Minggu kedua Oktober, masa kini.
“Oke, Tim! Hari ini adalah hari pembuktian ketangguhan dan keganasan kita di lapangan,” ujar Calvin Winchester, mengawali pidato pra-pertandingannya. Kemudian ia mempresentasikan ulang taktik yang sudah diajarkan Pelatih Claypoole kepada tim futbol Unaurs High School yang dikapteninya tersebut.
Pintu yang langsung menembus ke lapangan menjeblak terbuka. “Kalian! Ayo cepat ke lapangan!” ujar pelatih Claypoole.
Satu-persatu anggota tim pun keluar menuju lapangan.
“Hey, Calvin,” Pelatih Claypoole menepuk bahu Calvin, ketika ia berjalan menuju pintu menyusul teman-teman timnya. Calvin terhenti, dan berbalik. “Ini adalah pertandingan terpenting dalam hidupku, Cal. Dan mungkin ini adalah pertandingan terakhirku. Jadi..”
“Aku tahu, Pelatih Claypoole. Kami akan membuat kau memulai masa pensiunmu dengan kebanggan yang tidak akan pernah kau lupakan selama masa tuamu,” Calvin meremas bahu lelaku tua yang berdiri di hadapannya tersebut.
“Yeah, kau benar.. hanya saja, kau tahu, Unaurs tidak pernah mengakhiri pertandingan dengan sukses. Unaurs selalu menjadi pecundang dalam setiap pertandingan. Bahkan Unaurs tidak pernah mencapai final sejak 1973—sejak anak luar biasa itu lulus dari Unaurs..” Ia mengucapkan satu kalimat terkahirnya itu lebih kepada dirinya sendiri.
“Wow,” ujar Calvin. Kedengarannya menyedihkan, pikirnya.
“—Dan sejak itu Unaurs seperti menyampah saja di setiap pertandingan yang diikuti..”
“Oke, oke. Aku sangat mengerti, sir. Namun, tadi katamu kami harus memenangkan pertandingan penting ini, bagaimana kami bisa memenangkannya jika Quarterback-nya belum keluar juga?” Calvin mengingatkannya.
“Ya, ya. Kau benar.” Lalu ia terbatuk. “Cepatlah keluar! Aku tak ingin mereka menunggu lebih lama lagi akan kehadiran Kaptennya.”
“Baik.” Lalu Calvin nyaris berlari ke arah pintu, ketika ia menyadari sesuatu. Pelatih Claypoole tidak mengikutinya keluar. Dengan bingung Calvin kembali masuk ke ruang ganti.
Pelatih Claypoole tengah duduk di bangku panjang yang terletak di dinding bagian utara ruangan tersebut, terbatuk-batuk lagi. “Hey, kau tidak berpikir untuk tidak mendampingi kami bertanding di pertandingan terpenting selama hidupmu kan?” ujar Calvin, seraya berjalan mendekatinya.
Pelatih Claypoole bernapas kepayahan, tangannya meremas-remas sapu tangan yang dipakainya untuk menutupi batuknya. “Sebenarnya aku telah memikirkannya, Cal. Aku sudah tidak sanggup mendampingi kalian lagi.”
“Oh, kau lucu sekali, Pelatih Claypoole. Ayo ikut aku ke lapangan,” Calvin mengulurkan tangannya kepada Pelatih Claypoole. Lelaki tua itu memandangi tangan Calvin yang terulur. Ia pun mendongak menatap Calvin dengan mata tuanya yang sarat penyesalan.
“Tidak bisa, Nak. Aku akan menunggu kalian di sini. Well, menunggu kalian memenangkan pertandingan.” Ia terbatuk lagi di dalam sapu tangannya. “Percayalah, lebih baik aku di sini. Sekarang, kau pergi sana!” Ia terbatuk pendek ke dalam sapu tangannya, lalu ia cepat-cepat meremas sapu tangan tersebut, dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya.
“Kau yakin?” tanya Calvin khawatir. Apakah tadi ia melihat darah di sapu tangan Pelatih Claypoole?
“Pasti.” Lelaki itu mengangguk mantap.
“Kau terlihat tidak sehat, Pelatih.” Calvin berlutut di hadapannya.
Pelatih Claypoole meletakkan tangannya ke bahu Calvin, sorot matanya penuh dengan arti. “Pergilah, Nak. Bawalah piala itu kepadaku. Aku yakin kepadamu.”
Tiba-tiba saja, dengan anehnya Calvin teringat saat pertama kali ia datang sebagai murid baru dan mengikuti uji coba anggota baru tim futbol di sekolah ini satu setengah tahun yang lalu. Mata Pelatih Claypoole membesar terkejut saat melihat Calvin mendatanginya di pinggir lapangan. Pelatih Claypoole menepuk-nepukkan tanganya di bahu Calvin, dengan sinar keyakinan memenuhi matanya. Ia pun berkata bahwa Calvin tidak perlu melewati uji coba dan untuk sementara menjadi Quarterback cadangan.
