Tadi pagi habis melaksanakan tugas kelancaran lalu lintas di depan gerbang sekolah, membaca sebuah majalah yang cukup mengaggetkan akan isinya. Edisi XVII/2010 CHANGE IT’S TIME TO BE DIFFERENT SCHOOL IS MY PLAYGROUND. Majalah yang mempunya alamat redaksi : Jl. Tebet Barat Dalam 9A No. B1 Jakarta Selatan,dengan penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, dengan penanggung jawab Mariana Amiruddin. Model majalah remaja yang gaul habis, dengan pangsa siswa SMA.
Diantara semua artikel saya hanya akan melihat bagian “school uncool”. Ada empat siswa yang mengutarakan pendapatnya tentang sekolah. Sayangnya hanya empat dan tidak berimbang,tiga anak jawabannya berseberangan dengan kebijakan sekolah. Kalau pun ada sekolah yang memperbolehkan sesuatu, misalnya rambut gondrong tentunya ada konsekwensi logis.
Johannes Dwi Saputro, 17 Tahun, SMA 1 Jakarta, ” Yang perlu diubah tuh tata tertibnya ! Harusnya bisa membebaskan siswa untuk berambut gondrong. Kan enak kalau boleh gondrong jadi nggak perlu kucing-kucingan lagi sama guru. Lagian kan juga nggak ngaruh banget kepintaran sama rambut gondrong, hehehhee. ” Siswa yang kedua, Karunia Putri, 18 tahun, SMAN 13 Jakarta,” Mushallanya mesti dirubah biar nggak lagi beralas terpal. Terus kalau yang telat nggak usah pakai dipanggil-panggil orang tuanya segala!”. Lerisca Putri Bianca, 16 tahun, SMAN 80 Jakarta,”Peraturan sekolah gue terlalu lebay !Sepatu harus itemlah, rok harus nutupin mata kaki lah, cowok nggak boleh gondrong lah, kaos kaki harus putih lah ! Menurut gue itu semua kan sepele. Peraturan kaya gitu justru malah mempengaruhi ke pelajaran siswa karena fokusnya kebelah dua. Terus guru-guru beserta staf yang suka rese !”. Sementara Ivana Lestari Sutanto, 17 tahun, SMA Fons Vitae 1 berkata,” Menurut gue perpustakaan dan ekskul nya yang tahun ajaran ini banyak yang diapus. Kalau bisa diadain lagi dong. Terus cara ngajar guru-gurunya juga harus lebih menarik.”
Saya senyum ketir membaca hal ini. Makin miris ketika seseorag mengirim SMS “Apakah bpk yakin setelah SMA 8 tesnya, pakai mandiri, msh bisa menjaring siswa berprestasi ? Saya khawatir nanti hanya yang bisa membayar mahal yg diterima.”
Saya tertegun dengan kalimat terakhir. Sebuah pertanyaankah ? Atau kekhawatiran yang berprasangka… Astagfirullah . Moga saya salah menilai.
Kembal ke pernyataan 4 siswa di atas. Tiga siswa mempertanyakan “ukuran” tata tertib, yang tentunya mereka setujui saat masuk menjadi siswa sebuah SMA, satu siswa mempertanyaakan sebuah “proses”. Hidup mempunyai 4 dimensi: keinginan, aturan, proses dan hasil. Sayangnya 3 siswa SMA NEGERI mempertanyakan hal yang fatal. Aturan. Hanya masyarakat barbar yang tidak suka dengan aturan, hanya masyarakat korup yang setelah berijab menyalahi janji. Saya selalu menyatakan : jangan pernah memotong meteran, potonglah bahan pakaiannya. Aturan, Tata tertib atau apa pun namanya adalah sebuah pondasi untuk kebaikan bersama. Aturan memang membuat sebagian kebebasan menjadi terkurangi. Tetapi itu buat kebaikan semua orang dan komunitas. De Brito, Panggudi Luhur atau pun sekolah yang masih memberikan toleransi siswa untuk berambut gondrong, pasti ada klausul khusus. Lah kenapa kalian yang senang dengan rambut gondrong tidak masuk ke sekolah tersebut.
Inikah yang dinginkan pengelola majalah Change, mengubah pola pikir siswa…… Pola destruktif generalis. Dimana pandangan para siswa di bawah ke arah yang berbeda, dengan format : masyarakat umum lebih suka terhadap hal tertentu… Kasihan tugas para guru, yang selama ini mengajarkan murid untuk berpikir konstruktif, teratur, bertahap dan konsisten.
Artikel School is my playground juga mempunyai “jiwa perlawanan”, inilah kalimatnya : menjadi siswa di Indonesia bisa jadi pekerjaan yang sangat berat. Bayangkan, masuk pagi, pulang hampir sore atau bahkan sore banget, dibebani pekerjaan rumah ‘segambreng’, harus mencerna lebih dari 10 mata pelajaran saat mendekti ujian, dan menjadi kelinci percobaan kurikulum yang tak pasti.
Di artikel School = my 2nd family : ada kalimat : Salah satunya, kita bisa “kas-bon” dulu sama penjaga kantin bila kalau uang jajan lagi minim.
Hahahahahaha, Majalah yang diterbitkan yayasan Jurnal Perempuan ini menjadi komplit…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H