Barangkali, karena harapan publik yang terlalu tinggi kepada seorang Muhamad Nazaruddin, publik pun kembali harus menelan pil pahitnya: Nazaruddin bungkam. Barangkali karena situasi dan kondisi yang silang sengkarut dengan pelbagai persoalan, Nazaruddin justru serasa "diistimewakan". Ah, politik selalu begitu. Selepas isu yang satu muncul isu yang lainnya. Begitu terus. Nazaruddin oh Nazaruddin...
[caption id="attachment_131280" align="aligncenter" width="200" caption="negeri pers dan demokrasi(google images)"][/caption] Nasib Nazaruddin yang selalu jadi bahan pergunjingan itu memang sudah menjadi konsumsi publik yang paling laris. Berita Nazaruddin sejak ditetapkan sebagai tersangka interpol hingga kembali ke negerinya sendiri tak pernah surut larisnya dari sehari ke sehari. Model pemberitaan macam ini seolah hendak "menguliti" Nazaruddin habis-habisan. Tak heran, OC Kaligis - pengacara Nazaruddin yang sah - menganggap prosedur penangkapan dan pergunjingan yang ada untuk Nazaruddin sudah "kelewat" melanggar hak asasi manusia. Pers pun dinilai kembali berlebihan dalam "drama penangkapan" Nazaruddin. Pers memang selalu menjadi "watch dog" (anjing penjaga) bagi publik yang membutuhkan. Pers, meskipun begitu, juga perlu menjaga norma-norma dan kode etik yang berlaku. Selalu didengung-dengungkan kepada kita  pers adalah pilar ke empat kekuasaan negara(The Fourth Power). Setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, perslah yang jadi kekuatan bagi negara. Pers, karena harapan yang dibubungkan kepadanya begitu tinggi, bisa kebablasan dalam pemberitaannya. Pers mestilah arif dan bijaksana menyikapi kondisi Nazaruddin. Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI