Tadi siang saya update status di Facebook. “Satu hal yang membahagiakan saya adalah melihat anak-anak ini bahagia”. Kemudian saya upload sebuah foto 5 orang siswa saya yang sedang ceria bermain-main. Kemudian seorang teman comments status tersebut. “Anak-anak yang bahagia. Bagaimana ya menjadi orangtua yang bahagia?”. Tanpa berpikir panjang, saya comment lagi. “Sederhananya: Orangtua harus mengupayakan kebahagiaan anak-anaknya. Maka orantua akan turut bahagia.” Tapi kemudian, saya bertanya lagi pada diri saya sendiri. Apa benar saya sudah sungguh-sungguh mengupayakan kebahagiaan anank-anak? Hebat luar biasa jika itu sudah menjadi gaya hidup saya. Tapi sepertinya saya masih kerap kali gagal. Saya jadi teringat akan moment beberapa minggu setelah saya menikah bulan Juni 2008 yang lalu. Sewaktu gesekan karakter sudah mulai terjadi antara saya dengan istri saya saat itu. Dengan santainya saya membaca beberapa buku hingga lebih dari satu jam sementara istri saya sedang membereskan rumah dan melakukan pekerjaan memasak dan mencuci. Akhirnya dia jengkel juga. Selesai mengerjakan semuanya dia menunjukkan ekspresi wajah jikalau dia sedang sedih dan kecewa. “Tega kali papa membiarkan aku mengerjakan semuanya padahal papa asyik sendiri membaca”, demikian dia memulai keluhannya. Saya hanya terdiam mendengarkan setiap keluh kesah dan kejengkelannya. Kemudian saya minta maaf. Dia kembali mempertegas bagaimana kami selanjutnya dalam komunikasi suami istri. “Pa, Kita kan masih baru menikah, banyak hal yang masih harus kita pelajari.” Setelah percakapan panjang akhirnya kami saling memaafkan. Melalui moment konflik itu akhirnya kami membuat beberapa kesepakatan: Yang pertama: Kami harus saling membantu dalam melaksanakan tugas pekerjaan maupun tugas-tugas rumah. Yang kedua: Harus inisiatif memulai komunikasi ketika terjadi kesalahpahaman. Yang ketiga dan yang terutama: Kami harus saling berlomba membahagiakan. Saya harus berjuang sungguh-sungguh membahagiakan dia. Dan sebaliknya dia harus berjuang keras membahagiakan saya. Karena sesungguhnya ketika kami sama-sama berupaya membahagiakan pasangan sebenarnya yang bahagia itu adalah kami berdua. Dan syukurlah metode itu sangat mujarab. Berusaha Membahagiakan atau Menuntut dibahagiakan? Kerapkali kita memnuntut dibahagiakan orang lain. Bukankah seharusnya kita berusaha membahagiakan orang lain? Idealnya setiap insan berlomba-lomba berbuat kebajikan pada semua orang. Say NO to WAR! Ketika semua orang berjuang berbuat baik pada orang lain bisa dipastikan tidak akan ada kejahatan.
Pergilah temui seseorang. Senyumlah padanya. Jabat tangannya. Ekspresikanlah rasa simpati. Taburlah kebaikan. Niscaya dunia akan damai. Dan semua orang akan berbahagia.www.wanditambunan.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H