Penerapan program yang dijalankan BPJS adalah demi menjalankan amanah UU yang melindungi segenap rakyat dengan jaminan sosial kesehatan. ,amun sekarang keadaan menjadi lain krn ketidaksiapan dan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah dan BPJS itu sendiri. Ketidaksiapan dan ketidakadilan itu antara lain:
- Bahwa tarif yang ditetapkan BPJS terlalu rendah yang melecehkan kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Padahal dana dari pajak dan cukai rokok dan subsidi BBM bisa membantu penambahan tarif ini. Bahkan jika dana-dana tersebut dikelola dengan baik tanpa korupsi, maka BPJS bisa saja tidak dibutuhkan.
- Bahwa dengan kebijakan BPJS, bahkan semua masyarakat (yang dianggap mampu) harus membayar iuran utk menanggung beban sakit semua org dengan alasan gotong royong sesuai UU. Padahal data masyarakat mampu dan tdk mampu saja tdk akurat. Data tentang berbagai variabel penyakit juga belum jelas. Ini tentu menjadikan masyarakat sbg bahan percobaan.
- Bahwa dalam penetapan tarif BPJS, dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan para dokter yang tergabung
dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara resmi.
- Tarif BPJS yang minimalis tersebut akan meningkatkan risiko dokter Indonesia untuk dituntut dan digugat malapraktik karena pelayanan juga akan di bawah standar. Sayangnya, BPJS tidak bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Padahal harusnya dapat memberi perlindungan hukum berupa asuransi profesi medis dari dana BPJS sendiri.
- Bahwa BPJS sendiri menyadari kekurangan dirinya sehingga menjanjikan recredentialing di bulan April dengan sistem yang lebih adil, yang penting BPJS berjalan pada bulan Januari 2014. Namun, anehnya di kontrak yang sedang diajukan ke semua dokter sudah tertulis kontrak untuk setahun. Jika memang akan ada recredentialing di bulan April, harusnya kontrak cukup sampai akhir Maret dulu. Jika kontraknya saja sudah setahun, maka recredentialing di bulan April itu hanya omong kosong belaka.
- Bahwa dalam UU BPJS jelas tertulis bahwa BPJS adalah badan hukum publik. Namun, dalam Peraturan Presiden ditulis sebagai badan hukum saja dengan menghilangkan kata "publik". Walau peraturan presiden mengikuti UU di atasnya sehingga ini tak perlu dipersoalkan, namun hilangnya kata "publik" menjadi kejanggalan yang patut dipertanyakan.
- Bahwa tiba-tiba muncul beberapa asosiasi fasilitas kesehatan sebagai wakil perantara BPJS dengan para dokter. Padahal jelas BPJS bisa langsung berkontrak dengan para dokter tanpa harus ada berbagai macam asosiasi selain Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
- Bahwa semua ketidaksiapan dan kejanggalan ini merugikan masyarakat karena masyarakat terkesan dijadikan sebagai bahan percobaan sistem jaminan sosial kesehatan, serta kemungkinan hanya menguntungkan segelintir pihak saja.
- Bahwa nanti gaji direksi beserta staf karyawan BPJS harusnya menyesuaikan dengan kementerian lain, bukan bergaji besar standar BUMN. Hal ini mengingat status BPJS di bawah presiden sebagai badan hukum publik yang sifatnya wali amanah, bukan BUMN.
- Bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas, segenap komponen masyarakat hendaknya segera menuntut keadilan, transparansi, dan sistem yang jelas dalam sistem yang dijalankan oleh BPJS ini.