Calvin juga teringat kata-kata Pelatih Claypoole seusai latihan futbol pertama Calvin di Unaurs; “Selamat datang kembali, Nak!” seraya menepuk-nepuk bahu Calvin.
Sungguh aneh bagi Calvin mengetahui dirinya teringat masa itu. Tiba-tiba dadanya terasa berat untuk bernapas. Calvin bangkit berdiri. “Kalau maumu begitu, Pelatih. Tunggulah kami membawakanmu piala itu. Tunggulah di sini.”
“Cal! Kau pikir apa yang sedang kau lakukan, hah?!” Bryant berteriak dari ambang pintu. “Cepat keluar!” lalu Bryant berlari kembali ke lapangan.
Calvin segera mengikutinya. Di ambang pintu Calvin berhenti untuk menoleh ke Pelatih Claypoole untuk terakhir kalinya sebelum bertanding.
Sebenarnya Calvin merasakan firasat tidak baik mengenai pertandingan final futbol ini. Pelatih Claypoole melambaikan tangannya, menyemangati. “Anak luar biasa itu benar-benar bersemayam di dalam dirimu, Cal. Kau benar-benar anak Clifton Winchester,” ujarnya lemah.
***
Hujan gerimis bulan Oktober mulai membasahi seantero daratan Roxville.
Waktu tersisa 8 detik lagi. Skor Unaurs tertinggal 3 angka. Tidak terlalu buruk, mestinya masih dapat terkejar dengan satu touchdown. Peluit time-out dibunyikan untuk Unaurs. Mereka didampingi oleh Mr. Joffs, guru olahraga, untuk menggantikan Pelatih Claypoole.
Mr. Joffs sangat mampu menjadi pelatih futbol, hanya saja rasa paniknya yang berlebihan yang selalu merayapinya tidak baik untuk kondisi mental para pemain—termasuk dirinya sendiri, sebenarnya. Ia sudah meminta time-out paling tidak 8 kali—lebih banyak dari jumlah babak pertandingan. Bila dengan pelatih Claypoole barangkali hanya sekali atau dua kali. Tiga kali bila tahu akan kalah, hanya untuk menenangkan para pemain. Di setiap time-out yang dilakukan Mr. Joffs hanya bertanya dengan panik apa yang akan di lakukan Calvin dengan tim ini.
Dan benar saja.
“Apapun yang ada di otakmu, Winchester!” Ia tidak menuntut jawaban seperti biasanya, karena itu bukan pertanyaan. Ia memberikan kebebasan untuk Calvin berkomunikasi dua arah dengan teman-teman se-tim-nya kali ini. Kali ini. Karena Calvin tidak mendapatkannya di semua time-out sebelumnya.
“Kita punya delapan detik lagi, Cal,” ujar Roland dan Pedro bersamaan.
Calvin menimpalinya dengan memberikan arahan untuk kedua Wide-receiver Unaurs tersebut “Ya, delapan detik kesempatan bagi kalian berdua untuk menangkap lemparan bola dariku dan memastikan bola itu tertangkap di end zone—itu tugasku tentunya. Roland, pastikan kakimu membawamu secepat mungkin untuk menangkap bola—”
“Pastikan jangan terinjak Cornerback Cotron,” timpal Karl.
“Aku tidak menyruhmu bicara, Karl!” sembur Calvin cepat, serangan panik baru saja menulari nadinya. “Pastikan kau jangan sampai terinjak, Rolls,” ia menambahkan pelan kepada Rolland.
Rolland memutar bola matanya. “Lalu apa lagi?”
“Aku masih memerlukan Tight-end untuk menjagaku.”
“Untuk apa? Kita sedang berada di 20 yard dari end zone!” sergah Raymond.
Calvin mengangkat bahu, “entahlah, firasatku mengatakan aku butuh Tight-end.”
“Dan kau mempercayainya?” ejek Lee.
“Bukan begitu, Lee,” Iqbal angkat bicara, “tidakkah kau lihat raksasa-raksasa Cotron di barisan defensive line, eh? Aku cuma tidak ingin menjalani 8 detik pertandingan tanpa Quarterback-ku, itu saja.”
Sean menambahkan, “ya, sudah dua kali mereka mencoba menumbangkan Calvin, bahkan setelah Calvin sudah melempar bola.” Ia mengangkat bahu, “dendam yang terpendam mungkin.”
“Jangan sampai ada yang ketiga kali!” geram Robert di ujung belakang. “Mereka belum merasakan yang sepenuhnya dariku,” ia menggeretakkan tinjunya.
“Dari kami,” timpal Bryant.
Calvin pun memimpin jargon tim futbol-nya, dan berbalik menghadap Mr. Joffs. “Oke, kami selesai.”
Nafas Mr. Joffs memburu karena paniknya yang berlebihan. “Kau yakin?”
“Tentu!” teriak Calvin bersama tim. Mr. Joffs terlonjak kaget.
Sebenarnya tidak perlu, hanya untuk kesenangan saja. Mereka pun kembali ke lapangan sambil tertawa.
Unaurs dari kota Roxville dan Cotron dari kota Tarquilla adalah dua tim yang masuk babak final kejuaraan tim futbol SMA se-daratan Beauhart. Kedua tim itu tidak pernah berhadapan lagi sejak 1942 dan menjadi dua tim yang tidak pernah diduga sebelumnya dapat sampai di babak final. Bila Unaurs High School yang tidak pernah mencicipi babak final sejak 1973, Cotron High School selalu bertahan sampai semifinal sejak 1988.
Dan sekarang, di bawah hujan gerimis, kedua tim tersebut saling berhadapan dengan posisi siap menyerang di kedua sisi line of scrimmage. Calvin mendengar geraman dari barisan Cotron. Mereka benar-benar seperti Troll brutal yang ada di novel-novel fantasi.
“Jangan berlebihan, Gendut! Nafasmu bau!” geram Robert di offensive line.
Taylor menundukkan kepalanya sehingga bisa mengisyaratkan untuk siap kepada calvin di antara kedua kakinya. Calvin mengangguk. Calvin menoleh ke sekelilingnya memastikan sekali lagi. Calvin menggunakan 3 Tight-end; Lee, Karl, dan Sean. Satu untuk menjaga Quarterback dan satu untuk menjaga masing-masing Wide-receiver; Pedro dan Rolland. Sisanya berdiri di hadapan Calvin; Raymond, Taylor, Robert, Iqbal, dan Bryant.
Peluit dibunyikan. Detik berlanjut.
Calvin menangkap bola yang dioper Taylor. Rolland dan Pedro berlari, diikuti Lee dan Sean. Calvin mundur beberapa langkah, bola didekap di dadanya, menantikan kesempatan tiba. 6 detik.. Baku hantam berlanjut di depan Calvin. 5 detik.. satu gorilla jatuh. “Menjauh dari Quarterback-ku!” Robert selalu kesulitan menutup mulutnya saat bertanding. 4 detik.. Karl tepat di depan Calvin, berjuang menahan satu gorilla lain untuk menyerang Calvin. “Tenang dan lempar bolanya, Cal,” Karl mengejan di depannya. 3 detik.. itu dia! Pedro di posisi aman. Calvin membidik, dan melemparkan bola. 2 detik.. bola melayang menuju calon penangkapnya. Calvin mendapati dirinya terhempas ke tanah basah. Calvin mendengar suara berkeretak di kakinya. 1 detik.. Pedro menangkapnya, dan ia touchdown.
Calvin mengerang keras saat rasa sakit mulai menjalarinya. Namun suaranya semakin teredam seiring dengan semakin tertimbunnya ia ke tanah. Ia mengejan menahan rasa sakit yang telah menimpanya bertubi-tubi. Dia tetap menjaga agar kedua siku tangannya menahan beban ratusan kilogram di atasnya, menjaga jarak antara tulang rusuknya dengan tanah. Siku tangannya semakin terendam masuk ke dalam tanah basah. Ia mulai kesulitan bernapas.
Seabad kemudian—atau buat Calvin selama itu—satu.. dua.. tiga gorilla akhirnya terangkat juga dari atas punggungnya. Tedengar batku hantam lagi yang dilatar-belakangi lagu Mars Unaurs menggema di seluruh stadion. Tubuhnya dibalik dengan hati-hati oleh beberapa tangan.
Semua suara berlomba memasuki saluran pendengarannya.
“Kau percaya? Kita menang!”
“Unaurs menang!”
“... bersama menitih masa depan cemerlang. Unaurs untuk Beauhart.. Unaurs Berjaya.. Unaurs untuk dunia..”
“Kemana paramedis itu? Rob, panggil mereka segera!”
“Pedro touchdown!”
“Kita menang!”
“Unaurs menang!”
“Bernapaslah, Cal! Bernapas!” seseorang merenggut lepas helmnya.
Terbaring di tanah basah dan diguyur hujan, sambil dikelilingi oleh banyak wajah ditutupi helm di atasnya. “Aku sedang mencoba bernapas,” jawab Calvin lirih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H