Mohon tunggu...
wandi teaches
wandi teaches Mohon Tunggu... -

Mengelola Kursus bahasa Inggris dan Matematika, Sangat suka membaca dan menulis. Suka mengamati kehidupan sehari-hari dan menuliskan sesuatu tentangnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rahasia Hidup Bahagia

3 Oktober 2011   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Students @ the ark school Sidikalang

Tadi siang saya update status di Facebook. “Satu hal yang membahagiakan saya adalah melihat anak-anak ini bahagia”. Kemudian saya upload sebuah foto 5 orang siswa saya yang sedang ceria bermain-main. Kemudian seorang teman comments status tersebut. “Anak-anak yang bahagia. Bagaimana ya menjadi orangtua yang bahagia?”. Tanpa berpikir panjang, saya comment lagi. “Sederhananya: Orangtua harus mengupayakan kebahagiaan anak-anaknya. Maka orantua akan turut bahagia.” Tapi kemudian, saya bertanya lagi pada diri saya sendiri. Apa benar saya sudah sungguh-sungguh mengupayakan kebahagiaan anank-anak? Hebat luar biasa jika itu sudah menjadi gaya hidup saya. Tapi sepertinya saya masih kerap kali gagal. Saya jadi teringat akan moment beberapa minggu setelah saya menikah bulan Juni 2008 yang lalu. Sewaktu gesekan karakter sudah mulai terjadi antara saya dengan istri saya saat itu. Dengan santainya saya membaca beberapa buku hingga lebih dari satu jam sementara istri saya sedang membereskan rumah dan melakukan pekerjaan memasak dan mencuci. Akhirnya dia jengkel juga. Selesai mengerjakan semuanya dia menunjukkan ekspresi wajah jikalau dia sedang sedih dan kecewa. “Tega kali papa membiarkan aku mengerjakan semuanya padahal papa asyik sendiri membaca”, demikian dia memulai keluhannya. Saya hanya terdiam mendengarkan setiap keluh kesah dan kejengkelannya. Kemudian saya minta maaf. Dia kembali mempertegas bagaimana kami selanjutnya dalam komunikasi suami istri. “Pa, Kita kan masih baru menikah, banyak hal yang masih harus kita pelajari.” Setelah percakapan panjang akhirnya kami saling memaafkan. Melalui moment konflik itu akhirnya kami membuat beberapa kesepakatan: Yang pertama: Kami harus saling membantu dalam melaksanakan tugas pekerjaan maupun tugas-tugas rumah. Yang kedua: Harus inisiatif memulai komunikasi ketika terjadi kesalahpahaman. Yang ketiga dan yang terutama: Kami harus saling berlomba membahagiakan. Saya harus berjuang sungguh-sungguh membahagiakan dia. Dan sebaliknya dia harus berjuang keras membahagiakan saya. Karena sesungguhnya ketika kami sama-sama berupaya membahagiakan pasangan sebenarnya yang bahagia itu adalah kami berdua. Dan syukurlah metode itu sangat mujarab. Berusaha Membahagiakan atau Menuntut dibahagiakan? Kerapkali kita memnuntut dibahagiakan orang lain. Bukankah seharusnya kita berusaha membahagiakan orang lain? Idealnya setiap insan berlomba-lomba berbuat kebajikan pada semua orang. Say NO to WAR! Ketika semua orang berjuang berbuat baik pada orang lain bisa dipastikan tidak akan ada kejahatan.

Pergilah temui seseorang. Senyumlah padanya. Jabat tangannya. Ekspresikanlah rasa simpati. Taburlah kebaikan. Niscaya dunia akan damai. Dan semua orang akan berbahagia.

www.wanditambunan.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun