Mohon tunggu...
Wana Darma
Wana Darma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Suka daun bawang mentah, tapi tara suka yang matang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

God Save the Travelers!

8 April 2011   08:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sendiri, hanya ditemani tas, topi anyaman kesayangan saya, dan niat untuk Shalat Jumat di Masjid Ampel. Satu hal yang saya tahu, jika saya sekarang jalan terus mengikuti jalan raya di sebelah saya, kemudian belok kanan di perempatan pertama, maka saya akan sampai di sebuah landmark kota Surabaya yang sangat terkenal, Jembatan Suramadu.

Mulut saya masih panas. Sebelumnya, saya berdebat dengan teman saya, bukan karena masalah FPI ataupun PSSI. Tapi karena masalah sepele. Dimanakah saya akan diturunkan dari motornya? Saya minta diantarkan ke angkot terdekat. Eh, dia malah ngotot mengatarkan saya ke Masjid Ampel, ya terjadilah pereang mulut selama 15 menit di atas motor.

Jadilah saya disini, diturunkan di negeri antah berantah. Kanan saya jalan raya, sementara di kiri saya ada sebuah kios kelontong kecil dan kios tambal ban. Oke, saya akan mati mengering disini kalau tidak berusaha melakukan apapun.

Saya membeli air mineral di kios kelontong, niatan awal supaya ibu penjualnya bahagia karena akhirnya ada yang beli. Tapi, sayang ibu penjualpun tidak tahu arah menuju ke Ampel, yes. Akhirnya saya dilempar ke bapak penjaga kios tambal ban yang sedang keasyikan makan mie ayam. Melihat saya yang seperti anak ilang, diapun menghentikan makannya dan bertanya ‘opo mas?’.

‘Ooh, ampel, naik Bemo R mas’, oke, problem solved. Setelah puas bertanya, saya pamit ke dua orang tersebut.

-----------------------------

Bemo R saya naiki. Bemo adalah bahasa lokal untuk menyebut angkot. Awalnya, saya ingin duduk di depan, supaya bisa bertanya banyak ke si sopir, tapi ternyata kursi di depan sudah ada pengisinya. Good! Terdamparlah saya di kursi belakang.

Di sisi kiri bemo saya duduk, di depan saya, sisi kanan, hanya ada seorang ibu paruh baya. Kepalanya dibalut kerudung hijau, badannya terlapisi oleh daster batik kuning, dan kakinya dilindungi oleh sendal bermerek Camolina, sederhana. Dia menunduk kelelahan, matanya menatap ke lantai, tangan disilang, persis seperti anak sekolah yang bosan akan pelajaran fisika di kelas.

Ketika bola matanya terlihat, saya mencoba menyapa. ‘Saya baru selesai bantu sodara di Kenjeran’, kata ibu itu dengan logat Madura. ‘Kamu mau kemana?’, lanjut Ibu itu. Saya menjabarkan semuanya. ‘Oh, kalo gitu bareng saya saja, saya tinggal di Kirian, deket Masjid Ampel, ntar kita muter, turun di Pasar Atom’, oke, siapa yang bisa menolak ajakan ini, saya sedang tersesat kok.

Perjalananmasih agak panjang, mood sayapun sedang naik, alhasil kamipun mengobrol banyak hal. Mulai dari Pulau Madura sampai hal kecil, seperti banyaknya maling di Ampel dan kenapa NH tidak mau mundur. Lama mengobrol, akhirnya kami berkenalan juga. Yes, baru berkenalan. Fadila namanya, lahir dan besar di Surabaya, tapi Asli Madura.

“PASAR ATOM!” teriak si supir bemo. Kami sampai di checkpoint pertama. Ibu Fadila keluar lebih dulu, saya menyusul setelahnya. Saya membayar dengan uang 20.000 rupiah, supir terlihat harus merogoh kantong-kantongnya untuk mengumpulkan recehan untuk kembalian saya.

Ketika uang kembalian sudah ditangan, ternyata bemo yang dinaiki Ibu Fadila sudah berjalan. ‘Tunggu bang!’, sial, saya harus berlari sembari berteriak mengejar bemo itu. Akhirnya bemo itu berhenti, bukan karena usaha saya, tapi setelah Ibu Fadila sadar kalau temannya, si anak ilang, ternyata masih ketinggalan.

-----------------------------

Karena telat, saya mendapat kursi paling ujung, pas di pintu keluar, sementara Bu Fadila jauh di dalam badan bemo. Beberapa lama setelah bemo melaju, saya bingung dan ragu, jangan-jangan Ibu Fadila lupa kalau saya tidak tahu Ampel dimana dan ternyata sudah lewat jauh. Oke, saya kumpulkan keberanian untuk bertanya dengan suara agak keras ke Ibu Fadila.

‘Bu, udah sampe Ampel belum?’. Karena suara saya keras, jadi terdengar sampai ke seluruh badan bemo. Ternyata follow-up yang didapat bukan hanya dari Bu Fadila, hampir seluruh badan bemo menjadi aktif berbicara karena tau ternyata saya sendirian menuju Ampel. Yes!

Setelah kami semobil puas mengobrol, seorang ibu disebelah saya, yang berwajah Arab, mengajak saya untuk turun bersama. Dia orang Ampel, kebanyakan orang Arab di Surabaya tinggal di Ampel, katanya. Oke, sekali lagi, siapa yang tidak mau? Saya tak tahu jalan kok.

Setelah pamit dengan Ibu Fadila beserta orang-orang di bemo, saya turun bersama Ibu Arab ini di sebuah sudut di Ampel. Tingginya rata-rata wanita Indonesia, agak gemuk, kulitnya hitam, dan berbusana kemeja lengan panjang. Kepalanya dilingkari jilbab hitam, dan celana panjang hitam menutup kakinya. Saya menyadari, Ibu ini mukanya datar, seperti tidak beremosi.

Setelah mengobrol panjang lebar, akhirnya mukanya berubah, dia tersenyum. Yes. Ibu ini benama Aisyah, dia keturunan Ambon dan Arab. Sebenarnya anaknya ada lima, tapi Ibu ini senang sekali menyebutkan anaknya yang pertama, seorang wanita berumur 23 tahun lulusan D3 Akuntansi, yang sekarang sudah bekerja di sebuah gedung berlantai puluhan di Surabaya.

Tiba-tiba Ibu Aisyah menunjuk ke depan, ‘Ini Masjid Ampel’. Nampak sebuah masjid megah yang didepannya banyak pedagang menjajakan jualannya, mulai dari kurma dampai dawet, mulai dari gelang sampai tasbih. ‘Kalau belok kanan Ampel Muria, disitu rumah saya’, lanjutnya. Saya mengecek jam dan ternyata, masih ada sekitar satu jam lagi menuju Shalat Jumat. Padahal saya sudah bangun telat dan tak tahu jalan. Yasudah, saya putuskan untuk mengunjungi rumah Ibu Aisyah saja sembari membunuh waktu.

Dalam perjalanan ke rumah Ibu Aisyah, sering telihat orang-orang berwajah Arab dan juga Jawa. Mereka berbaur disini. Ini bukan pemandangan yang bisa dilihat di tempat lain. Tiba-tiba bunyi aneh keluar dari perut saya. Oke, karena saya berangkat telat, jadi saya belum sempat makan.

Lagi-lagi Ibu Aisyah menunjuk sesuatu, ‘Itu rumah saya, Ampel Muria’. Kemudian dia menghadap kiri ke arah sebuah depot makanan, dan kemudian mengajak, lebih tepatnya menyuruh, saya makan disini. Same answer, siapa yang tak mau?

Tempat ini adalah sebuah depot makanan, tempatnya sederhana dan tanpa nama. Ketika saya kesana, depot ini dijaga oleh seorang perempuan bernama Balqis. Ibu Balqis mempunyai orangtua asli Yaman, tapi besar di Ampel, jadi dia fasih berbahasa Indonesia.

Saya disajikan Nasi Gulai enak dengan minum Es teh manis. Es teh disini rasanya cukup unik, tapi sayang tidak terlalu cocok di lidah saya. Kata Ibu Balqis, teh ini adalah teh Bandulan, khas Pekalongan. Tidak lama kemudian, saya disajikan lagi es potong yang katanya khas Ampel. Lucky!

Kemudian datanglah anak ketiga dari Ibu Aisyah, namanya Abdullah. Mukanya bulat dan mempunyai kulit gelap, persis ibunya. Sepertinya dia baru pulang sekolah, terlihat dari seragamnya yang berwarna hijau berhias kotak-kotak hitam dengan lambang bertuliskan Taman Pendidikan Tamiriyan di dada, dengan celana putih dan sepatu pantofel, sangat old school.

‘Uda makan apa aja mas?’, kata Abdullah. Ya belum, baru nyobain Nasi Gulai saja kok, saya menyambung. Akhirnya kami berdiskusi tentang makanan. Kata Abdullah, saya harus nyobain kebab a la Ampel , tapi sayang, cuma ada malam hari. Bu Aisyah merekomendasikan saya mencoba Tahu Campur, katanya di Ampel tahu campurnya mempunyai citarasa khas, beda dengan yang di luar Ampel. Bu Balqis menyarankan saya untuk mencoba Nasi Kebuli, kebanyakan depot makanan hanya menyajikan ini ketika hari Jumat saja pasalnya. Nasi kebuli yang enak dan murah ada di Jl. KH Mas Mansyur, nama restonya adalah Depot 7.

Setelah kenyang, mengobol panjang, dan tertawa bersama, akhirnya suara adzan Jumat muncul. Sayapun mau tak mau harus berpamitan ke Ibu Aisyah, Ibu Balqis, dan Abdullah. Saya pergi menjauhi Ampel Muria menuju jalan belakang Masjid Ampel.

Setiap langkah meninggalkan depot makan Bu Balqis sampai ke Masjid Ampel, saya selau berpikir. Bagaimana bisa seorang seperti saya yang tak tahu apa-apa tentang Ampel, sama sekali, bisa sampai di Masjid Ampel dengan selamat. Bertemu dengan orang yang menunjukkan arah, bertemu dengan orang yang memberikan tuntunan jalan, bahkan makanan gratis! Gila!

‘Mungkin itu adalah perpanjangan tangan tuhan, nak’, kata seorang teman. God Save the Traveler!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun