Bangsa ini memang sedang berduka. Meskipun begitu, pemuda sebagai tunas harapan bangsanya tidaklah larut dalam kedukaan itu. Ya, itu sudah pasti, karena bagaimana bangsa ini bisa menjadi bangsa yang besar, jika para pemudanya saja sudah lembek dan melempem. Secara seremonial, peringatan Sumpah Pemuda memang jatuh pada 28 Oktober kemarin. Namun, karena bangsa Indonesia masih dalam suasana yang dirundung kesedihan dan kemurungun yang panjang hingga hari ini, tak salah rasa-rasanya jika tulisan ini dihadirkan sebagai sumbangsih sederhana peran pemuda saat ini, pun halnya, penulis yang juga seorang pemuda terus berusaha membangun dan menciptakan kemajuan bagi dirinya di tengah -tengah persoalan bangsanya sangat kompleks. Begitulah. Pemuda hari ini belumlah pemuda sebagaimana yang diharapkan para pendiri bangsa ini(founding fathers and mothers). Namun, pemuda hari ini pun bukanlah pemuda yang tidak bisa diharapkan. Dengan beragam profesi dan keterampilan yang dimiliki, pemuda hari ini menunjukkan dirinya dan membuktikan dirinya bagi masyarakatnya. Menteri Pendidikan Nasional, Bapak M Nuh, telah membuat terobosan baru untuk menghindari pengangguran terbuka dan terselubung yang menghinggapi kalangan sarjana yang baru lulus. Mereka diturunkan ke desa-desa. Berbaur dan membangun masyarakatnya langsung ke jantungnya yang terdalam masyarakat Indonesia. [caption id="attachment_307257" align="aligncenter" width="300" caption="Bersatulah Para Pemuda Masa Kini!"][/caption]
Sedikit menilik sejarah, dari bukunya Parakitri Tahi Simbolon Menjadi Indonesia, didapati bahwa pada Oktober 1928, organisasi dan kegiatan -kegiatan budaya juga politik ke arah persatuan Indonesia bergabung secara resmi pada kongres pemuda yang diadakan di Batavia. Muhammad Yamin menuliskan sajaknya yang dterbitkan pada 1929 dengan judul Indonesia Tumpah Darahku. Padahal, sebelumnya, Yamn amat bangga dengan kedaerahan yang melakat dalam dirinya. Ya, Sumpah Pemuda telah merubah pandangan sempit Yamin saat itu. Sidang 28 Oktober itu berlangsung pada minggu pagi dii Gedung "Oost Java de Konigsplein Noord" (Sekarang:jalan Medan Merdeka Utara) dan malamnya di Gedung klub Indonesia (Sekarang: Jl Kramat Raya 106). Sidang sepagian itu berkisar pada pendidikan dan peranannya dalam mewujudkan kebangsaan. Sedangkan pada malam harinya sidang itu membahas pengembangan persatuan dan cinta tanah air lewat kegiatan kepanduan (padvinderij). Pada malam hari itulah, mendadak ada acara di luar jadwal kongres yakni ketika harus memperdengarkan lagu ciptaan seorang pemuda yang bekerja sebagai wartawan Sin Po ; Wage Rudolf Supratman dengan lagu Indonesia Raya-nya. Konon, WR. Supratman membawakan lagu ciptaannya itu dengan sayatan biola yang khusyuk dan bergelora dalam dada. Dolly Salim yang merupakan putri Haji Agus Salim, mengiringinya dengan kelembutan jemari tangannya pada tuts-tuts piano yang menenangkan hati. Walaupun hanya alunan instrumentalia tanpa lirik, lagu Indonesia Raya nampak mendatangkan rasa hikmat dan khusyuk pada hadirin sekaliannya. Ya, kongres berhasil untuk semakin menegaskan perlunya persatuan pemuda menuju Indonesia merdeka. Penegasan ini dilakukan dengan sangat khidmat dan diungkapkan sebagai sumpah. Di dalam Sumpah Pemudanya kongres menyetujui tiga pengakuan: satu tanah air, Indonesia; satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa, Bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H