Mohon tunggu...
Wanda Hanifah
Wanda Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Mahasiswi literatur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

KBS Punya Cerita

28 Desember 2022   15:00 Diperbarui: 28 Desember 2022   15:03 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu itu sempat tertinggal rombongan. Surabaya yang gelap diselimut mendung berkepanjangan sejak pagi hingga siang ini. Kami seperti sedang diamati hujan yang bersiap turun mengguyur badan. Aku dan Maya. Pagi-pagi tadi, Maya sudah cantik mengetuk pintu rumah yang berisi aku masih berantakan dengan kuncir skrunchie di tangan dan rambut acak-acakan. 

Benar saja, aku baru saja terbangun karena dering ponsel bertulis Maya "aku sudah sampai". Hendak ku marahi sebab kantukku masih menggantung di pelipis kanan dan kiri. Tapi tak jadi, takut oleh-oleh khas Gresik-nya diambil lagi, hehe. 

"Selalu saja bangun siang, kamu mau ketinggalan temen-temen nonton kembaran kamu" Sambut Maya mengejek.

"Kembaran kamu kali" sahutku tak terima.

Ia langsung berhasil menyita perhatian seluruh isi rumah. Ibu yang sedang dinas di dapur ikut menyambut kedatangan temanku. 

"Sehat nduk?" Tanya Mimi.

"Alhamdulillah, Mimi sehat?" Jawab Maya seraya basa-basi menanyakan keadaan Mimi yang jelas-jelas ceria itu.

"Sehat nduk, kamu kok tambah langsing gini" canda Mimi.

Batinku 'bagaimana tidak tambah langsing, tepatnya kurus kerontang ditinggal kekasih hati'. Maya seperti mengerti ujar batinku, sesekali alisnya mengernyit sembari mencubit kulit lengan dekat ketiak. Benar saja aku menjerit, antara geli dan sakit. Semua pun terkekeh. 

Setiap teman perempuan yang main ke rumah, selalu kuajak rebahan di kamar saja. Sebab ruang tamu yang sangat minimalis. Kalau hari raya saja harus menggeser lemari besar pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Sejujurnya bukan karena itu, kurasa perempuan akan nyaman di tempat tertutup. 

"Huaaa akhirnya merebah" sapa Maya pada bantal guling di kamarku.

Aku diam saja sembari menarik selimut yang tertindih bokongnya. Merapikan kamar bernuansa pink yang dihias piala keemasan sewaktu zaman sekolah dulu. Ya. Aku mendapatkannua dengan susah payah. Meski di sekolah terkenal ratu tidur, ajaibnya tugasku tak pernah mendapat nilai C dari guru. 

Teng Tong, Teng Tong, Teng Tong..

Jam digital ruang tamu berbunyi pertanda jarum panjang tepat di angka dua belas.

"Pukul berapa Maya? Ahh aku malas" tanyaku sambil merebah disampingnya.

"Pukul 9" jawabnya setelah membuka ponsel.

"Malas-malas. Sudah bangun siang, perawan macam apa kamu ini Hani?" Omelnya.

Telingaku tertutup omelnya. Maya memang begitu, sifat keibuan menjadikan dirinya banyak memiliki teman-teman manja sepertiku contohnya. 

"Mandi sana" omelnya sekali lagi.

Kujawab dengan memeluknya. Tentu saja ia lebih tinggi dariku. 

"Bau, mandi sana" omelnya sekali lagi.

Lama-lama pecah telingaku mendengar celotehnya. Sekali lagi ngomel, akan kupukul bantal dibawah kepalaku. Beberapa detik kemudian, untungnya ia tak melanjutkan celotehannya itu. Kalau saja iya, mau kubalas membungkam mulutnya dengan bantal. Ia seperti mengerti isi hatiku. 

•••

"Ayo makan" ajakku setelah mandi masih dengan handuk di pundak. Meski tahu ia sudah makan. Sebab sebelum berangkat ia sempat memberi kabar bahwa akan berangkat setelah menyelesaikan sarapannya. Tapi tak apa, anggap saja membantu perbaikan gizi setelah putus beberapa minggu silam.

Ia enggan dengan bergeleng, sudah nyaman dengan ponsel di genggamannya. Mimi sudah meneriaki agar ia ikut makan. Namun tetap saja, sepertinya perutnya akan muntah jika mengiyakan. Akhirnya aku menyarap ditemani sayur asam dan sambal terasi ulekan Mimi, tak lupa kerupuk seribu dapat tiga. 

Setelah beberes, meski Surabaya waktu itu sepertinya rata diselimuti mendung, kami memutuskan berangkat ke kebun binatang Surabaya. Sembari menunggu Maya buang air kecil, aku menata kamar sebelum ditinggal pergi. Aku memang begitu, tak suka melihat sesuatu yang berantakan, sedikit saja. Kakinya menapak koset depan kamar mandi, sambil memandangi rumahku yang sederhana itu. Ia akhirnya meluncur ke kamar dan mendapati aku sudah siap berangkat.

"Lama banget sih putri Solo" ledekku balas dendam.

"Mana ada lama, orang baru aja" jawabnya menggemaskan. 

Kita akhirnya bersalaman dengan Mimi sambil diberi wejangan khas keberangkatan.

"Hati-hati. Ndak usah ngebut, Nduk. Baca salawat" pesan Mimi sambil mengelus kepala kami.

Kami mengangguk sembari melihat Maya mengenakan sepatu. Ya. Aku tak suka bersepatu. Andai saja kakiku bersuara, mungkin ia sesak dan panas dibalik sepatuku. 

Surabaya memang asik. Kalau-kalau masih panas mungkin mood kita semakin berantakan. Untung saja agak mendung belum hujan. Hawanya seperti mengelus-elus ingin menidurkan makhluk seluruh Surabaya. Tapi tetap saja, macet bukan rahasia meski harus berdesakan dengan mendung.

Beberapa menit kemudian, kita sudah membeli tiket masuk KBS.

"Hani kita terlambat. Bu Endies apa sudah bersama teman-teman ya?" Sahut Maya mengangetkan mataku yang melahap monyet Jepang.

"Tidak, Bu Endies kan masih rapat" jawabku tak menolehkan badan.

Kita akhirnya sibuk melihat-lihat hewan disana. Ada berbagai jenis harimau, singa, monyet, kupu-kupu, rusa dan masih banyak lagi. Kita akhirny menyusuri satu persatu jenis hewan sambil mengirim pesan ke teman-teman bahwa sudah datang. Tak lama rombongan terlihat mata kami. Akhirny bergabung dan turunlah hujan siang itu. Sungguh tak indah cuacanya. Kami berteduh disamping kebun. Untung saja masih sedikit yang berteduh, jadi kami masih kebagian tempat. Sungguh kami ingin pulang saja. Awan putih sepertinya sudah khas menjadi pertanda hujan akan turun lebih lama. Dibawah payungan besi tipis berlapis timah itu, ada gelak tawa yang renyah didengar. 

Ya. Teman-teman sepertinya berbakat berkomedi. Sejujurnya aku ingin makan sosis bakar. Kelihatannya enak di penjual depan gerbang bertudung payung merah besar. Tapi bagaimana jika hendak kesana. Hujan sudah siap mengguyur kami jika saja nekat keluar kandang. Kami seperti ikut menjadi penduduk KBS hari itu.

Setelah 2 jam meneduh, hujan pun mengurung diri dan muncul sesekali rintiknya. Tak apa tak terlalu deras. Kami memutuskan mengelilingi luasnya KBS itu sembari menunggu Bu dosen. Setelah beberapa menit munculah badan Bu dosen dengan membawa payung bunga-bunganya. Beliau meminta maaf pada kami sebab datang sangat terlambat. Sekitar dua minggu yang lalu, beliau menawarkan untuk perkuliahan outdoor. Kami sebenarnya bingung hendak kemana, namun Anin, antusias menjawab "KBS buuuu" soraknya bergembira. 

Mahasiswa semester 5 di kelas itu pun mengangguk setuju sambil bersorak ria. Kami benar-benar seperti murid TK yang sedang perjalanan study tour. Tapak demi tapak pun dilalui hingga matahari berpamit pulang. Perjalanan kami pun ditutup dengan salam dari beliau. Hari ini sungguh berkesan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun