Mohon tunggu...
Wanda Opranata
Wanda Opranata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

✌🏻

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bungkamnya Negara-Negara Muslim: Ironi Solideritas Terhadap Penindasan Muslim Uighur di Xinjiang, China

26 Mei 2024   22:38 Diperbarui: 26 Mei 2024   23:35 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semenjak tahun 2017, diperkirakan sejumlah 1 juta orang yang berasal dari etnis Uighur yang bertempat tinggaldi Xinjiang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah China di kamp penampungan "re-education". Etnis Uighur  merupakan suku bangsa beragama islam resmi yang ada di China. Suku ini adalah keturunan dari suku kuno Huihe yang populasinya menyebar di Asia Tengah, Etnis ini menggunakan Bahasa Uighur dan beragama islam. Di China, keberadaan populasi suku Uighur juga tersebar di Kazakhastan, Kirgizstan, dan Uzbekistan. Etnis Uighur menjadi etnis utama yang memeluk agama islam di China Bersama dengan etnis Hui.

Apa yang melandasi kebijakan China di Xinjiang? Awal terjadinya konflik di Xinjiang karena adanya kemauan merdeka etnis Uighur terhadap pemerintah di China. Pemerintah China kerap bertindak tidak adil terhadap etnis Uighur, berbeda dengan ketika mereka memperlakukan Etnis Hui. Sebagai kaum minoritas, etnis Uighur menuntut keadilan dan hak-hak hidup mereka untuk diakui termasuk hak dasar mereka yang berkaitan dengan adanya kebebasan beragama. Akan tetapi, pemerintah China menolak dengan tegas dan malah melakukan tindakan agresif dengan menggunakan pendekatan militer. Akiat adanya diskriminasi yang dirasakan oleh etnis Uighur di Xinjiang, etnis Uighur melakukan berbagai aksi perlawanan sebagai tanggapan atas perlakuan dan penindasan yang mereka alami  dan dirasa sangat tidak adil serta merugikan etnis Uighur.  Pada tahun 2009 etnis Uighur terlibat bentrok dengan etnis Han setelah 2 pekerja yang berasal dari Etnis Uighur tewas di guandong, yang menyebabkan 197 orang tewas, lebih dari 1.600 terluka dan 718 orang ditahan. Akibat adanya bentrokan ini pemerintah China semakin keras pada etnis Uighur karena khawatir etnis Uighur akan berpotensi untuk menjadi teroris dan saparatis. Pemerintah China kemudian melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang-orang etnis Uighur di sebuah kamp penampungan yang dinamakan kamp "re-education". Pemerintah China mengatakan tujuan dari pembentukan kamp tersebut adalah guna menangkal sikap radikalisme dan terorisme di negara China, sehingga mereka memberikan pendidikan ulang kepada orang-orang termasuk yang beretnis Uighur.  Mereka ditahan, dipersekusi hingga didoktrin untuk setia pada Partai Komunis China. Para tahanan disiksa dengan dipukul, disengat listrik, bahkan dilarang tidur oleh Pasukan Militer. Selain itu, Etnis Uighur yang ditahan di kamp penampungan tersebut dipaksa dan dituntut untuk mempelajari sorakan dari partai komunis China serta dituntut untuk mempelajari bahasa resmi negara China yakni Bahasa mandarin. Sejumlah kebijakan dilakukan oleh pemerintah China untuk menghilangkan identitas bangsa Uighur seperti mengganti adzan dengan Bahasa China, Etnis Uighur dilarang menjalankan puasa ramadhan, dituntut untuk mempelajari nilai-nilai komunisme, melarang kegiatan keagamaan, dan melarang wanita muslim untuk menggunakan hijab dan cadar, serta melarang untuk menghubungi sanak keluarga dan kerabat. Para tahanan juga dikirim ke sebuah pabrik tekstil untuk bekerja sebagai buruh disana. Berbagai tindakan diskriminasi dan tindak kekerasan yang sudah termasuk ke dalam tindak kejahatan kemanusiaan, yang dimana telah melanggar kebebasan untuk hidup serta melanggar hak mendapat perlindungan keamanan. Dugaan pelanggaran HAM muncul namun China membantah dengan keras dugaan tersebut.

Banyak laporan mengenai penindasan terhadap etnis Uighur di Xinjiang, China, telah memicu keprihatinan global. Banyak negara Barat dan organisasi hak asasi manusia telah menyuarakan kecaman mereka, namun yang mengejutkan adalah minimnya respon dari negara-negara Islam di dunia. Diamnya negara-negara Islam terhadap penderitaan sesama Muslim Uighur menimbulkan pertanyaan serius tentang solidaritas dan prioritas mereka dalam isu hak asasi manusia. Beberapa dekade terakhir pemimpin muslim di dunia rajin adopsi moto solideritas transnasional yang pengimplementasiannya dapat kita lihat di Palestina, Kashmir hingga Rohingnya, namun pengimplementasian ini tidak nampak pada Etnis Uighur yang ada di China. Itu semua karena China merupakan mitra dagang utama bagi negara-negara beragama muslim di dunia, China bahkan melampaui Amerika Serikat dalam urusan jual beli dengan negara-negara muslim terlebih lagi setelah China meluncurkan jalur sutera versi baru. Kebijakan jalur sutera versi baru ini menyambungkan kepentingan ekonomi dan Pembangunan dari China ke banyak negara-negara di dunia, jalur sutera ini melewati dan melibatkan negara-negara dengan mayoritas beragama muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Iran sampai Turki. Banyak negara-negara di dunia termasuk negara-negara dengan mayoritas beragama muslim yang memilih untuk diam terhadap isu Etnis Uighur lantaran adanya diplomasi ekonomi dengan China, padahal dukungan negara-negara lain terutama negara-negara dengan umat beragama muslim sangat penting agar mendapatkan perhatian internasional. Berbagai laporan dan investigasi internasional telah mengungkapkan penderitaan yang dialami etnis Uighur di China, namun suara negara-negara Islam terhadap isu ini nyaris tak terdengar. Negara-negara Muslim yang bergantung secara ekonomi pada China memilih untuk tidak mengambil tindakan yang tegas terhadap masalah etnis Uighur, karena mereka tidak ingin mengganggu hubungan ekonomi yang signifikan dengan China.

Beberapa negara Islam, seperti Turki, telah mengalami perubahan sikap dalam beberapa tahun terakhir. Mereka yang awalnya mendukung perjuangan etnis Uighur sekarang telah mengubah pendirian mereka dan bahkan mendukung kebijakan pemerintah China. Perubahan ini disebabkan oleh memburuknya hubungan Turki dengan negara barat dan adanya kebutuhan untuk mencari kekuatan alternatif baru, serta kepentingan ekonomi yang lebih besar dalam hubungan dagang dengan China. Dalam beberapa kasus, seperti yang dilaporkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), negara-negara Islam tidak menerima sumbangan atau dukungan keuangan untuk meredam kecaman dan keprihatinan terhadap perlakuan China terhadap etnis Uighur. Mereka mengatakan bahwa masalah etnis Uighur adalah murni urusan dalam negeri China dan tidak perlu adanya campur tangan megara-negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa negara Islam tidak hanya tidak mengkritik China namun juga tidak ingin terlibat dalam isu tersebut. Beberapa negara Islam tidak mengkritik China secara langsung dan bahkan mendukung tindakan otoritas China, sementara yang lain tidak ingin terlibat dalam isu tersebut dan menganggapnya sebagai urusan internal China.

Beberapa negara Islam lainnya, seperti Mesir dan negara-negara Teluk, dipimpin oleh pemerintahan yang otoriter dan sering mendapat kritik dari negara barat lantaran kerap melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia di negaranya masing-masing, namun China sebaliknya tidak tertarik pada urusan HAM dan negara manapun dapat melakukan hubungan kerja sama dengan China tanpa perlu khawatir mendapat kritik terkait kebijakan internal masing-masing negara. Dengan demikian, negara-negara Islam seperti Mesir dan negara-negara Teluk tidak memiliki alasan untuk mengkritik China atas perlakuan terhadap etnis Uighur, dan China dapat terus melakukan kebijakan yang tidak sesuai dengan standar HAM tanpa menghadapi tekanan dari negara-negara Islam yang otoriter.

Alasan ini tidak bisa dijadikan pembenaran untuk mengabaikan penderitaan sesama Muslim. Prinsip solidaritas umat Islam yang selalu digaungkan harusnya tidak berhenti pada batas-batas geopolitik dan kepentingan ekonomi. Ketidakpedulian terhadap penderitaan Uighur adalah sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap negara Islam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun