Mohon tunggu...
Uwa Ucup
Uwa Ucup Mohon Tunggu... -

Penulis lepas, tinggal di Bogor

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mempertanyakan Kurikulum 2013 - Sebuah Surat untuk Anies Baswedan

10 Desember 2014   02:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:39 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14181296521415570657

(Surat ini saya tulis saat Jokowi masih sebagai calon presiden. Sebagai pengingat bahwa kurikulum harus berbasis pada perkembangan imajinasi anak. Apapun sebutan untuk kurikulum tersebut)

[caption id="attachment_340445" align="aligncenter" width="497" caption="anies baswedan dan jokowi"][/caption]



Teruntuk Pak Joko Widodo, (aka Anies Baswedan)

Pukul 06.00 WIB di awal Juni ini, iseng-iseng saya sodorkan sebuah gambar kepada anak sulung saya yang berumur nyaris empat tahun. Gambar itu saya ambil dari novelet Perancis karya Antoine de Saint-Axupery berjudul Le Petit Prince (Pangeran Kecil). Sekelebat gambar yang saya buat sekenanya itu adalah topi koboi dua dimensi dengan sudut pandang dari samping.

"Nak, tebak, ini gambar apa?" Saya mengetes. "Apa ya?" Dia mengucek-ucek matanya yang masih mengantuk, mendelik dan kemudian senyumnya merekah indah. "Dinosaurus sedang tidur, ya, yah?" Jawab anak saya spontan.

Saya lantas terkejut. Saya pikir dia akan menjawab itu topi koboi seperti yang saya inginkan. Atau, bisa jadi dia juga akan menjawab seperti yang kerap digambar tokoh Pangeran Kecil, yakni ular Boa yang menelan gajah. Ternyata dia punya jawaban lain!

Dari jawaban dia, ingatan saya terlempar jauh ke zaman Yunani kuno saat Daedalus hidup. Daedalus merasa cemas dengan imajinasi liar anaknya, Icarus. Icarus ingin bisa terbang, tapi Daedalus takut keinginannya itu justru membunuh anaknya.

Icarus tetap bersikeras ingin mewujudkan imajinasinya. Mau tak mau sebagai ayah, Daedalus yang seorang arsitek itu, ikut membantu cita-cita sang anak. Icarus berhasil membuat sayap dan bisa terbang.

Betapa girang ayahnya melihat pencapaian itu. Tapi, ada saja hal yang terlupakan. Keduanya tak memperhitungkan panas matahari. Saking tingginya terbang, sayap yang merentang di badan Icarus meleleh karena terbuat dari lilin. Icarus pun terjun bebas.

Saya berhenti sampai di situ. Mungkin, Bapak Jokowi punya kecemasan yang sama terhadap tiga anak Bapak saat masih kecil. Terutama dengan imajinasi mereka yang kerap tak terkontrol. Surat yang saya buat ini merupakan buah dari kecemasan itu. Saya khawatir tak bisa memfasilitasi imajinasi anak saya yang liar dan penuh kejutan itu. Pun demikian dengan puluhan juta anak lain yang imajinasinya tak kalah.

Pendidikan saat ini tak memberikan ruang amat luas terhadap imajinasi anak. Pelajaran yang diberikan guru melulu bersifat didaktis. Anak harus menyesuaikan imajinasinya dengan logika guru. Logika orang dewasa. Pelan-pelan imajinasi mereka mengering dan tertiup angin. Berganti dengan logika orang dewasa yang penuh perhitungan, alih-alih pragmatis. Kering.

Saya amat cemas ketika imajinasi mereka sudah terpenjara, maka persoalan-persoalan yang dihadapi orang dewasa saat ini diturunkan kepada anak-anak mereka. Negeri ini semakin miskin imajinasi. Itu artinya tak ada terobosan untuk membangun Indonesia di masa mendatang. Kita akan tertinggal jika sumber daya imajinasi tak tergali.

Jika Bapak menjadi presiden, kira-kira apakah Bapak akan membebaskan imajinasi anak-anak saya dan jutaan anak-anak sebaya? Saya berharap begitu. Saya juga amat berharap guru yang mengajar di sekolah tak terjebak dengan rutinitas kerja kantoran.

Saya pun berharap Bapak bisa menggugah guru untuk sadar bahwa mereka adalah para penggiring imajinasi yang mengantarkan anak didiknya merealisasikan imajinasi itu. Seperti Deadalus yang membimbing Icarus untuk berani mewujudkan imajinasinya. Walaupun berakhir tragis, namun imajinasinya sampai sekarang bisa membuat orang-orang terinspirasi. Pesawat terbang berseliweran di mana-mana.

Ups..

Terlalu bersemangat saya menulis hingga lupa memperkenalkan diri. Saya Wandi Yusuf, 31 tahun. Ayah dari dua anak lucu berumur nyaris empat tahun dan berumur nyaris dua tahun. Istri saya ibu rumah tangga yang hidupnya dia curahkan untuk bermain dengan dua anak kami.

Untuk menambal kebutuhan rumah tangga, istri saya juga kerap menulis artikel dan dikirimkan ke media. Selebihnya, tugas utama mencari nafkah ada di pundak saya. Sesekali, saya juga ikut nimbrung bermain bersama anak-anak.

Pak Joko, sebagai orang dewasa saya juga kerap berimajinasi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Semoga ketika saya bercerita soal ini Bapak tak bosan. Maklum, ini soal dapur dan mungkin sudah menjadi curhatan banyak orang dewasa seperti saya kepada Bapak.

Gaji saya sebagai buruh, pas-pasan. Pas untuk kebutuhan sehari-hari yang rata-rata Rp50 ribu. Untuk ukuran Solo, Jawa Tengah, mungkin angka itu termasuk besar. Bagi saya yang tinggal di Bogor, uang sejumlah itu hanya cukup untuk makan tiga kali sehari saya, istri dan dua anak saya. Saya juga bisa menabung sekitar 10 persen dari total gaji. Sebanyak 15 persen lainnya habis untuk keperluan transportasi dari rumah ke tempat kerja. Tak jarang saya membawa bekal ke kantor untuk menghemat pengeluaran.

Tapi, dalam tiga tahun ke depan mungkin uang sebesar itu tak akan cukup. Ini berdasarkan pengalaman lima tahun terakhir. Saya ambil contoh satu saja: harga beras. Dalam sebulan rata-rata mengalami kenaikan sebesar 5 persen. Belum lagi item bahan kebutuhan pokok lainnya.

Dalam sehari setidaknya kita butuh sembilan item yang kerap disingkat sembako atau sembilan bahan pokok itu. Jika masing-masing bahan itu naik sekitar lima persen saja, sudah berapa persen kenaikan dalam setahunnya.

Gaji saya rata-rata hanya naik 7 persen pertahun. Dan itu tak cukup untuk mengejar kenaikan sembako yang menjadi sumber energi saya, istri dan kedua anak saya. Belum lagi menjelang hari raya, harga bahan pokok seperti ditendang sekuat tenaga oleh Cristiano Ronaldo: melambung tinggi. Dan lagi, anak saya masih dalam tahap bertumbuh dan membutuhkan nutrisi yang lengkap untuk kesehatan otaknya.

Walhasil, saya harus bisa mengelola uang layaknya tupai yang lincah meniti reranting agar tak jatuh miskin. Sambil terus memutar ulang celoteh Mario Teguh agar saya punya kelapangan jiwa menghadapi ujian itu.

Dengan penghasilan sebesar itu, Bapak mungkin melihat saya masuk ke dalam kelas menengah yang nyaris merosot ke kelas bawah. Karena, menurut Bank Dunia, masyarakat kategori miskin berpenghasilan di bawah $2 perhari. Kalau dirupiahkan setengah dari penghasilan saya saat ini. Di Indonesia, masih puluhan juta orang yang memiliki penghasilan sebesar itu.

Nah, saya saja yang berada pada level menengah (ke bawah) terancam terdegradasi menjadi masyarakat miskin hanya dalam hitungan dua atau tiga tahun, bagaimana dengan yang sudah berkategori miskin absolut.

Ini logika sederhana, tapi memang seperti itulah kebutuhan sederhana kami. Persoalan yang juga diderita puluhan juta keluarga di negeri Indonesia hebat ini. Dan logika sederhana ini tak pernah terjawab oleh pemerintah saat ini.

Pemerintahan sekarang hanya mengurus angka-angka rumit dan menyimpulkan bahwa angka kelas menengah semakin besar. Padahal, angka kemisikinan juga semakin membengkak. Inflasi semakin tinggi. Gaji tinggi pun tetap saja tak membuat kita semakin sejahtera karena harga barang juga mengejar penghasilan kita. Semustahil menangkap bayangan sendiri.

Saya berharap Bapak bisa menyelesaikan persoalan yang sederhana ini. Urusan dapur memang terkadang adalah urusan pribadi masing-masing. Siapa rajin dia pasti pantang miskin. Siapa bekerja keras rejeki datang dengan deras.

Tapi ingat, kesempatan bagus tak selalu didapat setiap masyarakat. Dan menurut saya, pemerintahlah yang memiliki kewenangan untuk mendistribusikan kesempatan itu agar merata diterima setiap warga yang ingin bekerja keras. Saya berharap Pak Jokowi bisa menangkap logika saya.

Pak Joko, saya adalah warga komuter yang tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta. Setiap hari naik kereta listrik sambil berdesak-desakan selama 1,5 jam. Terkadang, waktu tempuh semakin panjang jika ada gangguan teknis maupun nonteknis.

Di negara mana pun, saya sadar bahwa kereta listik tak pernah sepi penumpang. Tak terkecuali di negara maju macam Jepang dan Korea Selatan. Di kedua negara itu, kereta listrik menjadi primadona dan para penumpang selalu berjejalan. Namun, dalam setahun, di Jepang misalnya, keterlambatan kurang dari satu menit. Kalau keterlambatannya sebatas itu, tak masalah saya berdesak-desakan di dalamnya. Saya akan dengan mudah mengatur waktu agar tak terlambat masuk kantor.

Pasalnya, di Indonesia, kereta listrik tak seperti Merpati. Janjinya seperti politisi. Di Jabodetabek saja yang paling modern sistem kereta listriknya, keterlambatan selalu terjadi. Pada jam-jam sibuk penumpang pasti sudah muak dengan permintaan maaf operator karena kereta tak berjalan sesuai jadwal.

Seperti apa Bapak akan membenahi sistem transportasi massal? Yang saya ceritakan baru satu moda transportasi. Belum lagi transportasi massal yang lain seperti transportasi udara dan laut. Batas harga tinggi pesawat terbang sudah biasa dilanggar ketika hari libur nasional menjelang. Harga tiket bisa melambung hingga tiga kali lipat.

Mertua saya orang seberang. Bagaimana saya bisa mudik ke sana secara berkala jika harga tiket pesawat turun-naik drastis seperti main yoyo. Memilih menggunakan moda laut hanya menghabiskan waktu dengan biaya dan waktu lebih banyak. Di Jakarta saja, dalam kepemimpinan Bapak yang menginjak dua tahun, sistem transportasi masih belum optimal. Walaupun, saya salut Bapak bisa menghidupkan kembali megaproyek yang puluhan tahun koma.

Setiap orang pasti ingin meningkatkan status ekonominya. Kesejahteraan selalu menjadi jargon ampuh para calon pemimpin, terutama calon presiden seperti Bapak. Kesejahteraan pula yang menjadi tujuan utama negara ini berdiri.

Lalu, apa yang akan Bapak lakukan agar masyarakat mudah mencapai level sejahtera. Sementara para taipan terus meningkat cepat kekayaannya, kami yang ada di tengah bahkan di bawah harus terseok-seok mencapainya. Lagi-lagi kesempatan. Saya berharap pemerintah yang kelak Bapak pimpin (jika menang), bisa memberi kesempatan itu kepada kami. Kesempatan yang tertuang dalam kebijakan.

Maaf, Pak..

Saya mulai agak emosional kalau sudah berurusan dengan persoalan orang dewasa. Kesempatan saya mungkin kecil untuk mencapai kemakmuran yang paripurna. Imajinasi saya sebatas memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Sebagai penutup, saya ingin titipkan imajinasi anak-anak saya jika Bapak terpilih menjadi presiden. Saya tak mau mereka memikirkan sangu untuk sekadar hidup. Babi di hutan juga bisa, kata Buya Hamka.

Saya yakin konsep "Revolusi Mental" yang Bapak cetuskan tak lain adalah kebun imajinasi bagi anak-anak kami. Untuk urusan pupuk dan perawatan, itu adalah urusan kami. Sementara Bapak dan para guru, saya berharap, bisa menjaga kebun agar tetap lestari. Untuk Indonesia Hebat!

Tabik!



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun