•••
"Ayo makan" ajakku setelah mandi masih dengan handuk di pundak. Meski tahu ia sudah makan. Sebab sebelum berangkat ia sempat memberi kabar bahwa akan berangkat setelah menyelesaikan sarapannya. Tapi tak apa, anggap saja membantu perbaikan gizi setelah putus beberapa minggu silam.
Ia enggan dengan bergeleng, sudah nyaman dengan ponsel di genggamannya. Mimi sudah meneriaki agar ia ikut makan. Namun tetap saja, sepertinya perutnya akan muntah jika mengiyakan. Akhirnya aku menyarap ditemani sayur asam dan sambal terasi ulekan Mimi, tak lupa kerupuk seribu dapat tiga.Â
Setelah beberes, meski Surabaya waktu itu sepertinya rata diselimuti mendung, kami memutuskan berangkat ke kebun binatang Surabaya. Sembari menunggu Maya buang air kecil, aku menata kamar sebelum ditinggal pergi. Aku memang begitu, tak suka melihat sesuatu yang berantakan, sedikit saja. Kakinya menapak koset depan kamar mandi, sambil memandangi rumahku yang sederhana itu. Ia akhirnya meluncur ke kamar dan mendapati aku sudah siap berangkat.
"Lama banget sih putri Solo" ledekku balas dendam.
"Mana ada lama, orang baru aja" jawabnya menggemaskan.Â
Kita akhirnya bersalaman dengan Mimi sambil diberi wejangan khas keberangkatan.
"Hati-hati. Ndak usah ngebut, Nduk. Baca salawat" pesan Mimi sambil mengelus kepala kami.
Kami mengangguk sembari melihat Maya mengenakan sepatu. Ya. Aku tak suka bersepatu. Andai saja kakiku bersuara, mungkin ia sesak dan panas dibalik sepatuku.Â
Surabaya memang asik. Kalau-kalau masih panas mungkin mood kita semakin berantakan. Untung saja agak mendung belum hujan. Hawanya seperti mengelus-elus ingin menidurkan makhluk seluruh Surabaya. Tapi tetap saja, macet bukan rahasia meski harus berdesakan dengan mendung.
Beberapa menit kemudian, kita sudah membeli tiket masuk KBS.