Mohon tunggu...
wan di
wan di Mohon Tunggu... karyawan swasta -

bahwa engkau harus terus berjuang dan berkata: inilah aku, lalu engkau tak membiarkan apapun melukai mimpi-mimpi yang kau bangun, bahkan sedikitpun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka yang Makin Dalam (2)

16 Juni 2016   13:48 Diperbarui: 16 Juni 2016   13:58 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan makin deras, makin ribut. Rembesan air mulai masuk ke sela sela lubang di atap rumah ini. airnya jatuh ke beberapa titik, membentuk sketsa di lantai semen. kenangan timbul tenggelam di kamar ini. tetesan air hujan ini mengingatkan ku pada lompatan ikan ikan kecil di sawah. kenangan indah yang masih tersisa di kepala. aku menikmati pemandangan itu beberapa saat, terlena oleh memori yang tiba tiba membuatku tersedu sedan. entah mengapa harus menangis? entah mengapa harus ada air mata? 

apa yang ku tangisi sebetulnya? kenangan melankoli tentang sawah sawah yang telah musnah itu atau kegagalanku sebagai sesuatu yang berguna? apa yang sebenarnya ku sesali hingga air mata ini harus keluar? kenangan indah yang membangkai itu atau tetesan air hujan ini yang memahat kemiskinan ku? ku usap air mata yang meleleh aneh di pipi. lalu mereguk teh dingin yang masih sisa separo. hanya ingin mencari alasan agar ada sensasi lain yang terasa di kepala, barangkali fokus ku bisa berubah.

tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. pikiran pikiran ku tentang yang lalu hilir mudik menikam kepala. aku teringat jalan depan rumah ku yang panjang dan berlobang. aku teringat kali depan rumah ku yang hitam legam, teringat tentang rumah ku yang tergusur. oh, ingatan ingatan yang justru menambah sakit kepala dan hati ku. aku duduk menekur, menggeleng gelengkan kepala sesaat, mengusir kenangan aneh yang datang bergelombang. 

aku teringat sebuah buku yang belum selesai ku baca. ku ambil saja sebagai pelepas rasa lelahku. barangkali saja semua pikiran ini akan kembali normal. normal seperti adanya, apa adanya. tetapi buku ini sama sekali tak menarik, hanya teori tentang pembuatan skenario. bah, tambah suntuk saja kepala ini. ku ambil sebatang rokok, menyalakannya dengan tergesa. menghirup asapnya dalam dalam lalu mengeluarkanya dengan pelan. sensasi nikotin memenuhi kepala ku, rasa nyaman membekap. ada sesuatu yang terlepas, ada sesuatu yang terangkat.

hujan masih menderap di luar, tetapi sudah tak lagi deras. kaleng kaleng bekas yang ku pakai sebagai penampung air hujan pun sudah agak penuh. aku berjalan ke jendela. menatap ujung horizon dengan cemas yang berbeda. apakah hujan akan benar benar berhenti? musim hujan begini sama sekali tak bisa percaya dengan gejala alam. hujan datang dan pergi seenaknya saja. tiba tiba begitu rupa, berhenti dan turun sekenanya.

aku mencemaskan dirimu yang berlari menerabas hujan. pasti kau basah kuyup, kedinginan, dan lapar. ke mana kau akan berteduh? kemana kau akan makan? apakah kau ada uang? apakah kau punya teman? asyik melamun memikirkan mu, tiba tiba pintu depan diketuk seseorang. ah tamu, bisikku. siapa ya yang datang di saat begini rupa? tetangga samping yang kehabisan garam? atau tetangga depan yang minta korek api? 

aku membuka gorden sekedar memastikan siapa tamu ku itu. melongok sebentar kelihatannya bukan tetangga tetangga usilku itu. tetapi bukan juga temanku. siapa dia. perempuan, 35 tahun, berbaju sopan, menggigil kedinginan. aku membuka pintu dengan ragu. menduga perempuan ini salah amat. angin dingin masuk dengan cepat ketika pintu ku buka, secepat itu pula perempuan itu loncat memasuki rumahku. aku hanya bisa terpana, bagaimana bisa ia masuk ke rumah orang yang belum ia kenal dengan seenaknya begitu. rasanya ingin marah tetapi melihatnya senyum sambil menahan gigil tubuhnya, tak tega aku memarahinya.

aku mengambilkannya handuk, satu stel pakaian, dan segelas teh hangat. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun