Mohon tunggu...
Wanda Kusuma Wardani
Wanda Kusuma Wardani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Di mana ada niat, doa, dan usaha, insyaallah apapun yang diinginkan pasti bisa tercapai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Optimalisasi Penerimaan PPN di Indonesia dan Perbandingan Global

24 November 2024   20:33 Diperbarui: 24 November 2024   20:44 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi negara, termasuk Indonesia dan negara-negara lainnya. PPN ini memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, penerapan PPN di berbagai negara memiliki ciri khas dan tantangan yang bervariasi. Di Indonesia sendiri, PPN memiliki peran strategis dalam sistem perpajakan dengan C-effeciency yang tergolong masih rendah, yaitu 63,58% yang dapat menjadi tantangan tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia hanya dapat mengumpulkan 63,58% dari total penerimaan PPN. Salah satu penyebab rendahnya tingkat penghasilan PPN ini adalah adanya barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak dan banyaknya fasilitas PPN yang diberikan pemerintah sehingga menyebabkan penerimaan negara dari sektor ini terhambat.

Dedi Kusnadi menjelaskan bahwa sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam memperbaiki kinerja PPN, pemerintah Indonesia berencana memperluas basis pajak dengan mengubah klasifikasi pajak barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak menjadi objek pajak. Langkah yang diambil ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan dengan memperluas jangkauan barang dan jasa yang dikenakan PPN. Namun upaya ini menghadapi tantangan besar, seperti pengeluaran pajak yang mencapai 65% dari total pengeluaran pajak pada tahun 2019.

Selain itu, kontribusi berbagai sektor terhadap perekonomian Indonesia dapat diukur berdasarkan PDB dan PPN DN ini mengalami ketimpangan. Misalnya, sektor manufaktur dapat berkontribusi 37,1% terhadap PPN DN, sementara sektor pertanian hanya berkontribusi 1,9%. Ketimpangan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keadilan dalam kesetaraan sistem perpajakan Indonesia, sehingga pemerintah perlu meninjau struktur pajak dan mempertimbangkan langkah-langkah untuk mendorong sektor dengan kontribusi yang lebih rendah, seperti pendidikan, kesehatan, dan pertanian untuk meningkatkan partisipasi dan kontribusi yang lebih besar terhadap pendapatan pajak.

Namun pada tahun 2020, anggaran pendidikan, kesehatan, dan pertanian dalam APBN mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun demikian, alokasi belanja negara untuk ketiga sektor tersebut tetap besar. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan produktivitas komoditas pangan dengan mengalokasikan dana untuk berbagai program, seperti dana abadi untuk pendidikan, penanganan Covid-19 untuk kesehatan, dan subsidi pupuk untuk pertanian.

Dedi Kusnadi juga menjelaskan bahwa beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia Timur memiliki kebijakan PPN yang berbeda. Sistem PPN di berbagai negara memiliki perbedaan dalam hal pengecualian, fasilitas, dan tarif. Misalnya, Singapura memiliki pengecualian untuk properti, logam berharga, dan barang investasi, namun tidak memiliki fasilitas PPN. Sementara itu, Thailand mengecualikan barang pertanian, peternakan, perikanan, koran, buku, dan pupuk, serta memiliki fasilitas PPN seperti zona perdagangan bebas dan kawasan berikat. Di India, sereal, sayur dan buah, serta transfer of going concern tidak dikenakan pajak dan memiliki fasilitas PPN dalam zona ekonomi khusus. China Mainland menjadi pengecualian di antara negara-negara ini karena tidak memiliki pengecualian atau fasilitas PPN.

Di Indonesia, barang pertanian, peternakan, perikanan, tambang, kebutuhan pokok, emas, uang, surat berharga, dan makanan atau minuman di restoran dikecualikan dari PPN. Fasilitas PPN di Indonesia juga diberikan dalam zona perdagangan bebas, kawasan ekonomi khusus, kawasan berikat, dan pada barang serta jasa tertentu. Beragamnya kebijakan ini menunjukkan bahwa setiap negara menyesuaikan aturan PPN dengan kondisi ekonominya masing-masing.

Secara global, tarif PPN Indonesia yang ditetapkan sebesar 10% masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia yang mencapai 15,4%. Banyak negara Eropa menerapkan tarif di atas 15%, sementara Indonesia termasuk dalam kategori negara dengan tarif rendah, bersama dengan Afghanistan, Australia, Kamboja, Mesir, dan Vietnam. Beberapa negara seperti Kuwait, Irak, Makau, Maladewa, Oman, dan Hong Kong menerapkan tarif PPN sebesar 0%. Di sisi lain, negara-negara dengan tarif PPN tinggi, seperti Argentina, Finlandia, Norwegia, Kroasia, Denmark, dan Hungaria, mengenakan tarif lebih dari 20%.

Pada tahun 2020-2022, sejumlah negara melakukan peningkatan tarif PPN untuk meningkatkan pendapatan negara. Contohnya, Arab Saudi menaikkan tarif dari 5% menjadi 15% pada tahun 2020, Belgia dari 6% menjadi 12% pada tahun 2021, dan Lithuania dari 9% menjadi 21% pada tahun 2021. Kenaikan tarif ini menunjukkan kebutuhan negara untuk meningkatkan penerimaan demi mendukung pemulihan ekonomi. Namun, ada beberapa negara yang menerapkan tarif lebih rendah untuk kategori produk tertentu, seperti produk pertanian, makanan pokok, dan kebutuhan dasar lainnya. Kebijakan ini bertujuan untuk meringankan beban pajak bagi masyarakat dan mendorong konsumsi barang-barang esensial, sehingga dapat menjaga daya beli masyarakat.

Dari pemaparan Dedi Kusnadi diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan kembali kebijakan dan tarif PPN untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa memberatkan masyarakat secara berlebihan. Beberapa langkah, seperti mengkategorikan kembali barang dan jasa yang belum dikenakan pajak serta menyederhanakan fasilitas PPN, dapat membantu mengoptimalkan penerimaan negara. Dengan menerapkan sistem PPN yang lebih adil dan efisien, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga membangun struktur perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun