Dalam negara demokrasi, istilah "watchdog" ini populer digunakan sebagai metafor yang perannya sangat penting dalam menjaga demokrasi dari praktik-praktik yang menyimpang dan merusak.
Istilah "watchdog" sendiri pertama kali muncul pada awal abad ke-20, terutama dalam industri teknologi dan pemerintahan. Secara umum, "watchdog" mengacu pada entitas atau mekanisme yang bertindak sebagai pengawas atau penjaga terhadap kegiatan, praktik, atau organisasi tertentu.
Asal usul istilah "watchdog" dapat kita telusuri dari zaman Eropa abad pertengahan, ketika anjing-anjing peliharaan khusus dilatih untuk mengawasi atau menjaga properti seseorang. Secara metaforis, istilah ini mulai digunakan dalam konteks lain di luar dunia binatang. Seperti halnya dalam jurnalisme, dimana salah satu fungsi pers, wartawan, atau media massa adalah sebagai "anjing penjaga" yang berperan untuk mengawasi atau mengkritisi kinerja pemerintah, pejabat, dan masyarakat.
Kali ini, menjelang kontestasi pemilu 2024, tidak sedikit media atau bahkan Lembaga legislatif yang kurang "menggonggong" saat demokrasi terancam. Salah satunya adalah fenomena "cawe-cawe" yang rentan mencederai demokrasi. Kendati sah-sah saja Presiden melakukan endorsement, sepertimana Obama mendukung Hillary Clinton di Amerika Serikat. Tetapi tetap harus diperingatkan dan diawasi agar tidak melampaui batas wajar.
Saya pikir, selain Rocky Gerung, Denny Indrayana adalah salah satu yang paling keras "menggonggong" saat ini, tidak hanya pada persoalan "cawe-cawe" saja, melainkan pada hal lain seperti gugatan sistem proporsional tertutup (sebelum disahkan tetap proporsional terbuka), dan upaya gugatan KSP Moeldoko terhadap partai Demokrat.
Bahkan baru-baru ini, melalui live streaming di facebooknya, Denny kembali mengguncang jagad maya dan demokrasi dengan melakukan aksi demostrasi di Federations Squer, Melbourne, Australia. Aksi itu dilakukannya satu hari setelah kedatangan Presiden Jokowi ke Australia. Dalam aksinya beliau menggunakan kaos bergambar aktivis HAM, yaitu munir. Denny memperingatkan agar Presiden Jokowi menghentikan "cawe-cawe" politik, menghentikan Moeldoko yang berupaya "membegal" partai Demokrat, menghentikan dinasti politik dan bisnis keluarganya.
Memang sudah seharusnya ada yang "menggonggongi" negara agar tidak keluar dari koridor demokrasi. Mengingat demokrasi adalah hasil perjuangan bersama yang telah menguras energi bangsa ini. Sebagai produk reformasi 98', menjaga, memastikan, dan meningkatkan kualitas iklim demokrasi adalah tanggung jawab bersama, baik dilakukan oleh organisasi maupun perorangan.
Selain itu, dengan "menggonggongi" negara, kita berupaya agar tidak terjadi monopolistikasi yang jelas tidak sehat bagi demokrasi. Sebab kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di kalangan elit-elit politik atau negara. Secara esensial, menjadi "watchdog" dalam demokrasi adalah bagian dari bentuk partisipasi politik. Sehingga siapapun secara sukarela sangat boleh untuk melakukannya, dan penguasa tidak boleh mengintervensi atau melakukan"penjegalan" terhadap segala bentuk kritisisme yang substantif. Sebab itu adalah bagian kebebasan berbicara atau berpendapat yang merupakan salah satu hal yang prinsipil dalam demokrasi.
Sehingga menurut saya, Denny Indrayana layak dikatakan sebagai "watchdog" yang sedang mengawasi sekaligus memperingatkan penguasa agar tidak melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dan beliau telah memberikan diskursus penting yang merangsang publik untuk lebih kritis dalam memandang dan menyikapi persolan politik yang sedang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H