Namanya Yusuf Al Fakhri, laki-laki tiga puluhan yang digambarkan oleh Kahlil Gibran sebagai orang yang menghindari keramaian dan mengasingkan dirinya ke tempat sunyi. Tepatnya ke sebuah gubuk di ujung Lembah Qadisha di sisi Utara Gunung Lebanon. Saban waktu ia bersahabat dengan alam, bebunyian binatang hutan, kicauan burung, dan menikmati terbit tenggelamnya Bintang, Bulan dan Matahari. Menurutnya dengan cara begitu jiwanya lebih damai dan lebih mudah terhubung dengan Tuhan.
“Tidak saudaraku, aku tak mencari kesunyian untuk berdoa dan hidup zuhud. Aku mencarinya karena lari dari manusia, dari hukum-hukum, ajaran-ajaran, adat, pikiran mereka, dari rintihan dan ratapan mereka,” ujarnya ketika ada yang mencoba bertanya kenapa menarik diri dari khalayak.
Apa hendak di kata, hidup kita di hari ini seperti terperangkap dalam sistem yang mengharuskan kita untuk melawan nurani. Ruang-ruang akademik seakan berada pada satu kawah dan aplikasinya berada di kawah lainnya. Rumah ibadah seolah usang dan sudah lama ditinggalkan Tuhan, sementara kitab suci sudah enggan disentuh tangan-tangan kotor. Seringkali kita sujud dan menghadap ke arah yang sama, tetapi setelah salam hati kita kembali terbelah.
Ketika ada yang menyela Yusuf Al Fakhri dengan mengatakan bahwa seharusnya dia sebagai orang yang paham dengan makna kehidupan, orang yang mengerti dengan sakitnya jiwa-jiwa manusia, tidaklah meninggalkan tetapi mengobati mereka. Beliau menjawab bahwa orang-orang yang sakit itu sudah berani kurang ajar kepada tabibnya, bahkan mereka ingin mencekiknya.
Tidak ada penyakit yang lebih berbahaya dalam kehidupan manusia ini, kecuali penyakit jiwa. Ia ada tapi seringkali tidak terasa oleh pemiliknya. Pembenaran pada sesuatu yang salah, menutup diri dengan sesuatu yang lebih baik, mengingkari peringatan yang berulang-ulang dan seribu satu keangkuhan lainnya. Dan puncaknya adalah mencelakai, membunuh para pembawa lentera ketuhanan, untuk selanjutnya mereka mengaku benar di jalan yang salah.
Seperti yang disampaikan Yusuf tersebut, “Aku mencari kesunyian agar aku tak duduk bersama orang yang mempunyai secuil pengetahuan, yang melihat bayangan ilmu hanya dalam mimpi lalu mengkhayalkan diri mereka berada dalam lingkaran kebenaran.”
Bukankah ada peluang manusia untuk berubah? Bahwa suatu ketika mereka akan kembali? Seperti musim yang terus berganti. Lebih kurang begitulah pertanyaan yang lagi-lagi disodorkan pada si zahid tersebut. Tapi ternyata pergantian perilaku manusia bukan seperti pergantian musim yang boleh dipastikan mempunyai siklus yang jelas.
Namun, terlepas bahwa Yusuf Al Fakhri adalah orang yang menjujung tinggi kearifan jiwa saya bersimpangan jalan dengan pilihannya. Bagi saya pakaian itu dijahit untuk dipakai, bukan untuk menghuni lemari. Mungkin ada bercak, tapi bercak yang diluar kesadaran dan kita berusaha membersihkannya kembali. Tetapi dengan cara dipakailah pakaian menemui fitrahnya, paling tidak seperti kata Umar bin Khattab, “Bagi saya sudah cukup kembali kepada Tuhan tidak membawa pahala, namun tidak juga disertai dosa.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H