

“Please, pulanglah! Apa kamu tidak rindu dengan Papa, heh?! Papa sudah kangen sekali sama kamu, Honey!”

Dina menggeleng, “entahlah, Pa. Sepertinya disini lebih baik daripada aku harus di rumah kesepian dan jadi anak pembantu, bukan anak Papa ataupun Mama.” Jawabnya dengan nada ketus.

“Din, Papamu telepon lagi, ya?” tanya Marina saat dia memasuki kamar Dina.

Dina mengangguk saja, dia sedang malas bicara.

“Din, lebih baik kamu pulang saja, deh! Aku kasihan sama Papa kamu, Din. Nanti aku antar sehabis makan malam, gimana?”

Dina tidak bergeming.

Hari beranjak senja, tetapi Dina tidak juga beranjak dari ranjangnya.

“Hei, ayolah! Kuantarkan kamu pulang, biar setidaknya Papamu bisa tenang.”

Dina tidak bergerak, “kalau memang begitu kenapa Papa tidak menjemput saja kemari.”

Marina mulai jengah dan menganggap sahabatnya jadi terlalu manja. Tetapi belum sampai dia mengutarakan pikirannya, bel rumah berbunyi beberapa kali.

“Hai, mungkin itu papamu?!” seru Marina dengan semangat lalu segera menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Tetapi, sungguh diluar dugaan bahwa yang datang bukan papanya Dina melainkan Patrick!

“Astaga! Ngapain kamu kemari?!” seru Marina antara panik dan marah. Dia takut kalau Dina keluar dan tahu siapa yang datang.

“Marina, please...aku sudah mutusin Dina buat kamu. Aku mohon terimalah cintaku!” katanya memohon hingga terbungkuk-bungkuk.

“Patrick!”

“Dina!”

Oh, my God...” Marina berusaha memegangi kepalanya agar tidak jatuh menggelinding.

What the hell are you doing here?!” kata Dina dengan nada ketus.

Why? Kita sudah putus, kan?! Jadi sekarang aku bebas mendekati siapapun.”

Dina melihat ke arah Marina dengan tatapan yang menginginkan penjelasan darinya, lalu kembali menatap Patrick.

“Dia? Jadi, dia penyebabnya?”

Marina memejamkan mata berusaha untuk menyusun kalimat dengan cepat dan tepat agar Dina tidak salah paham dan jadi kalap. Tetapi, belum sempat Marina mengeluarjkan kata-kata itu, Patrick mendahuluinya.

“Yeah, benar! Memangnya kenapa? Harus kuakui dia lebih baik dari kamu dalam banyak hal. I’m sorry...”

“Apa?!” seru Dina kesal, dia lalu masuk kamar dan hening beberapa saat sampai dia keluar lagi dan, “plakk!!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi Marina, lalu Dina beranjak pergi begitu saja persis seperti apa yang sudah dia ucapkan tempo hari.

Marina merasa marah dan membanting pintu tepat di hadapan wajah Patrick hingga hidungnya yang mancung memerah dan sedikit mengeluarkan darah.

“Puas, kan sekarang! Sudah kubilang berkali-kali kalau akan begini jadinya, tapi kamu egois! Cinta itu nggak egois seperti kamu! Sekarang pergi kamu dari sini!”

But...”

“Pergi!” Marina kesal hingga melemparkan vas bunga ke arah pintu hingga pecah berkeping-keping.

Ibu Marina yang baru saja pulang langsung terkejut mendengar suara pecah berhamburan dari dalam rumahnya dan seorang anak muda bertampang bule berlari keluar dari halaman rumahnya dengan hidung mimisan.

***

Akhir-akhir ini Dina seringkali datang terlambat, tetapi Marina enggan menghabiskan desert-nya sebagai hukuman. Dia tidak tega karena porsi makan Dina jadi bertambah dua kali dari biasanya. Memang Dina tidak lagi marah padanya dan masih mau ditemani kemana-mana oleh Marina, tetapi Marina jadi merasa sangat bersalah padanya.

“Sudahlah, aku hanya melakukan yang seharusnya kulakukan. Kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu.”

“Kalau begitu kamu mau, kan ke rumahku sekali lagi. Aku ingin kita mengulangi kejadian yang sama tempo hari. Aku masih ingin mengantarkanmu pulang ke rumah dengan hati tenang dan aku ingin sekali membahagiakanmu, Din. Mau, ya?!”

Dina tertawa kecil, “dasar bodoh! Aku bukan anak kecil lagi pakai diantar segala! Hari ini kita ke rumahmu, deh!”

Marina senang mendengarnya. Dia berjanji dalam hati untuk berusaha sekuat tenaga meringankan beban sahabat baiknya.

Dalam perjalanan pulang, mereka berdua asyik bersenda gurau hingga tak terasa sudah sampai di halaman depan rumahnya. Dina tiba-tiba membisu.

“Kenapa, Din?”

Dina bernafas lebih cepat dari biasanya dan membuka pintu depan tanpa beruluk salam atau mengetuk.

“Papa?!”

Marina yang masih tidak paham apa yang sebenarnya terjadi, berusaha untuk menyusul Dina ke dalam. Dia melihat Dina berdiri di ambang pintu kamar ibunya yang menganga lebar dan berusaha mencari tahu.

“Astaga, Ibu!” Marina terkejut melihat ibunya mengenakan selimut untuk menutupi tubuhnya dan papa Dina yang berdiri dengan bertelanjang dada.

“Dina, dengarkan dulu penjelasan Papa!” katanya sembari berusaha meraih kedua bahu Dina. Tetapi, Dina berontak.

Now I know...Mama selama ini berusaha untuk menutupi kebiadaban Papa dihadapan Dina. Mama terlalu baik, tetapi kenapa Papa setega ini, heh?! Lepaskan Dina, Pa!”

Semuanya terdiam, tidak terkecuali Marina. Dia sedang berusaha meggambarkan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Kenapa begitu mendadak dan bertubi-tubi, tetapi Marina malah menangis sejadi-jadinya. Dia terpukul melihat pemandangan di hadapannya.

“Kamu juga, Tante. Kupikir selama ini Tante baik padaku karena memang begitulah adanya. Dina bahkan terlanjur suka dengan Tante dan sempat tidak mau pulang. Tetapi ternyata Tante tidak lebih dari seorang pelacur! Selama ini Tante tahu kalau Dina anak Papa, jadi Tante baik sama Dina begitu, kan?!”

Dina lalu mendekati Marina yang bersimpuh sambil menangis.

“Marina... kamu tetap sahabatku. Aku hargai maksud baikmu untuk mengajakku kembali ke rumahmu hari ini. Aku akan selalu mengenangmu sebagai sahabat baikku dan sekaligus sahabat luka bagiku.” Dina mengecup dahi Marina. “Selamat tinggal...”

“Dina?!” seru papanya, tetapi seruan itu seolah berubah menjadi bulir-bulir debu yang menemani kepergian Dina hingga keluar dari balik pintu.

***

Dina tidak pulang ke rumahnya, tidak juga berangkat ke sekolah. Sudah satu minggu berlalu...dua minggu...polisi juga ikut membantu mencari keberadaan Dina. Minggu ketiga tersiar kabar bahwa di youtube ada video yang diperankan oleh seseorang yang mirip dengan Dina. Dalam video itu, si gadis nampak memperlihatkan bekas-bekas luka sayatan di sekujur tubuhnya. Marina menangis saat polisi memperlihatkan video itu padanya, sayatan-sayatan itu bertuliskan ‘Marina’, ‘Papa’, ‘Mama’, ‘Tante’ dan ada juga sayatan ‘Pelacur’ yang entah siapa yang menyayatkan itu di punggungnya. Lalu, dia tertawa-tawa di depan webcam sembari mengucapkan terima kasih pada semua orang yang sudah dia tuliskan di sekujur tubuhnya. Kata-kata terakhirnya begitu menyayat.

“Biarlah langit menghukumku. Aku sudah tidak layak dikasihani lagi. Sahabat lukaku, sahabatku luka. Hidup...setengah mati...atau mati...sama saja.”

Polisi segera melacak dimana gambar itu diambil dan kapan di-upload pertama kali. Sehari...dua hari...tiga hari...empat hari...lima hari...enam hari tanpa kabar. Saat itu Marina sedang menjalani ujian nasional, dia sama sekali tidak dapat berkonsentrasi belajar dan tidak peduli dia bisa lulus atau tidak. Dia sama hampanya dengan Dina—sahabat lukaku, sahabatku luka—bukan, Marina lebih terluka dari siapapun. Dialah korbannya, bukan Dina. Tetapi, mengapa Dina lebih memilih untuk tersesat dan tidak berusaha tegar seperti dirinya?

Dina ataukah Patrick, kalian berdua sama-sama egois! Kalian dengan semena-mena meletakkan semua kesalahan dalam kehidupan kalian padaku. Kenapa aku yang salah padahal aku sama sekali tidak mencintai Patrick?! Kenapa aku yang harus menanggung malu atas perbuatan ibuku yang memalukan?! Kenapa aku luka...

Di hari ke tujuh Dina ditemukan overdosis di sebuah kamar kos yang sempit di pinggiran kota. Dia berhasil diselamatkan oleh tim medis dan sekarang sedang menjalani terapi di sebuah panti rehabilitasi. Dina belum tahu, kalau di hari yang sama setelah dia diketemukan oleh polisi, Marina menenggak obat serangga di kamarnya dan meninggalkan sebuah tulisan panjang terukir di dinding kamarnya. Tulisan tentang jeritan hatinya yang tidak akan pernah diketahui oleh Dina, karena setelah kejadian itu, Ibu Marina memutuskan untuk pergi dan menjual rumahnya. Si pemilik yang baru merobak total rumah itu hingga tidak ada yang bisa lagi merasakan kenangan pahit dan menyayat dalam rumah itu. Kecuali, Dina...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun