Sekarang ini marak penggunaan istilah Hubungan Tanpa Status (HTS), atau ada juga yang menganggap tidak menjalani suatu hubungan, kendati pada praktiknya sama-sama saja.Â
Hubungan tanpa status ini dianggap sebagai sebuah bentuk kedewasaan, atau orang yang merasa sudah dewasa menganggap hubungan itu tidak harus ada statusnya. Memang fenomena ini marak terjadi dikalangan orang-orang dewasa seperti mahasiswa, atau anak-anak SMA yang pola pikirnya sudah sedikit dewasa.
Namun penggunaan istilah tersebut kini semakin membias, bukan lagi berdasar pada pemikiran, melainkan sudah menjadi semacam budaya yang populer (pop culture). Sehingga orang akhirnya hanya mengikuti trend saja, karena menganggap hubungan tanpa status itu elegan.
Jadi, orang bisa saling terkoneksi atau membangun koneksi perasaan tanpa harus "nembak" dulu. Secara umum, mereka berdalih bahwa dengan menjalin hubungan tanpa status, satu sama lain tidak akan merasa terikat. Sehingga satu sama lain memiliki hak untuk mengekspresikan kebebasannya tanpa ada protektivitas. Tidak seperti dalam pacaran yang terkesan kaku dan kadang protektif, bahkan over protective.
Sebenarnya, menjalani hubungan tanpa status juga adalah bagian dari kesepakatan atau komitmen antara dua pihak untuk tidak melegitimasi status tertentu. Hanya saja ada yang eksklusif dan inklusif.
Eksklusif artinya ada kesepakatan khusus dalam hubungan tersebut, entah itu ada targetan untuk memperjuangkan hubungan tersebut sampai ke jenjang yang lebih serius, atau hal lainnya yang lebih privasi. Intinya, eksklusif ini tidak jauh berbeda dengan pacaran seperti pada umumnya, ada ketentuan-ketentuan khusus yang mereka bangun sebagai sebuah komitmen. Sedangkan inklusif adalah kebalikannya, dia lebih freedom dan memungkinkan satu sama lain untuk membuka kesempatan bagi orang baru.
Hubungan tanpa status yang inklusif, selaras dengan nilai-nilai filosofisnya Jean Paul Sartre. Filsuf eksistensialis Prancis itu berpendapat bahwa betapa pentingnya otonomi individu dalam hubungan, karena ketergantungan yang berlebihan atau kehilangan diri sendiri dapat menghancurkan hubungan tersebut. Hal itu senada dengan Simone de Beauvoir, seorang filsuf feminis Prancis yang menjunjung tinggi kesetaraan dan mengkritik struktur patriarki yang membatasi kebebasan dan otonomi wanita dalam hubungan.
Namun berbeda dengan pandangan Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman abad ke-19 ini memiliki pandangan yang cukup kompleks tentang cinta dan hubungan manusia. Nietzsche mengkritik konsep cinta yang romantis dan menganggapnya sebagai ilusi. Menurutnya, hubungan manusia seringkali dipenuhi dengan keinginan kekuasaan dan dorongan egoistik, yang dapat menghasilkan konflik dan penderitaan.
Jika kita tarik benang merah dari pandangan ketiga filsuf di atas, bahwa memang faktor egoistik yang melekat pada individu menjadi persoalan mendasar, khususnya dalam konteks hubungan. Ego itu sesuatu yang inheren dalam individu yang sukar dipisahkan. Sehingga tendensi dominasi itu sangat memungkinkan terjadi, kendati berbagai macam dalih kesetaraan dan kebebasan terus dipropagandakan.
Hubungan tanpa status, bahkan yang inklusif sekalipun tidak dapat menghindar dari yang namanya ego. Sebab secara hakikat, terbangun atau terbentuknya hubungan tersebut adalah manifestasi dari ego itu sendiri.
"Memang tidak ada status yang mengindikasikan sebuah ikatan, tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa pada dasarnya perasaan itu saling terikat. Sehingga ending dari sebuah 'bangunan' tanpa status tersebut hanya ada dua kemungkinan : bahagia, atau berduka."