Mohon tunggu...
Wamdi Jihadi
Wamdi Jihadi Mohon Tunggu... -

Nilai kita bukan pada apa yang kita miliki, namun apa yang kita beri

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menulis yang Dirasakan

7 Desember 2014   13:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:52 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis apa yang dirasakan, inilah di antara cara mudah untuk bisa menulis. Dan yang dirasakan tentunya bukan hanya yang diraba atau yang dikecap, tetapi yang jauh lebih banyak dari itu adalah apa yang dirasakan oleh hati kita atau diri kita dari pengalaman hidup yang telah kita lewati. Bagi saya menulis masa lalu lebih mudah daripada menulis tentang masa depan. Itu artinya apa yang dirasa, bukan!

Memang ada lagi cara menulis, yaitu menulis apa yang diketahui. Tetapi dampak menulis apa yang dirasakan dengan menulis apa yang diketahui sangat berbeda. Biasanya karya – buku-buku atau paper presentasi – ilmiah itu ditulis atas dasar pengetahuan, tetapi fiksi umumnya lahir dari apa yang dirasakan. Itu sebabnya kalau kita membaca buku-buku ilmiah serasa ada jarak, karena apa yang berada di kepala orang (penulisnya) belum tentu ada di kepala kita, dan terkadang perlu berulang kali membacanya. Tetapi setiap kali kita membaca karya fiksi serasa ia mengungkapkan apa yang kita rasakan, sebab untuk yang satu ini kita sesungguhnya serumah, walaupun berbeda kamar.

Tulisan-tulisan yang lahir dari apa yang dipikirkan hanya akan sampai di kepala orang-orang yang membacanya, tetapi tulisan yang terbit dari hati akan melesap ke ceruk terdalam setiap pemilik jiwa. Maka di sini bukan persoalan kita harus memilih antara menulis fiksi atau non fiksi – ini tentu terkait kecendrungan kita – tetapi setiap kali kita menulis jangan lupa untuk membawa serta nurani kita.

Buku-buku seperti ‘Laskar Pelangi’ karya Andrea Hirata, ‘Totto Chan’ karya Tetsuko Kuroyanagi, ‘Tenggelamnya kapal van der wijck’ yang ditulis Buya Hamka, atau beberapa penulis Resonansi di Republika, Catatan Pinggirnya Goenawan Mohamad, dan Serial Pembelajarannya Anis Matta di Tarbawi beberapa tahun lalu adalah tulisan-tulisan yang menurut saya lahir dari apa yang dirasakan. Kalaupun karya-karya tersebut memuat berbagai data itu hanya pelengkap.

Maka dalam hidup kita tentu banyak yang kita rasakan, mulai dari fisik kita selaku perangkat keras yang telah sekian tahun hidup, maupun jiwa kita. Dan yang dirasa jiwa ini hampir tidak terbilang jumlahnya. Interaksi kita dengan manusia dan alam semesta adalah interaksi jiwa sesungguhnya, dan itu bisa ditulis. Dampak dari kebijakan atasan atau pemerintahan jiwalah terlebih dalam yang merasakannya, dan itu bisa ditulis. Kita gembira, sedih, marah, dan lainnya sebagainya lagi-lagi bisa ditulis.

Kemudian tiap kali kita menyelesaikan tulisan tentang apa yang kita rasakan, maka ada semacam pelepasan sumbatan yang merintangi ketenangan jiwa. Ini misalnya bisa kita baca buku ‘Ainun dan Habibie’ yang merupakan salah satu opsi yang dipilih oleh Prof. B.J Habibie untuk menghilangkan Psikosomatik malignant-nya. Dan dari apa yang dirasakan juga biasanya buku-buku bestseller lahir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun