Mohon tunggu...
Bhagavad Sambadha
Bhagavad Sambadha Mohon Tunggu... -

hitam putih,mutilasi,darah,depresi,festival film,etnik,memaki,mencaci,meredakan kerusuhan,bau aspal basah setelah hujan,bir dingin di siang hari,musik rockabilly di kamar,memperhatikan palang kilometer di jalan tol,menyapa seseorang di tengah keramaian,circle k sepanjang malam,museum,pulau tak berpenghuni,menyeberang jalan,bertukar pikiran,menikmati hidup,menangis,bawah air,tersesat,hujan,menyesal,kontrol sosial,fotografi humanis,psikologi acak

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bagian Pertama

19 April 2010   21:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pintu kamar terbuka perlahan, bersamaan dengan suara derit yang seolah berfungsi sebagai penanda bagi -apapun itu- yang sedang berada di dalam kamar bahwa penghuni yang sebenarnya sudah datang.

Aku masuk kedalam kamar dan menutup pintu.

Gelap. Barulah tak lama kemudian aku dapat menemukan saklar lampu sehingga sedikit cahaya dari lampu tidur kecil menerangi kamar itu, temaram saja.

Kamar ini jelas bukan kamar yang nyaman untuk ditinggali kalau tidak mau dibilang absurd, sedikitnya ada tiga buah asbak yang sudah terlalu penuh dengan puntung rokok dan baju-baju kotor yang terserak begitu saja di lantai, dindingnya dicat hitam dan dipenuhi dengan tulisan-tulisan kapur putih yang terlihat acak dan pudar di beberapa bagiannya, sedangkan satu sisi terakhir disesaki dengan puluhan selebaran pengumuman orang hilang yang menempel tumpang tindih karena sudah tidak ada ruang lagi. Aku selalu merasa potret orang-orang hilang tersebut punya kesedihan bercampur amarahnya sendiri-sendiri dan saling berebut ingin didengarkan, atau sebaliknya mereka justru mendapatkan ketenangan dan kehidupan yang mereka cari setelah dianggap "hilang" oleh keluarga atau siapapun itu yang merasa kehilangan atas bebasnya mereka.

Lalu ada lemari buku di sudut dinding dekat jendela, lemari buku itu adalah satu-satunya bukti bahwa penghuni kamar ini adalah makhluk yang beradab dan berbudaya, bahwa aku tidak mungkin meludah sembarangan, menyerobot antrian, atau selapar-laparnya membius gelandangan yang tertidur pulas di emperan toko lalu membawanya pulang untuk kujual organ-organ tubuhnya ke pasar gelap dan memakan sisa-sisa dagingnya mentah-mentah, setidaknya aku belum pernah berpikir untuk mencobanya. Menurutku membaca buku adalah suatu perjalanan dari ketidaktahuan yang berubah menjadi suatu perasaan aneh ketika selesai membacanya, senang rasanya mengetahui bahwa aku mengisi sedikit lagi rongga di dalam kepalaku dengan suatu hal yang baru.

Aku menyewa kamar ini 2 tahun yang lalu, di hari kelima aku melarikan diri dari rumah. Pemilik kamar kontrakan ini -ibu-ibu separuh baya yang dengan sedikit memaksa minta dipanggil Tante- bilang aku bebas melakukan apa saja di kamar ini asalkan aku membayar tepat waktu, 450 ribu rupiah setiap bulannya. Persis seperti yang kucari. Tante berjanji selama ia belum mendapatkan suami lagi ia tidak akan merubah peraturan itu. Yang kutahu suaminya melarikan diri bersama salah satu wanita yang juga penghuni salah satu kamar kontrakannya. Hanya itu yang dia ceritakan selama 2 tahun ini, tak lebih. Kalau melihat kelakuan serta dandanannya selama ini sepertinya peraturan itu takkan berubah untuk waktu yang lama.

Dan sepertinya ia benar-benar menepati janjinya, aku pernah melihat salah satu penghuni kontrakan ini bersama 3 temannya membopong seorang gadis muda yang sudah sangat mabuk kedalam kamarnya dan membuatku tak bisa tidur semalaman karena gadis itu menangis kesakitan sepanjang malam selagi pemuda-pemuda tengik itu tertawa-tawa tak kalah mabuknya dan berulang kali membentaknya agar ia diam, aku juga pernah menemukan seorang laki-laki tertidur di depan pintu kamarnya ketika aku pulang menjelang pagi dan aku baru tahu keesokan harinya kalau orang itu ternyata sudah mati dengan jarum suntik masih menempel di lengannya ketika 2 orang polisi berpenampilan seperti copet kereta api mengetuk kamarku menanyakan berbagai pertanyaan tentang orang itu yang sebagian besar kujawab dengan jawaban tidak tahu. Dan Tante tidak perduli, yang ia kutuk hanya karena orang itu meninggal sebelum membayar uang sewa kamarnya 2 bulan terakhir.

"Bayar saja uang sewamu paling lambat tanggal 5 setiap bulan. Setelah itu kamu mau menyembah setan? Silahkan, asalkan jangan berisik."

Aku ingat sekali pesan Tante sewaktu aku pertama kali pindah kesini, dan tampaknya dia punya definisi berisik yang sangat berbeda denganku.

Tetangga sebelah kananku bernama Pak Dar, supir taksi yang tak pernah berpakaian seperti layaknya supir taksi ketika dinas, kendaraannya pun tidak terlihat seperti taksi jika di atasnya tidak ada lampu bertuliskan taksi yang kini sudah berwarna putih polos karena tulisannya sudah pudar. Tebakanku Pak Dar berumur sekitar 60an, badannya kurus seperti meranggas dimakan angin malam, wajahnya tipikal seperti orang Jawa kebanyakan dengan tulang pipi yang menonjol dan dibungkus kulit tipis berwarna coklat matang. Rambutnya berwarna perak dan selalu disisir rapih ke belakang. Aku adalah teman bicara satu-satunya dan aku memang menyukai orang tua ini, ia bisa begitu bijak dan spontan dalam waktu yang bersamaan, ia bisa begitu fanatik sekaligus skeptis tanpa terlihat bodoh, tapi aku tahu pasti di balik itu semua ada perasaan kesepian yang sangat kuat, yang membuatku tak pernah punya cukup alasan untuk menanyakan tentang hal itu kepadanya.

Ia seperti punya aturan tidak tertulis "Jangan pernah tanyakan masa laluku kecuali aku yang menceritakannya terlebih dahulu kepadamu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun