[caption id="attachment_332164" align="aligncenter" width="574" caption="Kondisi Lumpur Lapindo Sidoarjo di Jawa Timur Juli 2006. Pakar memprediksi tahun 2017 semburan lumpur melemah dan berhenti | Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com) "][/caption]
Akhir pekan lalu untuk urusan pribadi saya pulang kampung ke Surabaya. Untuk kemudahan mobilitas, saya menyewa mobil dari sebuah perusahaan rental. Dalam perjalanan dari Bandara, saya iseng membuka pembicaraan dengan sopir bernama Pak Wawan.
“Tinggal dimana Pak?”
“Saya di Porong,” jawab pak Wawan.
“Lho kena lumpur Lapindo dong?”
“Wah mboten (tidak) pak. Saya pinginnya kena.”
“Lho kok malah pingin kena? Apa maksudnya?”.
“Yang kena lumpur Lapindo itu hidupnya sekarang enak pak. Punya rumah baru.
Bisa beli sepeda motor dan punya banyak tabungan,” jawab Wawan lagi.
Saya sungguh kaget dengan jawaban Wawan. Sebagai orang asli Surabaya tapi sudah lama tinggal di Jakarta, saya selalu mengikuti berita seputar Lumpur Lapindo. Saya membaca di media dan juga mendengar cerita dari teman-teman di Surabaya, akibat luapan lumpur di perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie itu menimbulkan petaka dan derita yang luar biasa bagi warga Sidoardjo. Soal ini juga belakangan banyak disebut-sebut menjadi batu sandungan besar bagi pencapresan Ical.
Karena penasaran saya tanya lagi pak Wawan.
“Ah yang bener pak. Lha itu yang rame-rame demo itu bagaimana,”
“Oh kalau itu politik pak. Cuma beberapa orang saja. Tapi jadi rame karena wartawan,” jawab Wawan.
Obrolan saya dengan Wawan membuat saya jadi berpikir, apa sebenarnya yang terjadi di Sidoarjo ini. Yang saya baca berita dan tonton di televisi, ribuan orang harus pindah dari rumahnya karena luapan lumpur. Berbulan-bulan mereka harus terkatung-katung di pengungsian, karena ketidakjelasan ganti rugi. Mereka harus sering turun ke jalan berunjukrasa untuk menuntut hak mereka.
Sebaliknya keluarga Bakrie mengatakan mereka telah mengeluarkan uang sebanyak Rp 9 trilyun dan membeli lahan dan rumah warga 10-20 kali lipat nilai jual obyek pajak (NJOP). Dari total 13 warga yang berada di area terdampak sudah 10 ribu orang yang diganti. Sisanya 3 ribu orang sudah dibayar 20 persen.
Karena penasaran, setelah beberapa urusan beres, sebelum kembali ke Jakarta saya minta diantar saudara melihat ke areal semburan lumpur. Kebetulan lokasi terhitung tidak jauh dari Bandara. Walaupun sering ke Surabaya belum sekalipun saya sempat melihat langsung dampak dari semburan itu.
Lokasi semburan itu kini sudah dikelilingi tanggul yang cukup tinggi. Menurut seorang warga luasnya mencapai 1.000 hektar. Di beberapa tempat banyak terpasang spanduk caleg sisa Pileg lalu. Ada juga beberapa tulisan “Lokasi Wisata Lumpur Lapindo” saya hanya senyum-senyum membaca tulisan tersebut. Memang sekarang kawasan ini telah menjadi salah satu “tujuan wisata” yang menarik. Tak banyak yang saya bisa lihat disini kecuali lautan lumpur. Namun di beberapa titik masih terlihat beberapa atap bangunan yang terndam lumpur dan beberapa pekerja yang menggunakan alat berat.
Puas melihat lokasi semburan, saya menuju perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV). Kawasan ini sengaja dibangun oleh Group Bakrie untuk menampung warga korban semburan lumpur. Lokasinya mudah dijangkau karena berada di mulut tol di kota Sidoarjo. Begitu masuk ke pintu gerbangnya, saya sangat kaget. Kawasan ini sungguh megah dan tertata asri seperti kebanyakan perumahan real estate papan atas. “Wah ini jauh lebih bagus dari komplek pemukiman saya,” ujar saya kepada saudara yang mengantar.
Saya amati rumah-rumah berjejer rapi dalam ukuran sedang, namun halamannya lumayan luas. Di dekat pintu masuk malah ada rumah yang sangat megah.Karena menjelang waktu salat dhuhur, saya mencari masjid di komplek tersebut. Ada beberapa orang jamaah dan saya langsung bermakmum. Usai shalat saya bersalaman dengan sang imam, seorang lelaki yang saya perkirakan usianya sekitar 60an tahun.
Pak Haji Warto pria yang menjadi imam salat dhuhur tadi mengajak saya mampir ke rumahnya di Blok A tak jauh dari masjid. Dia adalah salah satu korban semburan lumpur. Sementara Blok A adalah hunian awal relokasi. Karena penasaran saya tanya benarkah korban lumpur Lapindo sekarang hidup lebih enak? “Hidup ini harus kita syukuri. Kalau gak pernah bersyukur ya akan kurang terus,” kata pria yang suka bercanda ini.
Pak Haji Warto bercerita. Dia dulu memiliki lahan seluas 1.000 meter dan bangunan 300 meter. Oleh Lapindo dia diberi 3 buah rumah tipe 36 dengan luas tanah 181 Meter. Saat itu setiap rumah dihargai Rp 86 juta rupiah, sangat murah dan jauh di bawah harga pasaran. Selain itu ia juga masih mempunyai uang sisa jual beli sebesar Rp 780 juta yang kemudian dibelikan tambak seluas 2.5 Ha.
“Sampean lihat sendiri sekarang saya enak tidak. Rumah saya halamannya luas. Malah kayak jenderal, wong ada yang menjaga,” katanya bercanda sambil menunjuk pos Satpam yang berada tak jauh dari rumahnya.
Hanya dalam waktu empat tahun nilai jual rumahnya yang sudah dibangun bertingkat harganya meningkat beberapa kali lipat. Diperkirakan sekarang harga rumahnya sekitar Rp 800-900 juta. Artinya sudah meningkat 10 kali lipat dibanding saat pembelian. Yang lebih fantastis tanah tambak yang dibelinya karena sekarang menjadi kawasan industri harganya telah meningkat berkali lipat.
“Sekarang kira-kira per meter harganya Rp 25 ribu. Jadi kalau 2.5 hektar, ya nilainya bisa sampai 6 milyar lebih,” ujarnya sambil tersenyum.
“Wah kalau begitu sampean bisa kawin lagi dong Pak Haji,” goda saya sambil tersenyum.
“Lho sampun (sudah) pak,”. Jawaban Pak haji Warto membuat membuat saya kaget. Ia kemudian menunjuk seorang wanita berkerudung yang berdiri tak jauh darinya dan sedang berkumpul bersama tetangga.
Menurut Warto ada beberapa blok perumahan di KNV yang diisi warga korban Lumpur Sidoarjo. Tapi tidak semua tinggal disitu. Banyak pula yang memilih menerima uang cash dan membeli rumah di tempat lain. Namun menurutnya tidak semua korban lumpur Lapindo yang nasibnya sebaik dia. Banyak yang tidak cermat menggunakan uang pengganti yang berkali lipat. “ Sehabis terima ganti rugi, mereka langsung ke Tretes dan Ndolly ,” ujarnya menyebut dua tempat pelacuran terkenal di Jawa Timur.
“Mereka foya-foya ndak karuan. Setelah duitnya habis, ikut teriak-teriak lagi,” ujar Warto yang mengaku bahwa sebelumnya dia juga sering unjukrasa menuntut ganti rugi. Namun berbeda dengan lainnya, Warto sering berdemo sendirian. Aksi uniknya sangat menarik media dan selalu mendapat liputan yang luas.
Pertemuan saya dengan pak Haji Warto membuat saya menjadi merenung. Terkadang benar apa yang dikatakan orang banyak, bahwa politik itu kejam. Kalau faktanya demikian mengapa keluarga Bakrie sekian tahun menjadi bulan-bulanan, hanya diam. Siapa yang sebenarnya yang dzolim dan didzolimi?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H