Mohon tunggu...
Wanda Listiani
Wanda Listiani Mohon Tunggu... -

Menulis agar ingatan tidak rapuh..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Cabai

24 Maret 2011   12:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:29 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Cabai.. sering dicaci-maki karena rasa pedasnya namun tetap dicari oleh sebagian yang lain. Melambungnya harga cabai, tidak membuat masyarakat berhenti mengkonsumsi cabai dalam setiap resep menu masakan. Bahkan diantara mereka sudah menanam cabai di pekarangan sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan cabai dalam rumah tangga. Berbeda dari beberapa waktu yang lalu, walaupun mahal harganya tapi masih dapat dipastikan, persediaan cabai setiap harinya cukup untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Berbagai alternatif olahan cabai seperti sambal, bumbu dan saos yang dikemas dalam botol maupun sachetan banyak digunakan masyarakat Indonesia untuk menikmati hidangan makanan kecil atau istilah di Jawa Barat “ngopi”. Ngopi merupakan aktivitas minum teh atau kopi hangat ditemani gorengan seperti odading, pisang goreng, bala-bala (bakwan), gehu dan cabai di sore ataupun pagi hari. Rasanya yang pedas atau lada (bahasa sunda) memberikan kecanduan penyuka rasa pedas ini. Tidak hanya rasanya yang khas, namun juga bentuk dan warna cabai menarik dan meningkatkan selera makan.

Kebiasaan mengkonsumsi cabai tidak hanya refleksi realitas sosial dan budaya suatu masyarakat, tapi realitas yang membuat cabai menjadi dasar dari kehidupan sosial. Di Mexico, cabai bukan hanya sekedar pelengkap makanan namun sebagai simbol identitas nasional. Begitupula dengan paprika menjadi identitas nasional di Hungaria.

Di kota-kota tertentu Mexico, cabai (Katz, 2004: 222) dianggap sebagai simbol kejantanan. Laki-laki makan makanan lebih pedas daripada perempuan. Cabai diasosiasikan dengan hasrat seksual. Cabai merujuk pada nafsu seksual laki-laki bukan karena bentuknya yang mirip dengan alat vital laki-laki tapi juga rasa pedasnya, yang membawa penikmat cabai pada realitas dan simbol. Rasa pedas tidak hanya merangsang nafsu, namun juga memberikan kekuatan dan mengembangkan aktivitas seksual. Seperti morfin, setiap orang berlahan-lahan kebal dengan efek pedas dan membutuhkan cabai yang lebih pedas lagi. Pembedaan perlakuan termasuk dalam membeli, memasak dan menyimpan cabai dalam kerangka budaya memberikan dampak pada sistem konsumsi, produksi dan membentuk identitas budaya.

Pedas Identitas

Cabai tidak sekedar pedas, tapi sebuah identitas budaya. Rasa pedas memberikan identitas spesifik pada sebuah makanan. Masakan nusantara selalu mempunyai sambal khas atau pun rasa pedasnya. Bahkan ada makanan tertentu yang harus dihidangkan bersamaan sambal atau cabai. Jenis cabai pun sangat bervariasi seperti cabai rawit, cabai gendot, cabai merah, cabai hijau dan sebagainya. Bahkan cabai telah mengkonstruksi penikmatnya lewat berbagai resep masakan. Berbagi cabai olahan, sambal dan bumbu menjadi pertanda identitas. Identitas (Barkhuizen, 2006 : 279) merujuk pada bagaimana seseorang memahami hubungan mereka pada dunia, bagaimana hubungan itu dikonstruksi menurut waktu dan ruang, dan bagaimana seseorang memahami kemungkinan mereka di masa depan lewat sebuah resep masakan.

Identitas relasinya dengan hasrat-hasrat untuk pengakuan, hasrat untuk bergabung dan hasrat untuk perlindungan dan keselamatan. Identitas sifatnya cair, terartikulasi didalam perubahan hubungan interpersonal, struktur ideologis dan sejarah budaya seseorang. Dinamika identitas sebagai pusat pemahaman seseorang merupakan proses yang diimajinasikan termasuk dalam konstruksi dalam keseharian hidup mereka. Lewat jenis resep masakan, identitas dikonstruksi dan dinegosiasikan. Identitas dikonstruksi oleh pengalaman individu sebagai sebuah cara memposisikan diri sendiri dalam relasi sosial dan budaya.

Sambal Budaya

Keberanian mengkonsumsi cabai atau sambal dalam jumlah tertentu yang tidak lazim dilakukan orang lain merepresentasikan sebuah budaya bahkan kedewasaan seseorang. Pada masyarakat tertentu, konsumsi cabai sejak dini diyakini memperlancar berbicara bagi seorang anak. Bahkan rasa pedas diperkenalkan ketika anak beranjak remaja.

Reproduksi identitas budaya juga dilakukan berdasarkan cara makan seseorang.Bagi sebagian orang, makan tanpa sambal atau cabai menjadi kurang lengkap. Oleh sebab itu, sambal sangat populer di Indonesia. Berbagai olahan cabai seperti sambal hijau, sambal bawang, sambal terasi, sambal dadakan dan sebagainya akrab dengan etnis tertentu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Istilah sambal padang, misalnya rasanya yang pedas dan memberikan kekuatan, sehingga terkenal dalam sebuah pepatah “jadilah seperti cabai” untuk melambangkan figur masyarakat.

Cabai masuk dalam kebiasaan makan, kategori dan representasi etnis tertentu dalam masyarakat. Ketika rakyat tidak lagi mampu membeli cabai karena harganya terus melambung tinggi. Disinilah ukuran kekuatan sebuah bangsa mulai dipertanyakan. Makan tanpa cabai atau sambal. Bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa kita kedepan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun