Orang yang berpergian menuju Jakarta, atau pulang dari Jakarta melalui jalan pantura, Subang -- Indramayu sebelah utara pulau jawa akan melewati jembatan yang terlihat disapu setiap hari oleh masyarakat sekitar.
Sungai yang menjadi pembatas anatara kabupaten subang dan kabupaten Indramayu, dikenal dengan kali sewo. Jangan heran jika setiap kali melintas banyak masyarakat yang memegang sapu terbuat dari ranting kering dipergunakan untuk menadahi koin atau uang yang dilemparkan oleh para pengendara.
Keramian sepanjang jembatan sewo terlihat ramai saat menjelang mudik lebaran idut fitri. Meskipun beberapakali ditertibkan oleh kepolisian setempat, Â tradisi itu tidak pernah hilang, dan masyarakat terus mencari pundi uang dari kali sewo.
Mencari uang di jembatan sewo dengan istilah menyapu, menyapu disini bukan menyapu halaman atau rumah, tapi menyapu jalan, dengan berharap ada koin atau uang yang dilemparkan bisa nyangkut di sapu yang digunakan. sehingga tidak jarang dikalangan awam jembatan sewo menjadi, jembatan terbersih  karena sering disapu oleh masyarakat.
Mendengerkan cerita warga setempat, bahwasanya tradisi menyapu diawali karena dan mitos untuk memberikan saweran pada nyai ronggeng saidah -- saeni agar diberikan keselamatan dalam perjalanan. Cerita saidah-saeni pun ramai diceritakan oleh warga.
Saedah-saeni adalah dua gadis remaja yang ditinggal oleh kedua orang tuanya merantau. Kesulitan dalam berkomunikasi, Hidup berdua digubuk kecil, saidah-saeni kesulitan untuk mencari makan. Ada seseorang kakek tua mendatangi saedah  -saeni menawarkan menjadi penari ronggeng.
Kepercayaan warga sekitar, kakek tua itu adalah jelmaan dari buaya putih penghuni kali sewo. Yang sedang mencari tumbal untuk pesugihan. Saedah-saedah saeni melihat kondisi badan semakin kurus dan tidak ada harapan maka berfikir panjang mengambil tawaran tersebut.
Diberitahulah oleh kakek tua itu, nanti ada kereta kencana yang akan menjemput kalian berdua mengantarkan ketempat penarian. Sekali dua kali semuanya berjalan lancar, hingga ketenaran saedah-saeni meningkat, perubahan ekonomi terjadi pada kedua gadis itu.
Warga sekitar berdatangan untuk meminjam uang atau meminta bantuan kepada kedua gadis itu. Setelah semua kekayaan diperoleh, mereka berfikir untuk meninggalkan pekerjaan menjadi penari ronggeng itu. Namun niat buruknya itu diketahui oleh siluman buaya putih. Pada saat terakhir dia berangkat dengan pakain slendang, kebaya dan make up dijemput kereta kencana dan tidak pernah kembali hingga sekarang.
Tapi liris, sebuah slendang yang digunakan oleh saedah-saeni sering dijumpai oleh warga sekitar saat malam hari pergi kesawah, tidak jarang pula menjumpai sosok saedah-saeni sebagi perempuan cantik, yang mengenakan pakaian nyai ronggeng.