Mohon tunggu...
Erfen Gustiawan Suwangto
Erfen Gustiawan Suwangto Mohon Tunggu... -

Tenaga medis, staf pengajar hukum kedokteran, aktivis medis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Deteksi dan Penanggulangan Bullying

14 Agustus 2012   02:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:49 3172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Deteksi dan Penanggulangan Bullying

Akhir-akhir ini berita kasus bullying di Indonesia kembali meruak ke permukaan. Berita kasus bullying di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta seakan menjadi fokus pembahasan media massa dalam negeri. Seakan rantai yang tak pernah putus, bullying terus mewarnai dunia pendidikan Indonesia tanpa pengentasan serius. Senior memiliki alasan bahwa tindakan seperti itu adalah tradisi yang dulu juga pernah diterimanya ketika masih menjadi junior. Siswa yang lemah sering dimintakan uang oleh temannya yang lebih kuat secara fisik, dipaksa mengerjakan pekerjaan rumahnya, disuruh melakukan hal-hal buruk seperti merokok, mengkonsumsi narkoba, dilecehkan secara seksual, dan disiksa tanpa alasan jelas, bahkan dibunuh. Menurut Asosiasi Psikolog Amerika, 40-80 persen anak sekolah mengalami bullying.

Bullying itu sendiri adalah tindakan mengintimidasi seseorang melalui sikap, tindakan, dan perkataan. Jadi, bullying tidak terbatas pada penyiksaan secara fisik, tetapi juga psikis. Mengucilkan dan menggosipkan seseorang juga termasuk tindakan bullying. Mungkin setelah mengetahui definisi bullying yang ternyata luas ini, kita baru tersadarkan bahwa kita juga pernah melakukan atau menjadi korban bullying. Untuk selanjutnya, artikel ini tetap memakai istilah “bullying” oleh karena belum ada kata dalam bahasa Indonesia yang mampu menyamainya.

Sebenarnya bullying bukan hanya ada dalam dunia pendidikan, tetapi juga dalam keluarga, dunia kerja, dan lain-lain. Orang tua yang diktator seringkali membully anaknya. Suami atau istri yang egois seringkali pula membully pasangannya. Anak yang fisiknya masih kuat berani membully orang tuanya yang renta. Persaingan dalam dunia kerja juga menimbulkan bullying antar rekan kerja. Tuntutan kerja yang tinggi dan arogansi jabatan juga terkadang membuat atasan membully bawahannya. Bahkan yang terbaru adalah bullying dalam dunia maya yang dikenal dengan istilah “cyber bullying” seperti kasus beberapa artis dalam negeri yang saling menyerang lewat media jejaring sosial.

Apalagi di dunia anak jalanan, betapa anak-anak itu seringkali dibully oleh preman-preman yang lebih tua dan kekar perawakannya. Tindak bullying pada anak jalanan bahkan sering mengarah kepada tindak pelecehan seksual.

Bahkan dalam pendidikan kedokteran yang harusnya humanis, juga kental dengan tindak bullying. Pendidikan dokter terkadang penuh cacian dan makian dari dokter senior kepada dokter junior, dari dokter ke perawat, dari dokter ke mahasiswa kedokteran, dan sebagainya. Jangan heran jika dokter tidak humanis kepada pasien, mungkin semasa pendidikannya juga sang dokter tidak diperlakukan secara humanis. Padahal dokter menjadi salah satu pihak yang diharapkan untuk dapat mendampingi korban bullying. Dalam penelitian di Inggris, 84 % dokter junior pernah mengalami bullying. Sayangnya, bahkan dokter ahli jiwa (psikiater) juga termasuk dokter spesialis yang sering dibully semasa pendidikannya. Penelitian lain menunjukkan bahwa 47% psikiater mengalami bullying semasa pendidikan.

Ini semua seakan menyadarkan kita betapa bullying sudah menjadi masalah global yang serius. Serangkaian contoh di atas juga mengingatkan kita bahwa bullying memiliki spektrum yang luas, mulai dari tindak bullying yang masih sederhana sampai ke berat. Termasuk mengingatkan kita bahwa bullying terjadi pada masyarakat tingkat ekonomi dan pendidikan tinggi sampai rendah.

Bullying tentu memberikan dampak negatif bagi korban sekaligus pelakunya. Timbul pertanyaan, “Mengapa pelaku juga mendapatkan dampak yang negatif, bukankah korban yang lebih dirugikan?” Jawabannya adalah karena biasanya pelaku bullying juga pernah dibully sehingga melakukan tindakan balas dendam dengan membully orang lain. Intinya adalah pelaku bully sendiri kemungkinan besar memiliki luka batin yang belum terobati. Demikian juga dengan korban yang juga akan mendapatkan luka batin, bahkan nekat bunuh diri. Apabila dibiarkan terus terjadi, tentu rantai ini tak akan pernah putus. Hanya orang yang berhati besarlah yang mampu memutusnya. Dalam arti berhati besar untuk mampu memaafkan orang yang membullynya lalu tidak melakukan hal yang sama ke orang lain.

Bagaimana agar korban bullying memiliki hati besar untuk tidak melakukan tindakan serupa ke orang lain? Tentu dengan pendidikan dini tentang buruknya bullying itu, perlunya keberanian untuk melapor, dan kebesaran hati untuk tidak membalas dendam. Pendidikan semacam ini harus terus ditekankan bukan hanya dengan nasihat teori, tetapi juga teladan dari yang lebih tua. Selain itu perlu penegakan hukum yang tegas bagi para pelakunya, baik penegakan hukuman internal institusi maupun negara. Selama ini institusi termasuk keluarga dan korban sendiri seakan menutupi kasus bullying demi menjaga nama baik. Ini tentu perlu kedewasaan oleh media massa juga yang memang lebih sering mengekspos buruknya suatu institusi dalam kasus bullying.

Seyogyanya,pembahasan terfokus kepada pencarian solusi dan bukan hanya ekspos yang merugikan nama baik institusi, keluarga, bahkan korban. Yang susah adalah jika pimpinan institusi dan keluarga sendiri kurang mendukung penerapan solusi yang jitu oleh karena alasan-alasan yang tak masuk akal. Seperti alasan perlunya tindakan bullying tersebut untuk pendisiplinan. Pendisiplinan apakah harus selalu dengan cara kekerasan yang bahkan akan menimbulkan dampak lebih buruk? Itu hanya alasan demi memuaskan ego. Beberapa orang dengan bakat psikopat (gangguan jiwa) memang menyukai tindak penyiksaan. Hal ini bahkan sudah dapat dilihat dari kecil, di mana ada anak yang suka menyiksa binatang. Orang tua harus tanggap akan hal ini dengan memberikan pengertian secara lembut tentang betapa buruknya tindak penyiksaan seperti itu.

Bahkan ahli forensik bernama Lambroso mengatakan bahwa orang-orang dengan tipikal wajah tertentu juga memiliki bakat untuk melakukan tindak kriminal. Bentuk wajah yang khas ini disebut wajah Lambroso (sesuai nama pencetus teorinya), yaitu memiliki dahi datar, mata besar, rahang besar, wajah asimetris, dan lain-lain. Bagaimana bisa tindak bullying dihubungkan dengan teori wajah pelaku tindak kriminal? Tentu saja ada hubungannya oleh karena tindak bullying memang akan mengarah ke arah tindak kriminal. Seperti bullying dalam bentuk tindak penyiksaan dan pembunuhan, tentu sudah masuk ke ranah tindak pidana kriminalisme. Bahkan mungkin masyarakat belum memgetahui bahwa tindak bullying tahap awal seperti menghina, mencaci, dan mengucilkan seseorang juga sudah termasuk dalam tindak kriminal yang dapat dikenakan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Walau tentu pasal ini akan lebih sulit diajukan terkait bukti yang tidak seotentik kasus bullying penyiksaan dan pembunuhan.

Memang bakat perilaku masa kanak-kanak dan tekstur wajah Lambroso seperti ini juga tak akan muncul jika tidak didukung lingkungan yang memfasilitasinya. Sebaliknya, tanpa bakat-bakat ini juga akan muncul pelaku-pelaku bullying jika didukung lingkungan yang memfasilitasi terjadinya tindak bullying. Oleh karena itu, tentu anak yang suka menyiksa binatang dan memiliki wajah Lambroso tak serta-merta dicap akan menjadi pelaku tindak kejahatan. Namun, dengan adanya fakta ilmiah ini kita menjadi lebih tanggap untuk dapat mengarahkan anak itu di kemudian hari. Jadi, faktor bakat dalam diri seseorang dan lingkungan akan menjadi faktor penentu seseorang menjadi pelaku tindak bullying atau tidak.

Lingkungan yang baik tentu diciptakan oleh orang-orang terdekat, baik itu di keluarga, sekolah, tempat kerja, bahkan negara. Keluarga adalah benteng pertama oleh karena memiliki hubungan darah dan menjadi orang terdekat. Siapa lagi yang patut diandalkan selain keluarga sendiri? Orang tua harus menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif bagi perkembangan mental yang sehat untuk anak dengan pendidikan budi pekerti yang penuh kelemahlembutan. Orang tua sendiri harus akur satu sama lain karena menjadi contoh nyata bagi anak. Tentu anak yang dididik baik juga tak akan mengecewakan orang tuanya, termasuk tidak balik membully orang tuanya tatkala dewasa nanti. Terkadang orang tua hanya menuntut anak untuk menjaga nama baik keluarga tanpa teladan dari orang tua sendiri. Anak dididik dengan keras dan orang tua bertengkar sepanjang hari, padahal anak tak pernah meminta untuk dilahirkan. Dampaknya adalah anak menjadi terlibat dalam pergaulan bebas, orang tua cerai, anak melakukan bullying pada orang lain, anak menjadi korban bullying dan tiak berani melapor, serta masih banyak lagi. Harusnya instrospeksi diri tentang apa alasan untuk berkeluarga? Tentu tujuannya membentuk keluarga harmonis dan sejahtera lahir batin. Hal ini dapat diterapkan dalam penyuluhan pranikah yang sering diadakan institusi agama dan pelayanan psikologi perkawinan, serta pendidikan masyarakat. Sudah tanggung jawab orang tua sebagai perintis pembentukan keluarga dan mendidik anak-anak yang tak pernah minta untuk dilahirkan. Peraturan hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan anak juga telah mewajibkan bagi siapapun untuk melaporkan tindak penyiksaan anak dalam keluarga, tanpa harus kuatir ikut campur dalam keluarga orang lain. Alih-alih malah peraturan ini dapat menjerat orang yang tak melaporkan kasus tersebut jika mengetahuinya. Semua orang, termasuk tenaga kesehatan harus jeli melihat tanda-tanda kekerasan fisik seperti memar, patah tulang, perdarahan tanpa sebab jelas, termasuk penampakan ketakutan dari anak.

Sekolah juga menjadi tempat kedua yang tak kalah berpengaruh besar. Karena anak-anak menghabiskan waktu banyak juga di sekolah. Di sekolah, gurulah yang bertanggung jawab sebagai orang tua kedua bagi anak. Sayangnya masih banyak guru yang tak menghayati filosofi guru sebagai orang tua kedua bagi anak. Masih banyak guru yang melakukan kekerasan pada anak didik seakan tak pernah memiliki anak. Pun jika guru tidak menghayati filosofi ini, guru harusnya sadar bahwa ia terikat kontrak dengan orang tua siswa untuk mengantarkan anak didiknya ke gerbang kesuksesan. Kenyataan di lapangan masih banyak guru yang menggunakan kekerasan. Dengan alasan pendisiplinan, beberapa oknum guru berani menyiksa muridnya. Tentu ini membuat anak takut ke sekolah dan tak bisa belajar dengan baik. Sesama siswa juga saling membully karena meneladani gurunya yang keras itu. Mengapa masalah ini timbul? Oleh karena masih ada oknum yang menjadi guru karena alasan materi semata, bukan karena panggilan. Termasuk ada guru yang memang mengalami gangguan kejiwaan, tetapi tak terdeteksi dalam seleksi masuk kerja. Seleksi ketat termasuk uji kompetensi guru yang sedang marak belakangan ini, memang sangat penting diterapkan. Untuk masa datang, guru bahkan jangan hanya diuji kompetensi kognitif dan psikomotornya dalam mengajar, tetapi juga kompetensi afeksinya. Afeksi yang menyangkut empati kepada murid yang bermasalah sehingga murid bermasalah bukan dibully, tetapi dibimbing penuh dengan kasih. Siswa seringkali takut dengan senioritas guru. Oleh karena itu, orang tua haruslah membuat suasana keluarga yang penuh keterbukaan. Jikalau orang tua sendiri suka membully anaknya, jangan heran anaknya juga tak berani melaporkan guru yang membullynya di sekolah. Yang tak kalah menarik adalah bahwa guru senior juga sering membully guru junior. Dalam penelitian di Inggris, profesi guru adalah salah satu profesi yang paling berisiko terjadinya kasus bully. Siswa yang membully temannya juga harus ditindak, dilaporkan ke orang tua. Orang tua juga harus kooperatif dengan tak perlu terlalu membela anaknya yang membully anak lain. Jika sudah menyangkut tindak pidana, tentu harus diselesaikan di jalur hukum. Pimpinan sekolah juga tak perlu melakukan tindakan defensi dengan menyangkalnya, tetapi bertanggungjawab penuh menyelesaikan masalah ini. Tindakan defensi hanya akan memperburuk citra institusi, apalagi jika memang tindak bullying tersebut terbukti di pengadilan.

Dalam pendidikan tinggi juga seperti di sekolah. Dosen seringkali merasa lebih senior dan berkuasa. Dalam pendidikan feodal seperti dalam pendidikan akademi-akademi, kedokteran, dan sebagainya, tindak bullying seringkali terjadi dan mendarah daging. Dosen bahkan ada yang khawatir mahasiswanya lebih pintar dari dirinya sehingga menghambat mahasiswa berkualitas. Dosen pilih kasih kepada mahasiswa yang adalah anak kerabat dan sahabatnya. Dosen melakukan pelecehan dengan kata dan tindakan kasar, termasuk seksual. Pimpinan akademi/universitas juga sering melakukan tindakan defensi dengan menutupi kasus bullying ini. Sekali lagi ini tak akan berguna apalagi jika malah memang terbukti di pengadilan, tentu nama institusi akan semakin buruk karena sudah salah masih terbukti menutupi. Pihak yang menutupi bahkan bisa ikut terjerat hukum.

Dalam dunia kerja, masyarakat, dan negara juga demikian. Senioritas, persaingan dan kecemburuan sosial menjadi salah satu akar tindakan bullying. Bullying dalam perusahaan tentu membuat karyawan malas masuk kerja sehingga produktivitas menurun. Dalam suatu penelitian, didapatkan bahwa 1 di antara 10 pekerja pernah mengalami bullying.

Tentunya sekali lagi ditekankan akan pentingnya peran penanggung jawab dalam komunitas sebagai pengatur dan teladan. Pimpinan perusahaan, masyarakat, dan negara memiliki tanggung jawab dalam kedua hal itu. Jika tindak bullying dibiarkan, maka jelas citra pemimpin itu buruk pula. Apa layak ia disebut sebagai pimpinan jika tak mampu mengatasi bullying dalam komunitasnya. Apalagi jika pimpinan itu sendiri yang melakukan tindak bullying, tentu akan sangat tidak bisa diterima. Pemimpin perusahaan harus menjadi pelayan dan teladan demi produktivitas perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya. Pemimpin masyarakat dan negara juga harus menjadi pelayan dan teladan demi terbentuknya masyarakat harmonis yang sejahtera, sesuai tanggung jawabnya. Sekali lagi bahwa memimpin itu untuk melayani dengan hati, bukan memerintah dengan tangan besi. Masyarakat dan negara yang dipimpin dengan tangan besi sudah terbukti tak akan mampu bertahan. Tak mungkin masyarakat dapat akur dengan tidak membully satu sama lain, jikalau pemimpin negara sendiri sering membully rakyatnya dengan dengan kekerasan. Namun, di sisi lain pemimpin juga harus tegas dan adil dengan memberikan sanksi yang jelas untuk memberi efek jera, serta rasa keadilan bagi korban bullying. Peraturan hukum juga harus diperbaharui secara berkesinambungan sesuai kondisi masyarakat. Sebagai contoh dengan adanya kasus “cyber bullying” yang tentu perlu peraturan baru tentang etika penggunaan dunia maya.Seleksi pemimpin yang jujur, adil, tegas, penuh kasih menjadi salah satu faktor penting dalam hal ini.

Kesimpulannya bahwa tindak bullying menjadi masalah global yang harus diatasi bersama oleh semua pihak. Tindak pencegahan sejak dini melalui pendidikan moral, penerapan hidup bersama yang penuh kekeluargaan dan tanggung jawab, serta penataan hukum menjadi langkah awal efektif untuk mengurangi tindak bullying di masyarakat. Tindak penyelesaian melalui jalur hukum tentu langkah terakhir setelah tindak pencegahan gagal dilakukan dan ini agak terlambat dilakukan karena sudah timbul korban. Semua hal ini haruslah dilaksanakan secara terus-menerus oleh semua pihak tanpa terkecuali, mulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara.

Link: http://www.tanyadok.com/kesehatan/deteksi-dan-penanggulangan-bullying/

Dr. Erfen Gustiawan Suwangto

Departemen Etika Biomedis Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta

Pengurus Klinik Yayasan Griya Kesehatan Indonesia

Anggota Ikatan Dokter Indonesia Jakarta Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun